Dua orang yang tengah asyik berciuman itu tidak menyadari seseorang tengah menuju pada mereka. Terlihat sangat nikmat mereka bertukar air liur, yang membuat Hendra ingin meledak melihat tingkah istrinya itu. Hendra sangat marah, tidak tahan dia hanya memergoki keduanya. Tanpa berpikir panjang, Hendra melayangkan tinjunya ke punggung lelaki itu.Acara ciuman keduanya pun terhenti oleh sakit yang dirasakan Steve, dia memutar buru-buru melihat ke belakang."Apa-apan kamu?"Baru tiga kata yang keluar dari mulut Steve, Hendra sekali lagi memberi hadiah tinju untuk lelaki itu.Lilis juga sangat terkejut, matanya membulat melihat Hendra membabi buta memukul Steve di laur sana."He-Hendra?" panggil Lilis tidak yakin. "Itu bukan Hendra, tidak mungkin," lanjutnya.Wajahnya memang sangat mirip dengan Hendra, tapi penampilannya sangat jauh berbeda. Hendra juga terlihat lebih gagah dan tampan di balik setelan jas yang hitam mengilat. Lilis sampai terperangah, tidak mampu berkata-kata dalam beberap
Hendra bergeming menatap Lilis yang terus membujuknya. Demi Alan katanya, entah apa yang akan Hendra katakan jika sudah menyangkut nama anak mereka. Lilis terus saja memohon semantara pikiran Hendra tidak bisa di tempatnya, sekarang."Hendra, tolong dong jangan marah, Sayang... kamu tau aku sayang banget sama kamu, kan? Aku beneran khilaf, dia menggoda aku di saat kamu nggak ada, aku bener bener minta maaf, Hen..." mohon Lilis lebih mengencangkan isak tangisnya. Steve yang kebingungan pun menjadi bahan fitnahnya.Steve yang seorang publik figur tentu kesal mendengar ucapan Lilis yang justru melimpahkan kesalahan padanya. Enak saja si Lilis, meski Steve memang sudah tahu Lilis itu bersuami, tujuannya adalah untuk mendapatkan uang dari Lilis. Dia tidak ingin namanya menjadi buruk lantas kehilangan nama baiknya di depan televisi.Steve maju ke depan dan meminta penjelasan dari Lilis. "Lis, kenapa jadi aku? Aku nggak rayu kamu. Kamu sendiri nggak bilang udah punya suami ke aku. Aku nggak
Menatap kesunyian, ternyata Hendra benar-benar pergi, Lilis menunduk ia merasa tidak mau kehilangan sesosok Hendra. Ia pikir laki-laki itu bisa ia peralat apa lagi Hendra sudah terlihat kaya dengan penampilan menggoda. “Steve, tolongin aku...” panggil Lilis, ketika mobil Hendra meninggalkan tempat tersebut. Laki-laki yang mempunyai wajah tampan khas idol itu mencoba membantu Lilis berdiri."Hendra, Steve, dia... aku nggak bisa lepasin dia, apa yang harus aku lakukan, Sayang?" Steve mendecih, dia masih kesal mengingat perkataan Lilis yang tadinya memojokkan Steve. "Bukannya tadi kamu nuduh-nuduh aku? Terus sekarang kamu panggil sayang, biar apa? Kamu pembohong, Lis."Lilis memegang wajah Steve dan menatap lelaki itu serius. "Aku memang bikin kamu marah, tapi itu hanya di depan Hendra, Steve. Aku memang bohong, tapi semua itu karena aku nggak mau kehilangan kamu. Aku udah sayang banget ke kamu, aku nggak mau kamu pergi saat tau aku punya suami," katanya penuh permohonan.Karena Stev
Setelah berpikir keras, akhirnya Hendra memutuskan untuk berbicara terus terang. Ia mengambil napas, membuang dengan perlahan dan berkata, “Juwi, kamu tahu aku punya anak, kan.”Juwita mengangguk. “lalu?” “Dia bersama Lilis.” lanjut Hendra, jujur mungkin dia sangat tidak enak jika harus berkata terus terang sama Juwita. Sedangkan sudah beberapa bulan ini dia menghabiskan harta wanita yang telah ia nikahi demi Lilis, istrinya yang tidak tahu di untung tersebut. Di tambah lagi Juwita pasti tidak terbiasa dengan adanya anak kecil. “Terus? Apa masalahnya jika anakmu bersama Lilis?” tanya Juwi, belum bisa memahami ucapan Hendra.Hendra mulai gusar, dari perkataan Juwita ia ragu mungkin wanita itu tidak menyukai anak kecil. “Aku tidak tega jika dia bersama Lilis. Kamu tahu sendiri Lilis hanya mementingkan diri sendiri." Hendra tidak kuasa menyebutkan perselingkuhan Lilis, itu terlalu memalukan.Hendra mengurunkan niatnya, saat melihat Juwita tak bergeming. “Ya sudah kamu pasti tidak ak
Hendra semakin mengeratkan pelukannya, Juwita merasa nyaman tak berpikir bahwa Hendra hanya sebagai suami yang dia beli. Wajahnya yah sempat murung kini bersemu bahagia. Entah mengapa Juita merasa nyaman bersama laki-laki ini, bau parfum maskulin menyengat di penciuman Juwita, parfume yang Juwi pilihkan untuk Hendra. Detak jantungnya menjadi lebih cepat berada di dalam pelukan Hendra.Sedang Hendra sibuk dengan pikirannya. Pengkhianatan yang Lilis lakukan begitu membuat Hendra merasa tidak berguna menjadi seorang suami. Tapi di balik semua itu, Hendra merasa nyaman berada di dalam pelukan Juwi.Entah apa yang membuat Juwi mau menerima Alan tinggal dengan mereka. Apakah hanya sekedar ingin membuat Hendra kagum padanya, hanya Juwi lah yang tahu. Tapi di dasar hatinya, Hendra tetap senang untuk itu. Secara tidak langsung hatinya justru berterima kasih mengenal Juwi, sebab di sini lah dia dihargai sebagai suami. “Juwita, terima kasih kamu mau mengerti dengan keadaanku yang memprihatink
Juwi menatap wajah Hendra, kepalanya mengangguk dengan bibir menjawa, "Ya, apa pun itu, aku siap."Dengan begitu, Hendra mulai menurunkan wajahnya menuju tempat sensitif Juwita, hangat napasnya terasa mempermainkan bulu-bulu halus Juwi dan membuat seluruh tubuhnya meremang."Hen..." panggil Juwi tak sadar, dia menyentuh rambut lelaki itu dan meremasnya.Hendra tidak bisa hanya diam. Sekarang dia mulai mempermainkan bagian sensitif itu dengan lidah basahnya, sehingga Juwi menggelinjang kenikmatan. Darahnya bagaikan terbang dan berkumpul di kepala oleh sensasi dari permainan Hendra yang memabukkan."Hen... please..." erang Juwi di tengah kenikmatan yang mendera. Permainan yang semakin panas itu membuat Juwi merasakan sesuatu akan keluar dari bagian intinya. Miliknya sudah sangat basah oleh air liur milik lelaki itu, seperti pelumas yang membuatnya menjadi licin. Rasa nikmat pun Juwi rasakan oleh gesekan lidah Hendra yang semakin cepat saja.Tak sabar hanya menerima, Juwi bangkit dari
Di sisi lain, tampak ada anak kecil sedang bermain mobil-mobilan, anak laki-laki tersebut terlihat gembul dengan lesung pipi, bulu mata lentik membuat wajah bocah gembul terlihat sangat tampan. "Blum... Blum...."Ia memaju-mundurkan mobil-mobilan yang ia pegangi, mobil kecil berwarna biru warna favorit bocah kecil itu. Alan, begitu dia biasa dipanggil.Seketika mata Alan teralihkan oleh pintu yang terbuka dari luar sana. Senyumnya mengembang, Alan mencoba bangun dengan dua kakinya yang belum benar-benar kuat.“Ma...” Lilis masuk, melihat putranya bermain sendiri, sedang baby sitter yang biasa menjaganya baru saja kembali dari dapur. Melirik ke sofa di dekat televisi, Lilis bisa melihat ibunya tengah memainkan ponsel di sana. Sejak kapan ibunya datang ke apartemen ini?“Ibu kok di sini? Bukannya seharusnya ibu menenin tukang di rumah?” tanya Lilis penasaran.Ratna menoleh, dia tersenyum melihat kedatangan putrinya. Tapi tunggu, kenapa penampilan Ratna sangat berbeda hari ini? Tidak
Sejak Lilis mengenal Steve, bisa dikatakan dia sangat jarang pulang ke rumah. Segala keperluan Alan dia serahkan pada baby sitter, tidak memikirkan anak itu apakah diurus dengan benar. Mendapat penolakan dari Alan membuat Lilis menjadi teringat betapa dia sudah sangat lalai pada putranya sendiri.Hatinya sedikit pilu, sekali lagi Lilis mencoba meminta Alan datang padanya, tapi masih terus dapat penolakan. Apakah anak kecil bisa merasakan patah hati karena tidak diurus oleh ibunya?Sesaat kemudian, ponsel di dalam tas Lilis berdering. Dia segera melupakan Alan saat melihat nama Steve di layar ponselnya."Halo, Sayang..." jawab Lilis, suaranya dibuat sangat manja."Kamu udah nyampe di rumah, Babe?""Udah, dong. Dari tadi.""Terus, gimana soal Alan? Kamu udah beresin dia?" Seperti tertampar, Lilis melihat lagi putranya yang juga menatap dirinya kini. Mata sendu anak itu terlihat sangat menyedihkan, membuat Lilis semakin merasa bersalah."Lis, jawab dong, Lisa....""Itu... belum.""Ya am