Dalam badai kehidupan, Wening Damayanti harus menghadapi kenyataan pahit: suami dan sahabat baiknya mengkhianatinya. Parahnya, anaknya--Zion--diragukan keberadaannya. Wening pun berjuang mati-matian untuk memperjuangkan hak anaknya. Mampukah Wening menyelamatkan putra tunggalnya?
View More"Anak sialan, kenapa kamu buang air di sini hah? Wening, singkirkan anak ini dari rumahku!" seru pria yang baru saja masuk ke dalam rumah.
"Astaghfirullah mas!" Wening berseru, menghambur memeluk putranya. "Apa! Kamu jadi perempuan bisa nggak sih ngurus anak? Lihat dia buang air di mana-mana jijik tahu!" Fathan yang tidak peduli jika anak kecil di depannya menangis ketakutan. "Namanya Zion, mas. Bukan dia," Wening mengingatkan. "Siapapun namanya, aku tidak peduli. Karena dia Bukan Anakku!" "Mas!" pekik Wening. "Ma–mama," tangis Zion ketakutan. "Cepetan, singkirkan anak ini dari hadapanku!" suara Fathan kembali terdengar, kali ini lebih keras membuat Zion semakin ketakutan. Wening mengajak putranya ke kamar, setidaknya hal itu bisa menjauhkan putranya dari amukan sang suami. Prang!! Belum selesai, dari luar terdengar suara yang menggelegar bersamaan dengan barang yang berjatuhan. Belum selesai memandikan putranya, suara cempreng kembali terdengar begitu menyayat hati. "Astaga, apa ini? Wening! Dasar perempuan nggak becus ngurus anak. Lihat ini kenapa berserakan seperti ini?!" Bu Gema berjinjit, meski hidungnya di tutup, tetap saja berapa kali memuntahkan isi perutnya. "Fathan, astaga apa yang dilakukan istrimu selama di rumah? Kenapa bisa begini? Baru di tinggal kenapa jam saja sudah berantakan dan menjijikan kayak gini. Kamu pikir rumah ku ini tempat membuang kotoran hah?!" Wening menenangkan putranya yang terisak mendengar suara neneknya yang melengking. "Ibu, Zion nggak enak badan, sejak semalam buang air terus," sahut Wening. "Pakai diapres dong! Apa begitu aja kamu nggak ngerti. Gimana anakku mau makan kalau rumahnya kayak gini?" kesal Bu Gema. "Sudah buk, tapi memang lagi sakit perut jadinya begini berapa kali ganti tetap aja kayak gini terus, ini juga belum lama ganti tapi–" ucapan Wening terhenti, tatapan marah Bu Gema membuat Zion ketakutan. "Jangan bilang uang yang dikasih anakku sudah habis! Kamu jadi perempuan boros banget sih, nggak becus jadi ibu tambah beban anakku lagi! Jauhkan anak ini dariku, Wening!" Bu Gema menjauh dari Zion yang tiba-tiba mendekatinya. "Buk, Zion cucu ibu lho. Apa nggak mau gendong sebentar?" Wening tersenyum sinis melihat tingkah Ibu mertuanya. Begitu jijiknya pada Zion hanya karena warna kulitnya lebih kecoklatan dari cucunya yang lain. "Ih, kamu yakin kalau dia cucu ibu? Mana lihat nggak ada mirip-miripnya tuh sama anakku," ketus Bu Gema. "Astaghfirullahaladzim, apa ibu berpikir kalau aku mendua? Berapa kali aku jelaskan pada ibu kalau anakku, anak dari Mas Fathan itu tidak –" Gema mencebik akan mendengar penuturan dari Wening, Fathan yang hanya diam tanpa bisa memberikan pembelaan istrinya. "Dasar wanita tidak tahu diri. Kamu pikir saya bisa dibohongin begitu, kamu itu sudah mempermainkan hasil tes DNA itu. Wajar kalau hasilnya bisa berubah, kamu atur sedemikian seolah itu adalah murni. Pintar sekali kamu anak hara–" "Cukup buk! Kalau Ibu tidak suka sama anakku tidak apa-apa, tapi jangan menyebutnya anak haram. Aku tidak suka itu!" "Loh, kenapa kamu marah? Memang benar begitu adanya, kan?" "Itu nggak bener buk," "Terserah kamu. Anak, anak kamu bukan cucu ataupun anaknya Fathan titik tanpa koma ngerti!" "Fathan ikut ibu yuk, kita makan di restoran aja. Jijik kalau liat kayak gini," cibir Bu Gema. Tidak ingin berdebat Wening kembali ke dapur mengambil kain pel, akan tetapi saat ia kembali ke depan membuatnya syok. Zion tengah di cubit oleh Ibu mertua dan suaminya. "Ibu, mas, cukup! Apa yang kalian lakukan sama anakku? Tega kalian sama anak kecil!!" seru Wening berlari memeluk tubuh kecil anaknya. "Anak kamu bukan anakku, Wening!" "Terserah kamu mas, tapi aku minta jangan sakiti anakku!" geram dan sakit hati melihat buah hatinya di perlakukan sedemikian rupa oleh Ayah dan neneknya. "Suka, suka dong! Darahku tidak mengalir di tubuhnya jadi aku bebas ngelakuin apapun padanya, bukan?" tawa sinis terbit di bibir pria yang menikahinya empat tahun yang lalu. __ __ "Sudah tidur kan anakmu? Cepat belikan makanan kesukaan kami, beli sesuai list!" Bu Gema, menyerahkan secarik kertas tentu dengan kasar. Tanpa menjawab Wening pergi mengingat Zion tertidur. Setelah mendapatkan apa yang di cari Wening gegas pergi, perasaannya yang tidak enak membuatnya semakin gelisah dan buru-buru pulang. "Hentikan! Apa-apaan kalian ini! Zion anak kecil, kenapa kalian perlakuan kayak gini. Dan kamu mas, Zion nangis ketakutan tapi kamu memilih diam! Di mana hati nurani kamu hah? Ibu, mbak Mira, kalian bisa aku laporkan atas tuduhan penyiksaan pada anak kecil!" geram Wening. "Mama, takut," Isak Zion. "Cup, sayang ada mama. Sudah ya," "Hei, kamu jangan asal tuduh! Kami nggak akan main pukul kalau anak kamu nggak duluan dorong anakku. Enak aja, kecil bukan berarti nggak di lawan!" Mira, mencari cela untuk menyakiti Zion, kesigapan Wening melindung tubuh kecil putranya sehingga Mira gagal menyentuh Zion. "Menyakiti? Mbak Mira yakin?" "Kamu pikir anakku bohong gitu? Tanyakan aja anak haram kamu itu. Enak banget kamu tempat tinggal gratis taunya anaknya anak haram!" cetus Mira. "Cukup, mbak Mira! Jangan sakiti anakku. Aku tidak akan tinggal diam, jika kalian melukai anakku! Kalau hanya aku yang tersakiti, aku akan diam. Tapi tidak dengan anakku, aku bisa melakukan apapun pada kalian!" Wening merasa sangat marah dan sakit hati melihat anaknya diperlakukan dengan kasar oleh keluarga suaminya. Dia tidak bisa diam saja dan memutuskan untuk melawan. "Kalian tidak memiliki hak untuk memperlakukan anakku dengan kasar!" seru Wening. "Aku tidak akan membiarkan kalian melukai anakku!" Mira mencoba untuk membalas Wening, tapi Wening tidak mau mendengarkan. "Apa yang akan kamu lakukan, mbak? Kamu akan menyakiti anakku atau kamu ingin menyakitiku juga? Itu lebih baik dari menyakiti anak kecil, dia tidak bisa melawan!" Bu Gema mencoba untuk menenangkan situasi, tapi Wening tidak mau mendengarkan. "Aku tidak peduli dengan apa yang kalian katakan! Aku hanya ingin melindungi anakku! Dan ibu, untuk apa melakukan ini?" "Kamu diam Wening! Ibu melakukan itu supaya anakmu tau batasan. Sudahlah, sebaiknya kamu pergi bawa serta anakmu itu. Ibu sudah mengalah untuk tidak ikut bicara, tapi kamu terus aja ngomong tanpa henti!" Saat itu, Fathan sejak tadi tigak peduli memilih menghampiri mereka yang ruangan dan mencoba untuk menenangkan Wening. "Wening, aku minta kamu tenang. Aku tidak ingin kamu marah sama ibu dan mbak Mira, mereka tidak salah yang salah anakmu dia yang memulai lebih dulu!" Tapi Wening tidak mau mendengarkan. "Kamu tidak peduli dengan apa yang terjadi pada anakku! Kamu hanya peduli dengan apa yang dikatakan oleh ibumu! Dan lagi, aku lebih percaya pada fakta di depan mata!" Fathan mencoba untuk membelai Wening, tapi Wening menolaknya. Semua di lakukan agar situasi tidak lagi tegang. "Jangan sentuh aku! Aku tidak ingin kamu menyentuhnya!" Saat itu, Zion memanggil Wening. "Mama, mama!" Wening segera memeluk Zion. "Mama ada di sini, sayang. Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu." Tapi saat itu, Wening mendengar suara yang tidak terduga. "Wening, bawa pergi anakmu dari sini. Kenapa kamu masih saja ngeyel!" Wening berpaling dan melihat seorang pria yang bergelar suami dan ayah dari putranya tidak mengucapkan hal yang tidak terduga. "Seandainya kamu mendengarkan kata kataku, hal ini tidak akan terjadi Wening," Fathan tersenyum, senyum yang menyerupai seringai menyebalkan. "Aku tidak menyukai anak itu, Wening, aku membencinya." Wening merasa sangat terkejut dan penasaran. Apa yang Fathan lakukan? Dan apa yang dia ingin lakukan menarik pergelangan tangan Zion."Sudah pulang kamu? Cepetan masak kami sudah lapar!" Bu Gema menunjuk arah dapur, tidak peduli jika Wening baru saja pulang dari rumah sakit."Aku ke kamar dulu," pamit Wening. Melanjutkan langkahnya, tetapi baru berapa langkah suara Bu Gema terdengar lebih tinggi."Tidak bisa. Dia tahu di mana kamarnya, cepat ke dapur!" Wening berbalik, di sana Bu Gema berdiri angkuh. "Tidak sampai lima menit untuk mengantar anakku ke kamarnya. Tapi aku tahu ibu cukup lama menahan lapar karena menungguku." Suara Wening lirih dan tenang, sarat akan penekanan."Kamu semakin hari semakin berani. Oh tuhan kapan wanita ini pergi dari sini." Lantang Bu Gema, Wening melanjutkan langkahnya menuju kamar di sana putranya akan aman."Istirahat sayang, mama masak dulu buat nenek," lirih Wening, mengecup kening Zion."Ya, mah,""Anak, pinter."Wening memastikan putranya aman di kamar, sebelum ia meninggalkan sendiri tanpa pengawasan darinya. Tidak ada yang menjamin keamanan Zion, terlebih saat dirinya jauh dari
Setelah pengusiran malam itu pada Wening dan Zion, namun entah kenapa Wening tetap melakukan kegiatannya menyiapkan semua kebutuhan suami dan keluarganya. Jika orang di luar sana mengatakan Wening itu bodoh, maka jawabannya tidak! Wening hanya ingin mempertahankan hak putranya dan menyakinkan dirinya jika kelak suami dan keluarganya menyadari kesalahannya, meski entah sampai kapan kesabarannya teruji, jika sudah tidak makasih maka pergi adakah jalan terakhir yang akan ia ambil.Kekacauan terjadi di rumah, karena ulah adik iparnya yang semakin kisruh sehingga Wening membereskan semuanya. Entah apa yang ada dalam pikiran adik iparnya itu, membuat kegaduhan yang membuat Wening extra untuk mengembalikan keadaan ke semula. Namun, satu hal yang selalu Wening pikirkan, keselamatan Zion, ya, hanya Zion.Malam itu, Zion demam tinggi. Tubuh kecilnya berkeringat dingin, bibirnya bergetar dalam tidurnya. Setiap kali Wening menyentuh dahinya, panas tubuh anaknya semakin terasa. Dengan panik, ia me
Dua hari setelah kejadian itu, Fathan tidak lagi membicarakan soal Zion atau pun dirinya yang memilih mempertahankan Zion dalam rumah mertuanya. Malam itu saat Wening mengunjungi putranya yang berada di dalam kamarnya..."Mama, apa aku anak yang nakal? Kenapa mereka semua nggak suka sama aku?” Suara Zion terdengar lirih, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Mata kecilnya yang basah oleh air mata menatap Wening dengan tatapan bingung, seolah mencari jawaban yang bisa meredakan rasa sakit di hatinya. Wening terdiam, hatinya mencelos mendengar pertanyaan itu. Tangannya yang gemetar perlahan mengusap pipi Zion, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir.“Tidak, sayang, kamu bukan anak yang nakal. Kamu anak yang baik, sangat baik. Jangan pernah berpikir sebaliknya,” jawab Wening dengan suara serak. Namun, di balik kata-kata itu, ia menyimpan rasa sakit yang mendalam. Bagaimana mungkin seorang anak sepolos Zion bisa merasa dirinya bersalah atas semua penderitaan ini?Zion
"Mama, kenapa ayah nggak suka sama aku?" Suara kecil Zion terdengar lirih, hampir tenggelam dalam keheningan menyakitkan di kamar mereka. Wening berlutut di hadapan Zion, berusaha menahan tangis yang membuncah di dadanya. Ia menggenggam tangan kecil anaknya, mengelusnya dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan melalui sentuhan itu."Siapa bilang? Ayah hanya, ayah terlalu banyak kerja sayang, ayah kan capek di kantor nak," jawab Wening dengan suara serak. Air mata menggenang di matanya, tapi ia berusaha tersenyum. "Kamu anak Mama, dan Mama akan selalu ada buat kamu sayang, apa pun itu," Zion menatap Wening dengan mata merah penuh pertanyaan, tapi tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari bibir mungilnya. Tangannya gemetar, menggenggam lebih erat jari-jari Wening, seolah takut kehilangan satu-satunya orang yang ia tahu mencintainya tanpa syarat.Namun ketegangan di antara mereka bertambah ketika tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras, membuat Wening dan Zion tersentak. Fathan
Pagi harinya, Fathan bersikap seperti biasa sekarang tidak ada kejadian apapun semalam. Bu Gema, sikapnya yang angkuh dan kebencian pada Wening semakin menjadi, namun lebih menyebalkan di mana Fathan justru diam tanpa merespon apapun tentang permintaannya untuk menghapus nama belakang Zion."Kenapa kamu diam saja?" kata Fathan yang tajam memecah keheningan di ruang makan. Wening yang teringat kata-kata Fathan semalam hingga tidak sadar melamun, gebrakan meja membuatnya terkejut, tangannya yang memegang sendok bergetar. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan. Setiap kali Fathan membuka mulut, yang keluar hanyalah kebencian dan tuduhan."Aku hanya ingin kita bicara dengan tenang, mas. Tentang Zion tapi yang ada kita– " Suaranya lirih, mencoba meredakan ketegangan yang tak kunjung surut.Fathan memalingkan wajahnya. "Zion? Anak itu bukan darahku! Keluargaku benar, dia tidak mirip sedikit pun denganku! Kamu lupa apa yang kalian lakukan di acara semalam?"Kata-kata Fathan menghantam
"Anak ini benar-benar tidak tahu diri! Dan kamu, kamu wanita yang sangat tidak tahu diri!" Suara tajam ibu mertuanya, Ibu Gema, memecah keheningan ruang keluarga yang tadinya hanya dipenuhi oleh riuh rendah percakapan kecil. Semua mata seketika tertuju pada anak yang baru saja tersandung dan menjatuhkan gelas di depannya. Air tumpah menggenangi meja, dan serpihan gelas berhamburan di atas karpet.Wening segera bergerak, meraih tangan Zion yang kini gemetar. “Maaf, Bu,” katanya cepat, mencoba menenangkan anaknya yang menunduk ketakutan. “Dia tidak sengaja, anak-anak memang begitu.” Ujar Wening, setelah kejadian tadi, Zion ada di kamarnya sayang saat Wening kembali ke dapur justru Dinda menghampiri Zion dan mengajaknya bermain dan hasilnya Zion kembali menjadi sasaran kemarahan Bu Gema.“Tentu saja dia tidak sengaja!” Bu Gema menjawab dengan suara yang makin meninggi. “Seharusnya diajari dari kecil! Tapi, bagaimana bisa dia diajari dengan benar kalau ibunya saja tidak becus mendidik! La
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments