Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Saat memarkirkan motornya di depan rumah, Hendra mendengar tangisan anaknya sampai ke luar rumah. Tak biasanya Alan menangis sekencang itu. Karena itu dia berlari untuk memastikan apa yang terjadi di dalam rumah.“Lis, Lilis?” panggil Hendra, tangannya sigap menggendong Alan, putra mereka satu-satunya yang belum genap berusia satu tahun. Anak itu merangkak di tengah rumah dan menangis sangat kencang.“Lis, Lilis?”Rumah itu kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Lilis di dalam rumah. Tak lama setelahnya, suara ibu mertuanya terdengar dari pintu masuk.“Lilis nggak ada, dia pergi sejak siang tadi dan belum pulang. Lagian kamu ini lama bener pulangnya. Ini bubur untuk Alan, kamu yang suapin sendiri!” cetus wanita lima puluhan itu, meletakkan bubur untuk cucunya.Pergi sejak siang dan belum pulang? Hendra tidak yakin sebab Lilis tak biasanya seperti itu.“Masa sih, Buk? Lilis bukannya di rumah Ibu
Waktu sudah subuh saat Hendra kembali dari pangkalan ojek. Ada senyum sumringah di wajahnya membayangkan Lilis akan senang menerima uang itu nantinya. Tidak banyak memang, hanya 46.000 yang dia dapatkan malam ini. Tapi jika dapat segitu saja pun setiap malamnya, pasti bisa Lilis gunakan membeli skincare seperti yang dipakai orang-orang.“Kamu dari mana aja? Aku pulang malem kamu omelin, tapi kamu boleh pulang subuh?” Lilis sudah menunggu Hendra di teras rumah dan langsung mengomelinya. Dia memang tidak tahu saat tadi malam Hendra memutuskan mengojek malam, demi bisa menyenangkan sang istri.“Ini loh, aku habis ngojek di pengkolan. Nggak banyak sih, tapi lumayan buat kamu beli bedak,” terang Hendra, menyerahkan gulungan uang yang dia ambil dari saku celana. “Kamu tabung dulu, ya. Aku bakal ngojek tiap malam biar kamu bisa bebelian bedak," ucapnya dengan bannga.Bukannya senang, Lilis hanya menatap gulungan uang di tangannya. &l
Lagi-lagi ketika Hendra pulang, dia tidak menemukan Lilis di rumah. Mertuanya datang mengantar Alan, sama persis seperti kemarin malam. Tak lupa dengan omelan pedas yang dilontarkan Ratna, menyuruh Hendra mencari baby sitter agar tidak menyusahkan dirinya. Hendra hanya bisa diam mendengar mertuanya mengomel sambil lalu.“Kamu ini kenapa sih, Lis....” keluh Hendra memikirkan istrinya.Padahal sebelum pulang tadi, Hendra sengaja membawa martabak, makanan kesukaan Lilis. Niatnya untuk membujuk istrinya itu agar tidak marah-marah seperti kemarin malam. Tapi nyatanya, dia yang kembali dibuat geram oleh kelakuan sang istri yang tidak tahu keberadaannya. Ponsel Lilis tidak aktif, Hendra hanya bisa mendesah lesu meletakkan lagi ponselnya.Belum lagi Alan yang terus saja menangis, tidak mau makan dan selalu hanya memanggil mamanya, itu membuat Hendra berasa ingin gila. Ketika Lilis pulang nanti, Hendra akan memberi istrinya pelajaran agar tidak lagi mengulang
Menjual diri? Benarkah Lilis menyuruh Hendra menjual diri? Sejak kapan pula Lilis bisa berbicara hal tabu seperti itu? Apakah ini yang Lilis pelajari selama dua hari pulang selalu malam?“A-apa maksud kamu?” Hendra tergagap, tidak ingin percaya dengan isi kepalanya yang mulai berpikir buruk pada istrinya.“Kamu yang jual diri, biar aku yang carikan pelanggan buat kamu.”“Lilis!” sentak Hendra. "Aku udah cukup sabar, ya. Aku nggak akan segan-segan nampar kamu kalau berani ngomong gitu lagi!"“Kalo kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah ngancam aku segala, deh... aku yang bakal jual diri kalo kamu nggak mau. Kamu mau bantu aku carikan om-om kaya, nggak?”Apakah Lilis tidak sadar dengan ucapannya? Dia ingin suaminya menjual diri, apa yang ada di dalam kepalanya? Istri di luar sana justru banyak yang makan hati melihat suaminya menikah lagi. Hendra sendiri, jangankan berpikir menikah, bahkan membalas