Di balik diamnya sang anak yang kerap menahan tangis, Naima menyimpan luka yang lebih dalam. Ia menikah lagi dengan harapan bisa memberi putrinya seorang ayah. Tetapi yang ia dapat justru prasangka dan bayang-bayang masa lalu Emir bersama Yesi. Sementara itu sang mertua terus mendesak Emir untuk mempertimbangkan rujuk dengan mantan istrinya demi anak mereka. Dalam pusaran konflik ini Naima mulai mempertanyakan, sanggupkah ia bertahan dan melindungi anaknya? "Setelah Aku Kau Miliki", bukan sekadar kisah rumah tangga yang terancam retak. Tetapi perjalanan getir seorang perempuan yang berjuang mempertahankan martabat dan anaknya di tengah badai cinta segitiga dan restu orang tua.
View MoreSETELAH AKU KAU MILIKI
- Hanya Anak-anak "Hai, Mas. Baru pulang kerja?" Yesi tersenyum ramah pada Emir yang muncul di pintu. Pria itu membalas senyum mantan istrinya sekilas. Lalu menyambut tangan dua anak perempuan usia tujuh tahun yang berebut menyalaminya. Emir mengusap kepala anak kandung dan anak tirinya. Lantas kedua gadis kecil itu kembali duduk di pangkuan mamanya masing-masing. "Kenapa lengan Aurel terluka?" Emir yang baru duduk memperhatikan tangan putri kandungnya yang tergores. Masih tampak memerah oleh bekas darah yang mengering. "Jatuh katanya, Mas." Yesi menjawab sambil memperhatikan luka itu. "Nggak sengaja tadi. Senggolan sama Zahra di halaman, Mas." Naima menjelaskan sambil memandang sang suami. Sementara Yesi ini mantan istrinya Emir yang sudah bercerai tiga tahun lalu. "Di dorong sama Zahra tadi," sahut Bu Anjar dengan tatapan sinis pada Zahra. Naima kian erat memeluk putrinya yang selalu ketakutan di depan nenek tirinya. Naima memilih diam untuk menghindari keributan. Dia tidak akan menang sekalipun pembelaannya benar. Di mata Bu Anjar, Zahra selalu salah. Suasana mendadak tegang. Emir memandang Zahra yang diam menempel pada sang mama, lalu memperhatikan luka Aurel. "Aku mau ngajak Aurel nginep dua hari, Mas. Minggu sore aku anterin." Yesi bicara memecah ketegangan di antara mereka. Emir mengangguk. Lalu mengulurkan tangan untuk meraih lengan sang anak. Gadis kecil itu turun dari pangkuan Yesi dan memeluk papanya. "Jangan nakal, ya," pesannya seraya mengecup kening gadis kecilnya. "Sakit, Pa." Aurel menunjukkan luka di tangannya. "Iya, nanti akan sembuh ini." Yesi bangkit dari duduknya sambil meraih ransel berisi pakaian Aurel yang telah disiapkan oleh Naima. Lantas pamitan dan memeluk Bu Anjar. Juga menyalami Naima dan Zahra. Emir mengendong Aurel dan mengantarkannya hingga ke depan pagar. Di mana mobil Yesi terparkir. "Kalau terus-terusan Aurel disakiti di sini, Mas. Aku akan membawanya tinggal bersamaku," ujar wanita bergaun merah jambu itu seraya menatap lekat mantan suaminya. "Biasa anak-anak bermain, Yes. Besok juga baikan lagi." "Nggak sampe terluka juga kali, Mas. Pokoknya kalau Aurel dinakali terus. Aku akan membawanya pergi jauh darimu," ancam Yesi dengan tatapan tajam. Emir membukakan pintu dan memasang seat belt untuk Aurel. Yesi duduk di kursi kemudi. Emir menutup pintu setelah mencium kening anaknya. Dan dia kembali ke rumah setelah mobil hitam itu pergi. Di dalam rumah, Naima membawa Zahra ke kamarnya. "Duduk sini, ya. Zahra bisa menggambar dulu. Nanti Mama ke sini lagi. Mama mau nyiapin makan malam untuk papa." Zahra mengangguk dengan tatapan sendu. Hati Naima seakan teriris-iris. Cukup lama dia memandang putrinya. Mengusap rambut gadis itu, mencium keningnya lalu keluar kamar. Naima menyiapkan pakaian ganti untuk Emir yang sedang mandi. Ketika hendak keluar kamar, sang suami selesai mandi. "Yesi ngancam mau membawa Aurel pergi kalau sampai terluka lagi. Atau anak itu merasa nggak nyaman di rumah ini. Tadi kenapa Aurel sampai terluka?" Emir berkata tepat di depan Naima. "Mas, anak-anak tadi berlarian di halaman. Zahra bilang, Aurel tersandung batu dan jatuh sendiri di dekatnya. Lalu tangannya tergores ranting bunga mawar." "Tapi Ibu bilang, Aurel di dorong Zahra?" "Terserah Mas mau percaya sama siapa." Naima malas untuk berdebat. Karena pada akhirnya, dia yang tetap salah. Diulurkannya pakaian yang dipegang pada sang suami, lantas ia melangkah pergi untuk menyiapkan makan malam. Naima menata menu dengan cepat. Lalu melangkah ke ruang dalam. "Makan malamnya sudah siap, Mas," bilangnya pada Emir yang duduk di sofa bersama ibunya. "Kamu nggak makan?" tanya Emir saat Naima hendak masuk kamar putrinya. "Aku panggil Zahra dulu, Mas." Naima menghampiri Zahra yang tengah mewarnai. "Zahra, kita makan dulu." Zahra menggeleng. Naima mengerti, kalau sang anak takut dengan Bu Anjar. "Ayo, sama Mama," bujuk Naima. "Nggak, Ma. Zahra nggak lapar." "Baiklah, Mama ambilin nasi. Zahra makan di sini saja." Tergesa Naima melangkah keluar kamar. Lalu mengambil piring milik Zahra. "Zahra mau makan di kamar, Mas. Sambil ngerjain PR-nya." Naima berkata pada sang suami. "Kenapa makan di kamar. Selalu dimanja gitu, makanya bocah jadi nakal," tegur Bu Anjar dengan lirikan mautnya. Naima tidak jadi mengambilkan nasi dan piring dikembalikan ke rak. "Nggak apa-apa, Ma. Zahra masih anak-anak. Dia juga sambil ngerjain tugas sekolahnya. Nai, ambilkan nasinya," ujar Emir. "Nanti saja, Mas." Naima melangkah kembali ke kamar. "Suamimu sedang makan. Kenapa nggak diladeni. Malah sibuk sama anakmu yang bandel itu." Kembali ucapan tajam itu keluar dari mulut seorang mertua. Naima tak menjawab. Dia tetap masuk ke kamar dengan hati yang terkoyak. "Zahra, makan nanti saja, ya. Kalau Zahra sudah selesai mewarnai." Zahra mengangguk. 🖤LS🖤 "Zahra, maafkan Mama," bisik Naima sambil membenahi selimut yang menutupi tubuh mungil putrinya. Rambut lurus Zahra terurai di bantal, wajahnya terlihat begitu tenang disaat sedang tidur saja. Kalau terbangun, rasa tak nyaman tampak di matanya. Tadi dia tidak mau makan meski sudah dipaksa. Hati Naima perih. Ia ingat saat sore tadi anak itu menahan tangis sewaktu dimarahi Bu Anjar. Zahra hanya menunduk, tak berani membela diri. Air mata sempat menetes, cepat-cepat ia seka agar tak terlihat. Dia pasti sedih. Zahra selalu mengalah. Berbeda dengan Aurel yang mencari cara agar perhatian orang-orang hanya tertuju padanya. Naima menatap lagi wajah itu. Getir menyeruak di dada. Kenapa keadaan selalu menempatkan Zahra pada posisi salah? "Nai," suara berat Emir terdengar dari arah pintu kamar yang terkuak sedikit. "Mas tunggu di kamar," katanya, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban. Naima menarik napas panjang. Disapunya lembut rambut Zahra sekali lagi sebelum meninggalkan kamar itu. Hatinya masih perih. Dia berharap pernikahannya dengan Emir setelah mereka sama-sama sendiri, bisa membuat Zahra memiliki figur seorang ayah. Lagipula mereka didukung oleh papanya Emir yang sudah meninggal dua tahun lalu. Mereka dulu adalah dua orang yang pernah saling jatuh cinta, tapi karena keadaan akhirnya masing-masing menikah dengan orang lain. Setelah sama-sama sendiri, mereka dipertemukan kembali. Di awal pernikahan, hubungan baik-baik saja. Emir juga penuh perhatian pada dua anak tanpa membeda-bedakan. Namun akhir-akhir ini mulai banyak berubah. Setelah mama kandungnya Aurel kembali. Walaupun sesekali masih membela Zahra dan Naima di depan mamanya. Setelah mengganti lampu dengan lampu malam yang temaram, Naima keluar kamar. Namun langkahnya terhenti saat mendengar percakapan di ruang keluarga. "Salahmu dulu nggak dengerin Mama. Kamu lebih menuruti apa kata papamu untuk menikahi janda itu. Dengan alasan kasihan, biar anaknya yang yatim punya ayah. Padahal kamu masih punya peluang rujuk dengan Yesi demi Aurel." Mendengar ucapan mertuanya dari balik tembok, membuat hati Naima terasa perih. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar ucapan seperti itu. Next ....SETELAH AKU KAU MILIKI - Sesal"Bu Nai pergi jam dua belas tadi, Pak," jawab Mak Tam dengan tubuh gemetar saat menerima bosnya duduk di ruang tamu, di rumahnya yang sangat sederhana.Saat melihat Emir berbelok menuju rumahnya tadi, Mak Tam sudah panas dingin."Apa yang terjadi, Mak?"Wanita usia lima puluh tahun itu terlihat kebingungan sekaligus takut. Dia harus jujur atau menutupi karena sudah diancam oleh Bu Anjar. "Kalau sampai kamu buka mulut, jangan harap bisa bekerja di sini lagi." Wanita itu takut karena pekerjaan itu penting baginya."Mak, kenapa diam?" tanya Emir semakin gusar."Maaf, Pak. Saya sebenarnya kurang tahu apa yang terjadi tadi.""Apa benar, Naima memang sengaja pergi meninggalkan rumah? Atau ada sesuatu yang membuatnya pergi?" Emir terus mendesak. Menyebabkan Mak Tam kian terpojok. Wajah wanita itu pias dan pucat. Membuat Emir semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu. Jika memang tak ada apapun, Mak Tam pasti sudah bicara."Jujur saja, Mak.""Nanti Pak Emir mem
SETELAH AKU KAU MILIKI- Pergi"Ma, kita mau ke mana?" tanya Zahra tampak kebingungan. "Kita pergi jauh. Biar Zahra nggak ketakutan lagi kalau Nenek Anjar marah-marah. Biar Zahra nggak selalu disalahkan sama nenek. Zahra nanti tinggal bersama Mama saja," jawab Naima terus melangkah sambil menyeret kopernya. Dia agak kesulitan karena sambil menggendong Zahra."Zahra, jalan sendiri ya. Sampai depan sana. Nanti kita naik taksi," kata Naima."Iya," jawab Zahra lantas minta turun.Tangan kiri Naima mengandeng anaknya, sedangkan tangan kanan menarik koper. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas musim kemarau membakar bumi. Dan mereka terus saja melangkah keluar perumahan. Suasana saat itu juga sepi. Cuaca panas membuat orang-orang malas keluar rumah. "Ma, kita nanti nggak bisa ketemu Papa lagi?" tanya Zahra di tengah terik matahari.Naima menatap anaknya lalu tersenyum. "Yang penting Zahra nggak dimarahi nenek dan Aurel lagi."Zahra lalu diam sambil menatap lurus ke depan. N
SETELAH AKU KAU MILIKIPart 4 Kita Pernah Saling Kehilangan "Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh. "Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik."Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan. Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak. Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya.""Mama, temani Zahra, ya?"Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu.""Hu um." Zahr
SETELAH AKU KAU MILIKI- Tak Kuat Lagi"Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima."Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya.""Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin.Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel." Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut.Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur.Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawa
SETELAH AKU KAU MILIKI- Apa Aku yang Salah?"Kalian baru dua tahun menikah, belum terlambat untuk membuat keputusan. Lagian kalian juga belum punya anak." Kata-kata itu kembali menghantam dada Naima. Ia mematung dibalik tembok."Mama sejak dulu kan sudah bilang sih, Mir. Ngapain kamu nikahi janda itu. Bikin susah saja anaknya. Nanti lama kelamaan, Aurel yang kalah.""Ma, mereka masih kanak-kanak. Nanti usia bertambah, akan semakin mengerti.""Kamu selalu membelanya, kan? Perempuan itu sudah menghasutmu. Apa yang dikatakannya padamu, hingga kamu begitu tunduk padanya. Sampai nggak mau dengerin Mama. Apa kamu nggak kasihan sama anakmu?"Mama nggak habis pikir. Bisa-bisanya kamu nikahin anak preman itu. Nah sekarang cucunya jadi preman perempuan. Masih kecil dah pinter membully."Pertahanan Naima benar-benar runtuh. Air matanya tumpah tak terbendung mendengar ucapan mertuanya tentang masa lalu ayahnya. Ya, ayahnya dulu memang seorang preman. Tapi itu dulu sekali sebelum menikah. Sudah b
SETELAH AKU KAU MILIKI - Hanya Anak-anak"Hai, Mas. Baru pulang kerja?" Yesi tersenyum ramah pada Emir yang muncul di pintu. Pria itu membalas senyum mantan istrinya sekilas. Lalu menyambut tangan dua anak perempuan usia tujuh tahun yang berebut menyalaminya.Emir mengusap kepala anak kandung dan anak tirinya. Lantas kedua gadis kecil itu kembali duduk di pangkuan mamanya masing-masing."Kenapa lengan Aurel terluka?" Emir yang baru duduk memperhatikan tangan putri kandungnya yang tergores. Masih tampak memerah oleh bekas darah yang mengering."Jatuh katanya, Mas." Yesi menjawab sambil memperhatikan luka itu."Nggak sengaja tadi. Senggolan sama Zahra di halaman, Mas." Naima menjelaskan sambil memandang sang suami. Sementara Yesi ini mantan istrinya Emir yang sudah bercerai tiga tahun lalu."Di dorong sama Zahra tadi," sahut Bu Anjar dengan tatapan sinis pada Zahra. Naima kian erat memeluk putrinya yang selalu ketakutan di depan nenek tirinya. Naima memilih diam untuk menghindari ker
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments