“Dengar Enin dulu, Bram!”
“Tapi, Nin!” Bram kembali terlihat cemas.
“Sudah! Tak usah takut. Enin akan ada di sisimu, Jang. Tak apa, ya Enin bukakan pintu untuk mereka?”
“Kamu harus tanggung jawab, Jang. Kamu tau kalau kamu salah kan,”
Bram memanggil yakin dan Enin kemudian berdiri menuju pintu untuk menyambut tamunya. Dengan berani Enin kemudian membukakan pintu.
“Selamat siang, kami dari kepolisian. Benar Bramasta Araya tinggal disini?” sapa seorang polisi berbaju preman yang tersenyum ramah pada nenek tua itu.
“Benar, Pak. Cucu saya ada di dalam,” tegas Enin lalu membuka pintu rumahnya lebar untuk tiga orang anggota polisi yang berdiri di depan pintu rumahnya.
“Terima kasih kerjasamanya. Kami harus bawa Bram ke kantor polisi sekarang,”
“Iya!” Enin meraih tangan polisi yang berjalan paling awal. “Pak, tapi Ujang Bram saya jangan digebugin, ya!”
“Digebukin?” Polisi itu menatap Enin dengan wajahnya yang tertunduk.
“Iya, Pak. Enin sayang sekali sama ujang sholeh ini, mungkin dia nakal tapi Enin mau jadi jaminan untuk dia. Dia gak akan kabur, Pak. Sudah Enin marahi dia tadi!” tutur Enin dengan polos dan tulus.
Tentu wajah tulus Enin yang tergambar begitu jelas membuat tiga orang anggota polisi langsung terenyuh karena nya. Mereka yang tadinya bersiap dengan wajah gahar berubah jadi lembut untuk menghormati wanita paruh baya ini.
“Iya, Nin. Dia gak akan kami gebukin. Kami juga percaya kalau dia gak akan kabur. Tapi dia harus tetap kami bawa,”
“Mangga,” ( Mangga adalah permisi dalam bahasa Sunda.). “Enin gak akan halangi,”
Polisi itu lalu mendekat ke arah Bram kemudian menyiapkan borgol untuk tangan gitaris ini.
“Ikut kami ke polisi,” tutur polisi yang menyusul Bram dengan tegas namun tetap lembut. “Kami punya bukti kalau kamu pengguna sabu,”
“Tidak, bukti itu salah! Saya tidak pake, Pak” bela Bram tapi tetap membiarkan polisi itu memasangkan borgol di tangannya tanpa perlawanan.
“Nanti saja jelaskan di kantor. Ini akan mempercepat proses penyidikan!”
Enin menatap Bram yang tertunduk malu atas penangkapan ini tapi semua harus tetap mereka jalani dan wanita paruh baya itu kemudian mengikuti langkah polisi menuju mobil. “Pak, ingat, ya. Saya mau jadi jaminan untuk cucu saya. Dia gak akan kabur jadi jangan pukuli dia. Saya mohon!” tutur Enin saat polisi membantu Bram naik ke atas mobil penjemputan.
“Iya, Nin Kami ngerti. Tapi nanti ada teman kami yang akan bantu Enin beres-beres rumah, ya. Mohon di terima baik seperti kami ini!”
“Baik, Pak!” ucap Enin dengan wajah lesu menatap cucunya yang siap untuk dibawa pergi.
“Kami harus pergi sekarang,” pamit polisi tadi dengan wajahnya yang ramah. “Nanti kami hubungi lagi jika ada data yang harus dilengkapi pihak keluarga sebagai tanda Nenek bersedia jadi jaminan,”
“Iya, Pak! Enin bersedia dihubungi kapan saja. Silahkan bawa anak ini sekarang,”
Polisi lalu menggiring tubuh Bram menuju mobil polisi yang terparkir di depan rumah sederhana Enin.
Hancur!
Hanya itu rasa yang ada di hati wanita paruh baya itu dan Bram tau betul betapa sakitnya hati neneknya.Mobil yang membawa Bram kemudian melaju kencang menuju kantor polisi terdekat.
Selama pemeriksaan gitaris yang bandnya sedang naik daun itu terus menunduk hingga akhirnya seorang wanita yang mengaku sebagai pengacara yang ditunjuk label untuknya datang dengan wajahnya yang ramah.
“Selamat siang, saya Swarna,” ucap pengacara muda bersetelan jas biru tua itu sambil mengulurkan tangannya kepada Bram.
“Swarna? Siapa?”
“Saya dapat mandat dari label rekaman yang menaungimu, Bram. Saya diminta untuk membantumu dalam kasus ini,”
Bram menghela nafasnya panjang lalu menatap Swarna yang baru kali ini dia lihat. “Katakan padaku siapa yang melaporkan kami ke polisi?”
“Mmmm, saya tak mengurusi masalah itu. Saya hanya ditugaskan label mengurusi kalian sampai kalian semua mendapatkan keringanan berupa rehabilitasi,”
“Tak mungkin,” Bram terkekeh lalu berdiri menghadap Swarna yang begitu anggun meski dia adalah seorang pengacara yang identik dengan kesan sangar dan tak bersahabat. “Pasti ada yang melaporkan kami,”
“Saya sungguh tak tau. Tapi kalau boleh saya bertanya, kira-kira siapa yang kau duga melakukan hal ini pada kalian,”
“Widi?!” tegas Bram dengan wajah datar.
“Mmm, sepertinya bukan,”
“Hah! Berarti kau tau siapa pelakunya?”
“Eh!” Swarna terkekeh menyadari blundernya sendiri. “Hahahaha! Aku keceplosan,”
“Katakan saja!” desak Bram.
“Baiklah, tapi kau jangan kaget, ya,”
“Siapa? Katakan saja, aku tak mau menjalani semua ini dengan penasaran,”
“Pelakunya adalah anggota keluara dari ayah mertuamu,”
Deg!
“Astaga! Tega sekali dia,” Bram terduduk mendengar nama itu terucap.
“Ya, ini dunia yang kejam. Kau tak akan bisa percaya pada siapapun dan bahkan tak tau kenapa lawanmu menyakitimu,”
“Kau benar, Swarna. Sekarang karirku sudah hancur dan aku tak tau lagi harus berbuat apa.”
Swarna tersenyum simpul lalu menepuk bahu Bram yang begitu kaku karena tau yang sebenarnya.
“Pokoknya kamu harus mau direhab, itu satu-satunya cara agar kau bisa kembali membangun karirmu yang harus terhenti karena tangan jahat musuhmu,”“Rehab? Aku gak make, untuk apa aku rehab!”
“Percuma! Ada bukti kuat kalau kamu make dan mereka sudah berkilah jika darahmu mungkin masih bersih karena dosis yang kau pake hanya sedikit!”
“Astaga! Kenapa mereka sejahat ini memfitnahku untuk hal yang tak aku lakukan!”
“Katanya ada yang lihat kau mengancam Widi,”
“Mengancam Widi?!” Bram memutar ingatannya pada kejadian semalam saat dia membekap mulut wanita yang sedang hamil itu. “Hanya karena itu kemudian mereka melaporkan?”
“Kabar lain karena kau tak mengakui anak yang ada di rahim wanita itu?”
“Astaga! Kalau aku tak mengakuinya, kenapa aku harus menikahinya? Lagi pula mertuaku bilang jika pernikahan ini kami rahasiakan hanya samapi kontrak pertamaku usai,”
“Percuma! Kau tak punya pilihan. Kalau saranku ikuti saja aturan mainnya. Rehab Lah meski itu sulit bagimu,”
“Baiklah!” jawab Bram yang sudah terlalu lelah dengan sandiwara ini.
Setelah pertemuannya dengan pengacara yang dikirimkan label rekaman, Bram akhirnya melanjutkan proses hukumnya.
Dia harus mulai melakukan pemeriksaan dengan dokter hingga dinyatakan dia adalah orang yang positif menggunakanan narkoba jenis sabu namun hanya sebagai pemakai bukan pengedar.
Tak cuma proses pemeriksaan dokter, Bram juga harus melakukan sesi jumpa pers yang membuatnya sangat tak siap.
“Kau siap?” tanya Swarna saat semua anggota grup band terkenal ini sudah berkumpul di sebuah ruangan dekat lapangan belakang kantor polisi tempat mereka ditahan sementara.
“Ayo, Bram. Semakin cepat, semakin bagus,” bisik Kholil yang juga sudah ada di ruangan itu.
“Iya!”
Setelah semuanya siap, Swarna meminta polisi untuk membantu kelima anggota band dan managernya itu menuju tempat jumpa pers.
Cahaya blitz kamera mulia menyala dan Bram semakin ketakutan dibuatnya.
“Bram!” panggil beberapa wartawati yang memang sangat mengidolakan gitaris yang terkenal begitu piawai memainkan senar-senar gitarnya. “I love you! Semangat, ya!”
“Duh!” keluh Bram tak menyangan masih saja ada orang yang memujanya di saat seperti ini.
Konferensi pers segera dimulai setelah semua anggota band berjajar rapi membelakangi para wartawan.
Bram berdiri paling kiri dan paling tertunduk karena kejadian ini.
Setelah semua siap, satu persatu wartawan pun mulai bertanya dan Bram semakin tertunduk malu karena nya.
“Jadi benar semua anggota grup band D’Klok menggunakan narkoba?” Pertanyaan pertama itu sungguh membuat Bram yang berdiri membelakangi para wartawan tak bisa lagi berkata-kata.
“Benar! Semua anggota band dituntut sebagai pemakai saja, sedang Kholil, managernya sebagai penyuplai!”
“Apa mereka akan dihukum?”
“Tidak semua! Sesuai pasal 127 undang-undang nomor 35 tahun 2009, para pengguna narkoba ini akan menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO,”
“Lalu yang mengedarkan?’
“Nah! Sedang pengedarnya yaitu saudara Kholil akan kami jerat pasal 115 undang-undang narkoba dengan hukuman minimal 4 tahun dan maksimalnya 12 tahun,”
Deg!
Bram tersentak mendengarkan hukuman yang akan diterima managernya itu. Meski semua ini adalah ulah Kholil, tapi rasanya hukuman itu akan sangat berat dijalani sang manager yang akan lama berpisah dengan kedua anaknya.“Kami rasa cukup,” tutur polisi kemudian meminta rekanya membawa masuk kembali Bram dan teman-temannya ke ruang tahanan sementara.Riuh para wartawan yang masih ingin mewawancarai semua anggota band itu terdengar, mereka terus menyalakan lampu blitz kamera untuk mendapatkan gambar yang mereka butuhkan yang harus tayang hari ini juga.Saling dorong terus terjadi hingga akhirnya Bram masuk ke dalam ruangan dimana dia dan keempat temannya yang lain selain Kholil sudah masuk.“Karir kita usai,” bisik Bram dengan mata terpejam sembari membayangkan masa depannya yang kini jadi suram karena pengaruh buruk managernya.“Iya, tapi ya mau gimana lagi, Bro. Kalau gak gini kita tak akan pernah kuat menghadapi konser berjubel yang sudah kita tanda tangani bersama,”“Kau benar,” sahut Bram mengingat kembali jalur karir musiknya yang memang begitu padat sehingga untuk bisa tidur nyenyak saja sangat sulit bagi mereka.“Kalian siap-siap ke RSKO!” seru Swarna memasuki ruangan tempat Bram berada.“Apa se
“Pasti! Ayahmu boleh kabur dari tanggung jawabnya. Ibumu boleh menolakmu, tapi percaya sama Enin, cinta Enin mah tulus untuk Ujang. Enin gak akan ninggalin Ujang asal ujang tetap sayang sama diri ujang,”Bram kembali meneteskan air matanya, ketulusan wanita paruh baya ini sungguh membuatnya semakin merasa jika hidupnya kini hanya pantas dipersembahkan untuk Enin.Dia terus memohon kepada Allah semoga tubuhnya yang begitu rapuh ini bisa kembali mendapatkan kekuatan seperti saat semua kejadian bodoh ini belum berjalan.“Sekarang Ujang sholat. Percaya sama Enin, Cuma Sholat yang bisa membantu Ujang keluar dari semua ujian ini,”Deg! Jantung Bram serasa ditikam belati, dia teringat jika selama ini satu-satunya hal yang dia lupakan adalah menyembah tuhannya.“Kenapa?” tanya Enin melihat perubahan ekspresi wajah cucunya.“Maafkan Bram, Nin. Sepertinya Ujang lupa melakukan ini,” “Jadi Ujang teh ngak pernah sholat di RSK apa itu?”Bram melebarkan senyumnya membuat Enin semakin marah padan
"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya."I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya."Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba..."Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang."Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu."Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?""Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.Plas!Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya."Kenapa denganmu?" "Kau pik
"AAH! Ayah!" teriak Widi berkali-kali dengan wajah yang begitu kesakitan.Bram bersiap untuk melangkah masuk tapi tangan mertuanya segera menariknya. "Jangan! Kau disini saja!""Tapi...""Aku tau kau berniat baik pada putriku tapi percayalah, ini akan jadi urusanku hingga cucuku lahir!""Kenapa aku tak boleh masuk?"Pria tua itu menggelengkan kepalanya cepat lalu mendorong tubuh Bram yang sangat ingin bertemu Widi disaat sakitnya. "Pergilah!"Mendengar kata yang singkat dan begitu jelas itu, Bram menatap nanar wajah Widi yang seakan sulit dia sentuh untuk saat ini, meski permintaan ayah mertuanya begitu sulit, tapi dia mengalah.Pria tampan itu memilih melangkah mundur kemudian membiarkan Hartono masuk ke dalam kamar Widi tanpa dirinya.Kepala Bram tertunduk lalu memutar badan menuju lift untuk meninggalkan Widi yang terlihat sangat kesakitan."Maafkan aku, Widi," bisik Bram menahan sakit di dadanya. Sakit! Ini sangat sakit, tak cuma karena dia tak bisa menemui Widi, tapi juga karen
“Kalau begitu kejadiannya, aku akan membantumu mencari pelakunya!” “Sungguh Ayah akan membantuku?”“Bram, kau ini bagaimana sih? Aku sekarang ini ayahmu. Aku harus mengungkap semua ini agar saat kau menduduki posisi CEO, jalanmu akan lapang!”Bram mengangguk penuh semangat mendengar janji dari ayah mertuanya itu. Diapun segera menjabat tangan Hartono berbesar hati untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan karena kasus narkoba yang menimpanya.“Kau harus semangat, Nak! Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi demi masa depan kau dan putriku!”“Terima kasih, Ayah! Aku tau ini tak mudah bagimu tapi aku sangat senang dengan dukungan yang kau katakan barusan,”“Iya, sekarang temui Widi. Katakan padanya kau tak akan meninggalkannya lagi. Hanya itu yang aku mau sekarang,”“Baik! Aku akan menemuinya setelah jam istirahatnya selesai,”Hartono menatap menantunya itu dengan lembut berharap banyak pada pria yang kini ada tak jauh dari hadapannya. Dia terus berharap segera menemukan orang
"Nyonya!" teriak seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Widi yang masih begitu lemas setelah melahirkan."Ada apa?" tanya Widi dengan penuh awas. "Katakan saja,""Tapi, Nyonya!""Apa?" tanya Widi sekali lagi. "Katakan ada apa?" ucapnya penuh penekanan."Pak Hartono, kondisinya dia telah meninggal," ucapnya dengan bibir bergetar."Ayah!" tangis Widi seketika pecah dan tak ada yang bisa menghentikan. Tangisan wanita yang baru melahirkan itu segera bertaut dengan tangisan bayi Widi yang masih berada di kamar perawatannya.Semua orang yang sedang berada di sana tak berani menyentuh Widi karena mereka tau kesedihan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun.Setelah kesedihan di ruang perawatan Widi, beberapa orang anggota keluarga pengusaha dapur rekaman itu satu persatu mulai berdatangan.Tentu Widi butuh penghiburan namun yang ada mereka justru datang untuk menyalahkan Bram yang dianggap keluarga wanita kaya ini sebagai penyebab kematian Hartono yang sebelum kasus gitaris ta
“Aku sangat menyesal, Ayah! Maafkan aku!” ucap Bram berkali-kali sambil terus menangis meski tangisan ini tak sedikitpun ingin dihentikan oleh salah satu anggota keluarga istrinya. Tangisannya baru terhenti saat supir kepercayaan ayah mertuanya mendekatinya."Pak, biar saya antar pulang. Ada pesan dari Pak Hartono sebelum Beliau meninggal dunia,""Ayah bilang apa?" tanya Bram sembari memutar lehernya ke arah pria berbaju supir itu."Mari ikut saya,"Bram tersenyum simpul lalu melangkah bersama supir itu meninggalkan ruang persemayaman terakhir Hartono.Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya apa gerangan yang dikatakan pria yang mengorbitkannya di dunia musik sebelum tutup usia."Masuk, Pak!" Supir mempersilahkan."Baik!" Bram segera duduk di kursi penumpang sambil bersandar menunggu pria kepercayaan Hartono itu duduk di kursi kemudi."Saya cerita dulu, ya. Jangan di sela," pintanya sambil memutar kunci mobil."Iya!""Jadi sebelum Bapak meninggal, Bapak mengatakan kecurigaannya pada Pa
"Terima saja kenyataan ini, Dory. Ini sesuai isi wasiat pamanmu!" ucap Bram dengan wajah meledek."Tidak akan! Mana mungkin aku membiarkan pria tak berguna sepertimu jadi pemimpin di perusahaan besar ini!!""Tapi itu yang Pak Hartono mau!" tegas pemimpin rapat membuat Bram tersenyum simpul. Dia merasa menang dan sangat yakin akan membuat Dory yang sombong kehabisan kata untuk menolaknya."Aku tak terima keputusan ini! Aku tak akan menyetujui pengangkatannya!" tegas Dory lalu melangkah keluar dari ruang rapat."Tapi Pak!" Pemimpin rapat mencoba mencegah kepergian Dory tapi dia bersikukuh pergi. Melihat Dory meninggalkan ruangan, Bram tampak tak peduli. Baginya sekarang dia adalah pemimpin dari label musik ternama ini dan seperti janji supir kepercayaan ayah mertuanya, mereka akan membantunya."Jadi bagaimana sekarang?" tanya Bram yang masih menunggu keputusan dari peserta rapat."Kami akan mendiskusikan ini dul," "Hah! Jadi aku belum resmi jadi CEO?""Benar! Dory itu pemilik saham te