“Kami rasa cukup,” tutur polisi kemudian meminta rekanya membawa masuk kembali Bram dan teman-temannya ke ruang tahanan sementara.
Riuh para wartawan yang masih ingin mewawancarai semua anggota band itu terdengar, mereka terus menyalakan lampu blitz kamera untuk mendapatkan gambar yang mereka butuhkan yang harus tayang hari ini juga.
Saling dorong terus terjadi hingga akhirnya Bram masuk ke dalam ruangan dimana dia dan keempat temannya yang lain selain Kholil sudah masuk.
“Karir kita usai,” bisik Bram dengan mata terpejam sembari membayangkan masa depannya yang kini jadi suram karena pengaruh buruk managernya.
“Iya, tapi ya mau gimana lagi, Bro. Kalau gak gini kita tak akan pernah kuat menghadapi konser berjubel yang sudah kita tanda tangani bersama,”
“Kau benar,” sahut Bram mengingat kembali jalur karir musiknya yang memang begitu padat sehingga untuk bisa tidur nyenyak saja sangat sulit bagi mereka.
“Kalian siap-siap ke RSKO!” seru Swarna memasuki ruangan tempat Bram berada.
“Apa secepat itu?”
“Iya, kita sudah dapat izin. Pokoknya kita pergi hari ini juga, kalian tak usah khawatir, ini sudah sesuai prosedur!
Bram mengangguk lalu bersiap untuk pergi seperti perintah pengacara cantik ini.
Keempatnya kemudian bergegas pergi dengan mobil ambulan rumah sakit lewat jalan belakang agar tak banyak wartawan yang membuntuti mereka.
Tak butuh waktu lama di RSKO, enam bulan kemudian Bram dan teman-temannya kemudian dinyatakan sudah sembuh dari ketergantungan mereka.
Karena sudah sembuh kini Bram sudah boleh pulang dan rumah satu-satunya yang ada di hati Bram hanyalah rumah Enin, wanita tua yang selama ini merawatnya.
Mobil yang dikendarai Swarna kemudian melaju lambat di depan rumah wanita paruh baya ini lalu mencari posisi parkir sebelum cucu kesayangan Enin ini melangkah turun.
“Enin!” panggil Bram yang memang tak mengatakan terlebih dulu kepulangannya.
“Eh, kenapa suaranya kaya suara si Ujang,” tutur Enin lalu membuka pintu rumahnya yang sudah lapuk.
“Enin! Ini Bram!” seru Bram yang sangat yakin akan mendapatkan sambutan dan pelukan hangat dari neneknya.
“Alhamdulillah, Jang!” seru Enin yang langsung memeluk Bram seperti apa yang diharapkan pria tinggi besar.
“Enin, peluk aku!” ucap Bram berkali-kali penuh harap.
Air mata Enin tumpah di pelukan Bram dan terus berpelukan hingga beberapa saat. Enin terus mengucap syukur Alhamdulillah atas kembalinya Bram, dia terus berharap Bram kini sudah jadi manusia yang lebih baik dan mudah tergoda ujian dunia lagi.
“Kenapa tak bilang kalau Ujang pulang hari ini?”
“Ini kejutan!”
“Alhamdulillah,” kekeh Enin lalu menari tangan cucu yang sudah berbulan-bulan tak dijumpai. “Kejutan yang indah, Jang. Terima kasih. Ayo Masuk atuh.”
“Tunggu!” Bram menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Swarna. “Kau tak masuk dulu,”
“Kalian habiskan waktu bersama saja dulu, aku besok lagi saja kemarinya,” jawab Swarna sambil menyalakan kembali mesin mobilnya kemudian berlalu dari hadapan Bram yang tak sempat mengejarnya.
“Dia siapa?”
“Dia itu pengacara, Nin. Nanti Ujang ceritakan semuanya,”
Baru saja akan melangkah masuk, tiba-tiba seorang wanita berdaster melintas di depan rumah Enin kemudian berdiri bertolak pinggang bersiap untuk menyambut Bram.
“Eh! Nin!” panggil tetangga Enin dengan nada sinis. “Kok penjahat datang ke rumah Enin,”
“Siapa yang penjahat?” ketus Enin sambil bertolak pinggang.
“Dia kan penjahat!” tunjuk tetangga Enin yang ketus itu.
“Jangan bilang gitu, dia ini ujang sholehnya Enin,”
“Sholeh? Hahahaha, kalau dia sholeh dia gak akan masuk penjara, Nin,” ledeknya semakin membuat Enin naik pitam.
“Pergi sana, ngapain kemari kalau cuma mau bikin Enin kesal!”
“Ih, kasihan ya, Nin. Punya cucu kayak gitu kok dibilang ujang sholeh. Bikin malu kampung ini saja,”
“Pergi kamu, kami ngak ganggu kamu kok kamu sewot.”
“Emang ini juga mau pergi, mau ke Pak RT mau lapor biar itu pengguna narkoba gak tinggal di sini,”
“Astagfirullah hal adzim,” bisik Enin sambil meraba dadanya yang tak menyangka tetangganya bisa berkata sinis itu pada cucu kesayangannya.
Mendengar perdebatan itu Bram kembali tertunduk lesu, dia tak menyangka jika kembalinya dia di rumah neneknya akan disambut dengan cibiran dari tetangga yang membuat Enin kesal dibuatnya.
“Jang, jangan didengar, ayo kita masuk!” Enin menarik tangan Bram menuju tamunya sederhananya. “Nin belum masak sih, tapi insya Allah, Enin tetap punya tempat untuk Ujang,”
“Nin, apa kita tak pergi saja dari tempat ini. Bram takut mereka usir Enin dari kampung ini,”
“Jang, jangan takut. Pak RT itu sudah dikasih tau sama polisi-polisi yang kemarin kemari, yang nyusul kamu. Dia diminta kasih Enin ijin tinggal di kampung ini sampai kamu datang, gak papa kok,”
“Terus Pak RT gimana?”
“Udah tau, kalau ada yang sinis selama kamu di RSK apa itu,”
“RSKO?”
“Iya itu. Pak RT bantuin Enin supaya mereka gak gangguin Enin, gitu.”
“Jadi selama Bram pergi mereka sesinis itu sama Enin?”
Enin melebarkan senyumannya pada cucunya itu menyiratkan betapa dia telah bertahan tinggal di rumahnya yang reot ini karena tak punya lagi tempat berlindung lain.
“Iya, toh kamu sudah pulang. Jadi sekarang tinggal kita yang sama-sama menguatkan sampai mereka gak bawel ngatain kamu,”
“Dosa Bram, Nin. Harusnya Bram minta orang untuk pindahin Enin dari kampung ini,”
“Gak papa, Jang. Enin udah biasa kok dengan ledekan orang-orang itu. Pokoknya Ujang yang kuat iman, ya. Kita pasti bisa melewati semua ini. Pasti, Jang!”
Bram tak bisa lagi berkata-kata, hanya air mata yang menggambarkan betapa rasa berdosanya membungkus tubuhnya.
Tanganya terus meraba tangan penuh keriput Enin berharap wanita yang merupakan ibu dari ibunya ini masih tegar berdiri di sampingnya hingga Bram kembali mendapatkan kepercayaan dirinya yang runtuh karena kasus narkoba yang baru dia selesaikan hukumannya.
“Jadi sekarang apa rencana Ujang?” tanya Enin dengan suaranya yang masih tetap lembut.
“Entahlah,”
“Jangan gitu, Jang. Ujang teh harus semangat. Ujang kan punya Widi, bukankah dia sedang hamil anakmu?”
“Widi? Jangan sebut nama itu lagi, Nin. Keluarganya yang membuatku seperti ini,”
“Astagfirullah hal azim. Jang, apa benar keluarga istrimu yang melakukan ini?”
“Iya, dia!” Bram meyakinkan neneknya. “Widi memang sudah bilang padaku kalau dia tau soal ini, jadi pantas keluarganya laporkan aku ke polisi,”
“Iya, tapi...”
“Udah, Nin. Gak usah tapi-tapian lagi. Karirku sudah hancur karena dia, jadi tak pantas aku kembali padanya,”
Enin menghela nafasnya, dia tau ini tak adil bagi cucunya, tapi nasi sudah menjadi bubur namun dia harus berusaha membesarkan hati cucunya ini.
“Gimana kalau kamu lanjutkan kuliahmu?”
“Nin, mana mungkin Bram bisa kuliah lagi?” Bram menggelengkan kepalanya seketika.
“Eh, Ujang teh gimana. Ujang kan tinggal skripsi aja. Bisa lah nanti Enin bantu bilang ke rektornya,”
Bram melebarkan senyumannya, tentu kata-kata neneknya itu hanya sebuah semangat tanpa keseriusan saja.
“Kenapa? Ujang pikir Enin ngak berani ngadep Rektor?”“Bukan gitu. Bram senyum karena bukan itu yang bikin Bram berat,”
“Terus apa?”
Bram menghela nafasnya membayangkan bagaimana raut wajahnya kelak jika kembali ke kampus dan bertemu dengan teman-temannya lagi.
“Apa?” desak Enin mencoba membuat cucunya kembali bicara.
“Bram malu,”
“Malu? Kuliah teh biar kamu tidak malu, Bram. Biar Bram jadi sarjana. Berat memang, tapi kalau tidak dilanjutkan sayang sekali itu teh,”
“Iya, Nin. Bram tau, tapi Bram butuh waktu biar Bram berani lagi ngadepin temen-temen Bram,”
Mmmm!
Enin menghela nafas lalu berdiri di depan cucunya itu. Dia lalu memeluk wajah Bram yang masih saja tak bersemangat melalui hidup yang pasti jadi berat setelah ujiannya ini.“Enin pasti doakan Ujang biar Allah mudahkan jalan Ujang. Enin percaya, kalau kita berdoa dengan tulus, Allah akan kuatkan hati ujang sholehnya Enin,” tutur Enin dengan bibir yang bergetar dan tangan yang terus memeluk kepala cucu dari putri tunggalnya itu.
“Iya, Nin. Ini pasti berat. Tapi Bram yakin, Enin gak akan ninggalin Bram.”
“Pasti! Ayahmu boleh kabur dari tanggung jawabnya. Ibumu boleh menolakmu, tapi percaya sama Enin, cinta Enin mah tulus untuk Ujang. Enin gak akan ninggalin Ujang asal ujang tetap sayang sama diri ujang,”Bram kembali meneteskan air matanya, ketulusan wanita paruh baya ini sungguh membuatnya semakin merasa jika hidupnya kini hanya pantas dipersembahkan untuk Enin.Dia terus memohon kepada Allah semoga tubuhnya yang begitu rapuh ini bisa kembali mendapatkan kekuatan seperti saat semua kejadian bodoh ini belum berjalan.“Sekarang Ujang sholat. Percaya sama Enin, Cuma Sholat yang bisa membantu Ujang keluar dari semua ujian ini,”Deg! Jantung Bram serasa ditikam belati, dia teringat jika selama ini satu-satunya hal yang dia lupakan adalah menyembah tuhannya.“Kenapa?” tanya Enin melihat perubahan ekspresi wajah cucunya.“Maafkan Bram, Nin. Sepertinya Ujang lupa melakukan ini,” “Jadi Ujang teh ngak pernah sholat di RSK apa itu?”Bram melebarkan senyumnya membuat Enin semakin marah padan
"Jangan banyak menunda! Pergi sekarang!" teriak Enin pada cucunya yang tak juga bergerak dari tempatnya."I--iya. Aku akan pergi!" tegas Bram memberanikan diri.Dengan langkah gontai, Bram bergegas menuju kamarnya dan memesan taksi online yang datang tak lama kemudian. Dengan informasi dari sang nenek dia pun bergegas pergi untuk menemui istrinya yang kabarnya sedang mengalami masalah dengan kandungannya."Ini rumah sakitnya," lirih Bram setelah taksi yang dia kendarai berhenti di halaman Rumah Sakit Advent, Bandung dan dia bergegas turun setelah membayar.Baru saja langkahnya mengayun yakin memasuki rumah sakit tiba-tiba..."Hey, sedang apa kau di sini?!" teriak Dory, sepupu Widi yang melihat sosok Bram datang tanpa diundang."Dory! Hey," Bram mencoba ramah para pria tinggi besar berambut klimis itu."Hey? Hahahaha! Sapaan apa itu?""Kau di sini?" tanya Bram lalu mengulurkan tangannya.Plas!Dory menepis uluran tangan Bram yang ingin bersalaman dengannya."Kenapa denganmu?" "Kau pik
"AAH! Ayah!" teriak Widi berkali-kali dengan wajah yang begitu kesakitan.Bram bersiap untuk melangkah masuk tapi tangan mertuanya segera menariknya. "Jangan! Kau disini saja!""Tapi...""Aku tau kau berniat baik pada putriku tapi percayalah, ini akan jadi urusanku hingga cucuku lahir!""Kenapa aku tak boleh masuk?"Pria tua itu menggelengkan kepalanya cepat lalu mendorong tubuh Bram yang sangat ingin bertemu Widi disaat sakitnya. "Pergilah!"Mendengar kata yang singkat dan begitu jelas itu, Bram menatap nanar wajah Widi yang seakan sulit dia sentuh untuk saat ini, meski permintaan ayah mertuanya begitu sulit, tapi dia mengalah.Pria tampan itu memilih melangkah mundur kemudian membiarkan Hartono masuk ke dalam kamar Widi tanpa dirinya.Kepala Bram tertunduk lalu memutar badan menuju lift untuk meninggalkan Widi yang terlihat sangat kesakitan."Maafkan aku, Widi," bisik Bram menahan sakit di dadanya. Sakit! Ini sangat sakit, tak cuma karena dia tak bisa menemui Widi, tapi juga karen
“Kalau begitu kejadiannya, aku akan membantumu mencari pelakunya!” “Sungguh Ayah akan membantuku?”“Bram, kau ini bagaimana sih? Aku sekarang ini ayahmu. Aku harus mengungkap semua ini agar saat kau menduduki posisi CEO, jalanmu akan lapang!”Bram mengangguk penuh semangat mendengar janji dari ayah mertuanya itu. Diapun segera menjabat tangan Hartono berbesar hati untuk melanjutkan hidupnya yang sempat berantakan karena kasus narkoba yang menimpanya.“Kau harus semangat, Nak! Aku akan mendukungmu apapun yang terjadi demi masa depan kau dan putriku!”“Terima kasih, Ayah! Aku tau ini tak mudah bagimu tapi aku sangat senang dengan dukungan yang kau katakan barusan,”“Iya, sekarang temui Widi. Katakan padanya kau tak akan meninggalkannya lagi. Hanya itu yang aku mau sekarang,”“Baik! Aku akan menemuinya setelah jam istirahatnya selesai,”Hartono menatap menantunya itu dengan lembut berharap banyak pada pria yang kini ada tak jauh dari hadapannya. Dia terus berharap segera menemukan orang
"Nyonya!" teriak seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Widi yang masih begitu lemas setelah melahirkan."Ada apa?" tanya Widi dengan penuh awas. "Katakan saja,""Tapi, Nyonya!""Apa?" tanya Widi sekali lagi. "Katakan ada apa?" ucapnya penuh penekanan."Pak Hartono, kondisinya dia telah meninggal," ucapnya dengan bibir bergetar."Ayah!" tangis Widi seketika pecah dan tak ada yang bisa menghentikan. Tangisan wanita yang baru melahirkan itu segera bertaut dengan tangisan bayi Widi yang masih berada di kamar perawatannya.Semua orang yang sedang berada di sana tak berani menyentuh Widi karena mereka tau kesedihan ini tak akan bisa tergantikan oleh apapun.Setelah kesedihan di ruang perawatan Widi, beberapa orang anggota keluarga pengusaha dapur rekaman itu satu persatu mulai berdatangan.Tentu Widi butuh penghiburan namun yang ada mereka justru datang untuk menyalahkan Bram yang dianggap keluarga wanita kaya ini sebagai penyebab kematian Hartono yang sebelum kasus gitaris ta
“Aku sangat menyesal, Ayah! Maafkan aku!” ucap Bram berkali-kali sambil terus menangis meski tangisan ini tak sedikitpun ingin dihentikan oleh salah satu anggota keluarga istrinya. Tangisannya baru terhenti saat supir kepercayaan ayah mertuanya mendekatinya."Pak, biar saya antar pulang. Ada pesan dari Pak Hartono sebelum Beliau meninggal dunia,""Ayah bilang apa?" tanya Bram sembari memutar lehernya ke arah pria berbaju supir itu."Mari ikut saya,"Bram tersenyum simpul lalu melangkah bersama supir itu meninggalkan ruang persemayaman terakhir Hartono.Dalam hatinya dia terus bertanya-tanya apa gerangan yang dikatakan pria yang mengorbitkannya di dunia musik sebelum tutup usia."Masuk, Pak!" Supir mempersilahkan."Baik!" Bram segera duduk di kursi penumpang sambil bersandar menunggu pria kepercayaan Hartono itu duduk di kursi kemudi."Saya cerita dulu, ya. Jangan di sela," pintanya sambil memutar kunci mobil."Iya!""Jadi sebelum Bapak meninggal, Bapak mengatakan kecurigaannya pada Pa
"Terima saja kenyataan ini, Dory. Ini sesuai isi wasiat pamanmu!" ucap Bram dengan wajah meledek."Tidak akan! Mana mungkin aku membiarkan pria tak berguna sepertimu jadi pemimpin di perusahaan besar ini!!""Tapi itu yang Pak Hartono mau!" tegas pemimpin rapat membuat Bram tersenyum simpul. Dia merasa menang dan sangat yakin akan membuat Dory yang sombong kehabisan kata untuk menolaknya."Aku tak terima keputusan ini! Aku tak akan menyetujui pengangkatannya!" tegas Dory lalu melangkah keluar dari ruang rapat."Tapi Pak!" Pemimpin rapat mencoba mencegah kepergian Dory tapi dia bersikukuh pergi. Melihat Dory meninggalkan ruangan, Bram tampak tak peduli. Baginya sekarang dia adalah pemimpin dari label musik ternama ini dan seperti janji supir kepercayaan ayah mertuanya, mereka akan membantunya."Jadi bagaimana sekarang?" tanya Bram yang masih menunggu keputusan dari peserta rapat."Kami akan mendiskusikan ini dul," "Hah! Jadi aku belum resmi jadi CEO?""Benar! Dory itu pemilik saham te
"Kau sudah bertemu dengannya?""Dia yang menghalangiku jadi CEO di perusahaan Pak Hartono," jelas Bram dengan kesal."Aku rasa selama ada pria itu, kau tak akan pernah bisa jadi CEO, Bram!""Astaga!""Dia sangat membencimu, bahkan yang melaporkan kita ke polisi itu dia,""Apa maunya?""Memangnya orang jahat harus punya alasan untuk jahat?"Bram menggelengkan kepalanya, dia tak habis pikir dengan perlakuan Dory padanya yang sebenarnya sempat sangat baik padanya di awal perkenalan mereka."Sudah! Kamu makan saja," Kholil menepuk bahu temannya untuk menurunkan marahnya. "Kau bisa kok kembali ke dunia musik tanpa harus mengambil perusahaan itu."Tapi amanah Ayah. Dia ingin aku jadi CEO!" tegas Bram yang paham betul alasan pemilihannya sebagai CEO oleh ayah mertuanya."Aku paham niatmu. Tapi kalau itu justru membuatmu dalam bahaya, kan lebih baik tak kau lanjutkan!"Bram memasang wajah tak setuju. Tentu bukan begitu keinginan Hartono padanya. Dia harus bersikukuh dan terus berjuang sekuat