Home / Rumah Tangga / Suamiku Bocil Tajir / Jati Diri Suami Bocil

Share

Jati Diri Suami Bocil

Author: fitosyin
last update Last Updated: 2023-09-02 21:03:49

"Seneng banget ya, yang mau nikah. Tapi gue baru inget, Mami dulu pernah cerita kalo Tante Hanum sama anaknya itu diusir sama keluarga besar mereka soalnya udah bikin aib besar. Jadi ati-ati aja, siapa tahu Elang sebenarnya residivis."

Malam itu, jarum jam sudah menunjuk ke angka tiga, tetapi Atika belum bisa memejamkan mata. Kotak merah maroon mungil di atas meja riasnya berubah seukuran kulkas dua pintu di mata Atika. Tetapi karena ocehan Cindy begitu Atika keluar dari kamar Papa, Atika memutuskan menaruh cincin bermata ruby dari Elang ke dalam kotaknya lagi. Belum lagi bayangan Elang yang berlutut ala drama telenovela jadul tak juga menghilang dari pelupuk matanya. 

Kenyataan bahwa beberapa jam lagi Atika akan menjadi istri seseorang, membuatnya berguling-guling resah dan menelepon Hani, sahabatnya. 

"Hah? Tiba-tiba nikah? Sama orangnya Tante Anyelir!? Gila kamu! Pokoknya, aku gak setuju kamu menikah dengan orangnya tante. Lihat saja besok, aku gak akan diam saja. Besok aku akan buat pernikahan kamu batal."

Mengira dia akan mendapat dukungan, Atika tak bisa berkata-kata ketika dia menceritakan perjodohan dan rencana pernikahannya. Bahkan, sahabatnya itu menutup panggilan secara sepihak. Tak ingin kembali pusing, Atika pun memejamkan matanya.

Sementara itu, di kamar lain Elang juga masih sama terjaganya dengan Atika. Pria itu duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Namun berbeda dengan Atika yang bingung dan ketakutan, sebaliknya Elang belum tertidur karena hatinya penuh dengan rasa syukur. Bahkan rasa lelah karena perjalanan kereta selama dua puluh satu jam lebih, sirna begitu melihat calon istrinya. Elang kini hanya merasakan hangat di hatinya yang menjalar ke seluruh tubuhnya. 

“Akhirnya, Elang menemukannya, Buk. Besok, kami akan segera menikah,” ucap Elang lirih seraya menatap haru selembar foto usang berwarna kekuningan.

“Elang berjanji akan menepati permintaan terakhir Ibuk, Elang akan menjaga dan mencintai istri pilihan Ibuk sepenuh hati.” 

***

“Penghulunya baru datang, kamu tunggu saja di kamar. Nanti kalau sudah sah baru keluar. Papamu yang minta, aneh-aneh saja!” kata Mami Anyelir saat Atika mematut bayangannya sendiri di cermin, wajahnya terlihat semakin pucat dengan pakaian serba putih yang ia kenakan kini.

Atika hendak bertanya apa Mami Anyelir mau meminjamkan beberapa peralatan make-upnya tetapi melihat wajah Mami Anyelir yang tertekuk sempurna, Atika mengurungkan niatnya. Biarlah, Atika hanya akan memulas wajahnya dengan bedak yang biasa ia pakai untuk sehari-hari. Lagipula, selesai akad Atika akan kembali ke rutinitas hariannya seperti biasa. Bahkan kalau sempat, Atika berniat datang ke lokasi wawancara kerja yang harus ia datangi.

“Kamu harus tahu, Hanum-ibunya Elang itu sahabat Mami sejak kecil. Dalam adat kebiasaan asal kelahiran Mami, melanggar janji perjodohan itu pantang untuk dilakukan. Elang....”

“Asalnya dijodohkan dengan Cindy, Tika sudah tahu, Mi,” potong Atika segera. "Tapi, Cindy dan Mami memutuskan untuk menikahkan Elang dengan Tika, karena usia Tika."

"Baguslah kalau sudah tahu, jadi kamu harus ingat pengorbanan Mami dan Cindy, ya."

Atika mengangguk dan menelan ludahnya susah payah, berat sekali rasanya untuk mengucapkan terima kasih pada Mami Anyelir atau Cindy.

"Atika, aku tarik lagi kata-kataku!" pintu kamar Atika tiba-tiba dibuka lebar dan Hani muncul di ambang pintu. Perempuan bermata bulat itu mengerjap kaget melihat Mami Anyelir ada di dalam kamar. Dengan cepat Hani memasang wajah penuh senyum.

"Jadi ceritanya gak jadi batalin pernikahanku, kenapa?" tanya Atika teringat percakapan mereka beberapa jam lalu.

"Aku berubah pikiran. Aku mendukung seratus persen kamu menikah sama Elang!"

"Secepat itu?"

Hani mengangguk cepat seperti boneka mainan yang biasa dipasang di dasbor mobil. 

"Aku sudah lihat calon suami kamu, Tika. Sumpah, gak ada kata lain selain 'ganteng banget'! Sudah kulitnya putih, pakai baju putih-putih pula, kamu gak perlu nyalain lampu lagi nanti kalau malam, suamimu udah cukup menerangi hingga sanubari!"

"Lebay!"

"Aku tahu. Sekarang, aku ikut bahagia kamu mau menikah. Aku tahu Tuhan pasti punya rencana indah buat kamu, Tika. Tapi tetap aku gak nyangka bakalan seindah ini, kamu memang pantas dapetin kisah paling romantis sedunia. Apalagi lamaran Elang yang kamu bilang kemarin itu, Mas Adit aja belum pernah loh, treat aku seromantis itu waktu pacaran. Aku iri tapi aku bahagia buat kamu!"

"Kamu pikir ini indah, ya Han? Tapi kok aku malah takut."

"Ya jelas indah lah, cinta. Kalau Elang seganteng yang kamu bilang, dan dia lebih muda ditambah dengan janjinya di depan orang tua kamu, apalagi yang kurang? Laki-laki itu yang dipegang omongannya, dia gak akan semudah itu obral janji di depan orang tua kamu."

"Korban drakor kamu, Han! Tadi subuh kalau gak salah ada yang ngancam mau batalin pernikahan, deh," cibir Atika.

"Tapi seriusan, Tika. Dari cerita kamu, aku punya firasat Elang pria baik, inget gak firasatku waktu kamu kenalin aku sama Daffa? Aku langsung gak suka liat gaya Daffa yang sok kecakepan itu, dan terbukti, kan? Dia ninggalin kamu yang udah sokong dia selama delapan tahun buat cewek yang baru dia kenal dua bulan."

Inginnya Atika membantah kalimat Hani tentang Daffa, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Hani kemungkinan besar akan beranggapan bahwa Atika membela Daffa dan masih belum bisa menghilangkan bayangan pria itu.

"Masalahnya, Cindy bilang aku cuma pengganti dia."

"Jangan didengar! Cindy itu cuma cemburu. Kamu bilang tadi Elang kerjanya serabutan, kan? Mana mau Mami Anyelir punya mantu yang kerjanya belum mapan, tapi dalam hatinya Cindy tetep pengen nikah sama cowok seganteng Elang!"

Atika mengamini dalam hati perkataan Hani. Tanpa perlu dijelaskan oleh Hani pun, Atika sudah dapat menduga kalimat-kalimat sinis Cindy memang berasal dari rasa penyesalan serta kecemburuan Cindy padanya. Bagaimanapun Cindy tak bisa menafikan bahwa Elang memang menarik. Namun, rasanya masih ada yang mengganjal dalam hati Atika.

"Tapi Cindy bilang ada kemungkinan Elang...."

Atika menggantungkan kalimatnya bingung mencari padanan kata yang lebih halus daripada mantan napi.

"Udahlah, jangan dipikirin omongannya Cindy. Kamu yang lebih tahu selicik apa adik tirimu. Lagipula, rasa ragu menjelang pernikahan itu wajar adanya. Aku aja yang pacaran lima tahun sama Mas Adit mendadak ragu sebelum nikah, apalagi kamu yang baru ketemu beberapa jam! Pelan-pelan aja, Tika."

"Iya sih...."

"Tunggu, seriusan kamu mau tampil kaya gini! Mana ada pengantin yang mirip ibu melahirkan kehabisan darah? Benar-benar keterlaluan keluarga kamu itu!" Hani yang baru menyadari wajah polos Atika, segera menumpahkan isi tas tangannya dan memoles penampilan sahabatnya semampu yang ia bisa.

"Memang sih, akad sederhana tapi gak begini juga!" keluh Hani sebal. "Padahal Cindy pasti punya set make up lengkap di kamarnya, dan kamu itu bisa dibilang bantu dia lepas dari perjodohan tapi kok gak ada empatinya sama sekali."

"Maaf, ya. Aku selalu merepotkan kamu, Han."

Hani berhenti memulas bibir Atika dengan liptint, dan berkata dalam, "Jangan mulai! Aku benci adegan sedih gini."

Tanpa aba-aba, Atika meraih Hani ke dalam pelukannya. 

"Thank you, Han. Aku gak tahu bakal bisa lewatin semua ini kalau gak ada kamu!" ucap Atika teredam bahu Hani.

"Aku tahu, makanya kamu harus berjanji untuk hidup lebih baik dan bahagia mulai sekarang, ya!" kata Hani terisak pelan, rasa sedih dan haru yang sejak tadi ditahan akhirnya tak mampu ia bendung lagi. “Berhenti terus berkorban untuk orang lain, kamu harus mulai memikirkan kebahagiaan kamu sendiri.”

"Iya, aku janji. Aku akan berusaha hidup lebih baik."

Pintu kamar membuka tiba-tiba memperlihatkan Cindy yang tengah berkacak pinggang. Gadis itu terlihat memukau dengan gaun panjang putih tanpa lengan, membuat orang-orang bisa salah mengira kalau Cindy adalah pengantin perempuan hari ini. 

“Suami Lo udah nunggu di bawah, Papa minta kalian turun sekarang!”

Atika mengangguk dan menarik lengan Hani bersamanya, perasaan Atika mulai tak keruan mengingat sekarang statusnya telah berubah menjadi istri seseorang.

“Mulutnya mingkem, say. Bener kan, yang kubilang. Suami kamu manglingi banget. Minimal bisa cuci mata terus setiap hari,” bisik Hani begitu mereka di lantai bawah. 

Atika menyisir seisi ruang tamu ayahnya, hanya ada sedikit tamu yang datang. Selain pengurus RT dan RW, hanya beberapa tetangga kanan kiri yang hadir. Atika berusaha keras tidak menjatuhkan pandangan pada Elang yang tampak paling bersinar.

“Makan tuh ganteng, hidup itu harus realistis. Setelah nikah kamu masih harus banting tulang cari uang, selamat ya!” desis Cindy menimpali dari belakang.

Atika diam tak membalas baik ucapan Hani apalagi Cindy, karena perhatiannya dicuri oleh sebuah mobil mewah yang tiba-tiba berhenti tepat di depan rumahnya. 

“Tika, maju ke sini, Nak!” pinta ayahnya yang duduk di kursi roda di samping Elang. “Salim dulu sama Elang, sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri.”

Atika tak menolak, ketika bibirnya menyentuh punggung tangan Elang, bersamaan dengan itu Elang mencium puncak kepala Atika.

Perasan hangat dan magis yang tak pernah Atika rasakan tiba-tiba menjalar memenuhi tubuh Atika. Mungkin ini yang dimaksud dari arti bahwa pernikahan adalah Mitsaqan Ghalidzan, yaitu sebuah ikatan perjanjian agung, dimana subjek perjanjian bukan hanya antara wali dan pengantin, melainkan langsung terikat dengan Sang Maha Pencipta. Tanpa bisa Atika hindari, air matanya merembes membasahi tangan Elang.

"Saya sangat bersyukur Tuhan mempertemukan kita kembali, Atika. Saya berjanji, saya tidak akan membiarkanmu menangis lagi," bisik Elang sembari mengusap air mata di pipi Atika dengan kedua ibu jarinya.

"Barakallah, lihat tanpa pacaran pun pernikahan bisa seromantis ini!" ujar penghulu yang duduk di samping ayahnya. "Pak Burhan, lepas sudah satu beban di pundak Bapak sekarang. Nak Atika sudah mendapatkan suami yang Insya Allah sangat menyayanginya." 

“Alhamdulillah!” Serempak orang-orang di dalam ruangan berseru ikut merasakan haru yang Papa rasakan.

 “Maaf mengganggu. Elang, ada yang hendak saya sampaikan.” Suara serak seorang pria paruh baya berjas hitam mahal dari ambang pintu merebut perhatian semua orang.

“Siapa dia, Lang?” tanya ayahnya.

“Paling Debt Collector,” ucap Cindy mengejek, wajahnya terlihat sangat puas.

Atika mengalihkan pandangan pada suaminya, rahang Elang terlihat mengeras. Jelas Elang tidak suka pada kehadiran pria asing itu, apa benar yang Cindy katakan?

“Ada perlu apa? Kita bicarakan nanti saja.” Elang berkata dingin. 

“Tidak bisa, kita harus bicara sekarang juga. Ayah dan semua keluargamu meninggal dalam kecelakaan pesawat, Lang.”

“Aku tahu. Aku ikut berduka. Tapi aku tidak ada keinginan untuk datang melayat.”

“Kamu bisa mengabaikan pemakaman mereka, tapi kamu tidak mengabaikan orang-orang yang bekerja dengan ayahmu. Secara hukum, sekarang kamu pewaris tunggal SJ Grup, Lang.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bocil Tajir   Terpasung

    "Neng, jangan lupa nanti tanggal dua belas kontrakannya dilunasi, ya. Sekalian sama tunggakan dua bulan kemarin!"Atika yang baru saja membuang bungkusan popok kotor sekali pakai ke tong sampah tersentak kaget. "Eh, maaf bukan maksud ibu bikin si Neng kaget!" ujar ibu pemilik rumah petak tempat Atika mengontrak satu tahu terakhir. "Tapi, ibu gak tega kalau datang ke kamar si Neng langsung, takut bangunin adek Dian."Atika tersenyum singkat dan mengangguk paham. "Iya, Bu gak apa-apa. Kebetulan saya lagi agak melamun tadi. Uang kontrakannya akan saya usahakan, ya Bu. Saya minta maaf sekaligus terima kasih, ibu mengijinkan saya tetap tinggal padahal saya bukan penyewa yang baik.""Aduh, si Neng. Jangan bilang gitu, ibu malah tambah gak enak. Neng Tika biar telat bayar kontrakan tapi sering bantu bersihkan rumput-rumput liar, pilah-pilah sampah, bantu kebersihan lingkungan kontrakan ini. Ibu sebetulnya mau gaji Neng untuk itu, tapi tahu sendiri kalau ibu juga punya uang dari mana." Ibu p

  • Suamiku Bocil Tajir   Akhir Bahagia Bagi Keyla

    “Key, baju nya ganti ah jangan yang itu terus.” Mama mengomentari penampilanku. Sontak aku berhenti di ambang pintu dan melihat penampilanku sendiri di kaca jendela. Tidak ada yang aneh, biasa saja hanya celana bahan berwarna hitam dan kemeja merah bata.“Kenapa diganti, yang ini juga bagus.”Aku berputar-putar di depan mama memperlihatkan penampilanku dari depan lalu ke belakang.“Warnanya sudah kusam, lebih baik yang lain. Terus kamu gak dibedak?”Aku menyentuh wajahku, sedikit berminyak. Aku berlari ke depan cermin mematut bayanganku. Tanpa sengaja tatapanku jatuh pada foto Kim Jae Hee yang kutaruh di samping cermin. Aku mengusap lembut foto itu, foto yang kudapat setelah bersusah payah, berdesak-desakkan dengan ratusan penggemar lainnya.Kuyakini aku sanggup bertahan meski kau tak pernah di sampingku. Waktu yang membuatku bertahan. Aku berhasil menguasai kembali apa yang kumau, sama seperti sebelum aku sadar aku membutuhkan kehadiran mu, aku mampu bertahan sendiri. Kini aku percay

  • Suamiku Bocil Tajir   Tanda Tanya Besar

    Hari ini, kegilaanku terus berlanjut. Karena semalam Ga Eun dan Hye Na tak sempat bertemu Kim Jae Hee mereka bersikeras agar aku mau kembali mengikuti jadwal Kim Jae Hee. Kali ini aku tidak memakai atribut apa pun yang berbau Kim Jae Hee, mereka kelihatan kecewa tapi aku tak mau mengambil resiko membuat Kim Jae Hee semakin muak padaku. Tapi sungguhkah Kim Jae Hee tidak suka melihatku, ekspresinya sulit dibaca. Aku hanya melihat kesedihan di matanya, mungkin ia sedih melihatku hancur.“kau juga harus menjaga kesehatanmu.” Setidaknya kalimat Kim Jae Hee semalam, membuatku yakin Kim Jae Hee masih mengkhawatirkan keadaanku.“Cha, Kita sudah sampai!” Kata Ga Eun, taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bergaya kontemporer. Setelah membayar ongkos taksi, aku ikut turun menyusul Ga Eun dan Hye Na. “Wah, kita beruntung, belum ada yang datang. Bebas pilih tempat!” Seru Hye Na, ia lalu mengeluarkan tikar tipis dari ranselnya.“Ini dimana?” Tanyaku.“Aish! Benar, kita belum bila

  • Suamiku Bocil Tajir   Bergabung dengan Fanbase

    Aku merapikan ikatan rambutku saat hampir mendekati gerombolan fans Kim Jae Hee yang menunggu di depan gedung teater tempat Kim Jae Hee tampil hari ini. Lee Hye Na dan Jang Ga Eun, dua remaja yang baru kukenal tadi berjalan di depanku. Setelah sedikit mencari informasi, dua gadis itu akhirnya tahu jadwal keseluruhan Kim Jae Hee mulai hari ini hingga minggu depan. Dan kami, memutuskan untuk terus mengikuti Kim Jae Hee. Aku sadar aku bertindak terlalu jauh, tapi yang kulakukan kali ini karena hatiku yang mengatakannya. Aku hanya ingin melihat Kim Jae Hee, dan melihat bagaimana Kim Jae Hee saat melihatku. Setidaknya, aku ingin membuktikan bahwa waktu yang sempat kami habiskan cukup berarti untuk dipertahankan. “Onnie, kemari! Kita harus berbaris. Jangan sampai membuat fans lain marah.” Hye Na menarik lenganku dan memosisikanku di tengah di antara ia dan Ga Eun. Ga Eun lalu mengeluarkan kaus bergambar kartun Chibi Kim Jae Hee yang memenuhi seluruh bagian depan kaus dan menyodorkannya pad

  • Suamiku Bocil Tajir   Kenangan yang Terus Muncul

    “Jika tetap ingin pergi, maka pergilah! Kupastikan ini terakhir kalinya kita bertemu!” Teriak So Hee sebelum ia berlari pergi meninggalkan Kim Jae Hee sendirian di aula sekolah. Kim Jae Hee tak berniat sedikit pun mengejar So Hee. Bukan hanya Kim So Hee yang sedang kesal saat ini, Kim Jae Hee merasa ia yang lebih berhak kesal dibanding So Hee. Ia kesal pada Kim So Hee yang masih bersikap egois padahal usianya sudah menginjak 20. Acara reuni SMA mereka akar masalah pertengkaran mereka, sejak bulan lalu So Hee selalu melonjak kegirangan setiap membicarakan reuni SMA. So Hee bahkan bersedia menjadi sukarelawan agar acara itu bisa berjalan lancar. Sisa waktunya yang tidak digunakan untuk kuliah dihabiskan So Hee mengelilingi hampir seluruh penjuru Seoul, mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dalam acara itu. Bobot tubuh So Hee sempat turun drastis karenanya, namun Kim Jae Hee tak mampu mencegah So Hee, karena sama sepertinya, So Hee akan semakin membangkang saat dilarang.Sepanj

  • Suamiku Bocil Tajir   Terbuka

    “Bagaimana kau bisa tahu aku sakit?” Tanya Kim Jae Hee setelah ia selesai makan bubur buatan Keyla. Keyla tidak segera menjawab, ia menaruh mangkuk dan mengambil segelas air lalu menyodorkannya tepat di depan wajah Kim Jae Hee. “Minum.”kata Keyla pelan, ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang rasanya sangat panas sejak kejadian beberapa menit yang lalu. Kim Jae Hee mengambil gelas di tangan Keyla, dan ia hampir saja tersedak saat menyadari alasan Keyla yang tiba-tiba pendiam.“Ya! Tak kusangka kau bisa malu.” Kata Kim Jae Hee, dan akhirnya tawanya meledak ketika melihat Keyla semakin menundukan kepala hingga dagunya hampir menyentuh dada.“Diamlah, apa kau tak mengerti ini baru bagiku.”“Benarkah? Jadi sebelumnya kau belum pernah berpacaran? jadi aku yang pertama.”Kim Jae Hee menepuk-nepuk dadanya sendiri, senyum bangga tercetak sangat jelas di wajahnya. “Aish! Tinggi sekali rasa percaya dirimu. Siapa bilang kau yang pertama, aku pernah pacaran sebelumnya!” Kata Keyla sengit, ia l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status