Beranda / Urban / Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa / Bab 2 Yang Penting Menikah

Share

Bab 2 Yang Penting Menikah

Penulis: S.Z.Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-26 14:40:09

"Apa, Bu?!”  aku berdiri dari dudukku. Aku mencoba protes. “Bu, aku enggak mau.”

Ibu maju satu langkah. “Apa kamu bilang?!” suaranya menggelegar. “Bilang sekali lagi, Ayu! Ayo cepet bilang!”

Aku menahan air mata kembali duduk. Kuremas baju yang sedang kulipat erat-erat. Tidak ku sangka, Ibu akan mengatakan hal semacam itu padaku. 

Aku lulusan Universitas Mercusuar program Pendidikan Ekonomi di kota Tarrim. Universitas unggulan yang menjadi rebutan seluruh orang di negeri ini. Bagaimana jadinya, seorang Ayudisha Saraswati yang lulusan universitas unggulan negeri dinikahkan dengan seorang kuli panggul? 

Lagipula, usiaku masih 27 tahun, jalanku masih panjang. Kejam sekali Ibuku!

“Yang penting kan, kamu nikah!” Ibu bersidekap. “Ayah, gimana?” 

Aku memejamkan mata, berharap Ayah tidak setuju dengan ide gila Ibu. Setidaknya, nikahkan aku dengan pria yang memiliki pekerjaan dan bisa diandalkan. 

“Ayah setuju aja, Bu.” 

Ucapan Ayah barusan, membuatku membuka mata lebar-lebar. "Ayah?!” aku berusaha protes.

“Apa?!” Ibu melotot berusaha menahan apapun yang akan aku katakan. 

“Bu,” ujarku, berusaha meredam kekecewaan yang begitu besar pada orang tuaku. “27 tahun cuma angka, Bu. Bahkan di luar negeri sana, masih banyak perempuan usia 35 tahun yang belum nikah.”

“Jangan bandingkan luar negeri sama Kota Tarim, Ayu!" Ayah mulai bicara. “Kamu tinggal di mana? di sini. Di kota nggak ada perempuan kayak kamu. Semua perempuan nikah paling telat itu umur 20 tahun. Lebih dari itu, pasti dicap nggak laku. Jadi, jangan jual mahal begitu!"

Ucapan panjang lebar Ayah membuatku kecewa. Kupikir, Ayah akan membelaku. 

Kupikir, setelah Ayah menikah lagi sifatnya tidak berubah. Tetapi, nyatanya jauh panggang daripada api.

“Kamu bener mau jodohin Ayu sama kuli panggul itu, Maharani?” Ayah bertanya pada Ibu tiriku. 

“Iya, Ayah.” Ibu menjawab mantap. Dia menatap kukunya yang dicat itu dengan senyum mengembang. 

Ayahku—Bagio Darojat, menikah lagi dengan Maharani Lukita ketika usaha pabrik batiknya bangkrut. Alasannya karena Ibu kandungku—Denisa Saraswati, wafat karena sakit kanker kelenjar getah bening. 

Ayah menikahi Maharani Lukita yang merupakan seorang juragan sembako ketika usiaku 10 tahun. Aku masih ingat jelas pertama kali wanita di hadapanku ini menjadi Ibu tiriku. Berbeda sekali sifatnya ketika masih berpacaran dengan Ayahku. 

Ibu tiriku bersikap semena-mena padaku saat Ayah tidak ada di rumah. Dia menyuruhku mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan alasan, Utami masih kecil dan tidak bisa dimintai tolong. 

Namun saat aku mengadu pada Ayah kala itu, nyatanya Ayah justru memarahiku. Sejak saat itu, aku memilih untuk menyimpan sendiri semua permasalahanku.

“Kamu dengar nggak, Ayu?” suara Ibu mengagetkanku. Aku terperanjat lalu mengerjap.

“Apa, Bu?” aku bertanya pelan. Ibu paling tidak suka aku melamun.

“Kamu ini!” kaki Ibu melayang menendang ujung jempol kakiku. Aku meringis menahan sakit. “Pantas aja nggak ada yang mau sama kamu. Tukang bengong!”

Aku melirik Ayah. Lagi-lagi Ayah tidak bereaksi, seakan tidak menganggap kehadiranku. 

“Ibumu bilang, kalo kamu akan dikenalin sama kuli panggulnya nanti sore.” Ayah akhirnya menjawab setelah Ibu marah padaku. 

Jika sudah seperti itu, aku pasrah. Mau bagaimana lagi? Mau kabur? Aku mau kabur ke mana? 

“Bisa darah tinggi aku hadapi anakmu, Yah.” Ibu menghela napas keras. Ibu menatapku penuh selidik. “Bukannya dulu kamu pernah pacaran sama teman sekolahmu? Kenapa kalian putus?”

Aku menunduk. Sebenarnya, aku tidak ingin membahas masa laluku. “Kami nggak cocok, Bu.” Aku menjawab seperti itu.

Ibu tertawa. Tawa yang kutahu mengejek. “Nggak cocok? Halah! Nggak mungkin.” 

Aku masih menunduk. Kupilin baju yang kuremas tadi. Pernikahan jauh dari impianku tatkala Alexander memilih untuk menyerah. Hatiku hancur dibuatnya. Orang yang kuharapkan menjadi tempat ceritaku malah menikungku. 

Aku tidak ingin mengingat tetapi kalau sudah seperti ini membuatku pedih. Alexander lebih memilih Utami daripada aku. Alasannya hanya karena dia menemukan kecocokan dengan Utami. Aku sadar Utami lebih cantik daripada aku dengan struktur bicara yang anggun. 

“Ayudisha!” suara Ibu menggelegar membuatku terperanjat. “Astaga! Bengong lagi!”

Ayah menggeleng melihat tingkahku. Kuedarkan pandangan dan aku terkejut dengan kedatangan orang yang tidak pernah kuharapkan dan selalu kuhindari selama ini. 

“Halo, Ayu.”

“Alex?!" Aku berbisik berharap dia tidak mendengarnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 40 Curiga

    “Tetapi aku enggak mau kamu Kembali ke rumah Ibu.” Sigit berkata lagi. “Tunggu di sini. Aku tebus obat dulu.” Kemudian dia mendudukkan aku di kursi tunggu. Dia berjalan ke bagian penebusan obat.Aku memerhatikannya. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi pagi. Melihatnya berpakaian membuatku teringat kalau aku ingin bertanya pakaian yang dia pakai sebelumnya. Aku ingat betul dia tidak membawa pakaian ketika berangkat dari rumah malam kemarin.Aku memang orang miskin akan tetapi aku tahu merek pakaian mahal. Seperti yang dia gunakan sekarang ini. Ada logo di bagian dada kanannya. Walau kecil logonya tetapi jelas sekali itu merek pakaian ternama dunia. Mahal. Harga termurahnya bisa satu juta rupiah. Aku menghembuskan napas. Kugigit bibirku. Bagaimana caranya aku bisa bertanya padanya?‘Apakah dia menginap di rumah Perempuan? Apakah dia bertemu lagi dengan Dinda?’ pikiran itu muncul begitu saja.“Ayo.” Suara Sigit membuatku mendongak. Aku mengangguk pelan lalu berdiri.“Kapan kita ketem

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 39 Mama

    “Ma?”Aku memanggilnya lagi. Namun, Mama hanya tersenyum. Walau begitu, aku tetap senang. Setidaknya Mama tersenyum padaku. Tidak mengapa asal aku bisa bertemu beliau.“Mama.” Aku ingin menangis ketika melihat Mama hanya berdiri seraya masih tersenyum. “Ma, aku kangen.” Aku berkata lagi.Tiba-tiba, Mama sudah mendekapku. Dekapannya begitu erat sekali. Tubuhku berguncang-guncang. Aku merasakan seperti diangkat ke atas. “Ayudisha,” Ucapan itu terdnegar di telingaku tetapi bukan Mama. Itu suara orang lain.“Ayu, buka matamu.” Suara itu terdengar lagi. Dekapan itu mengendur. Pelukan Mama perlahan menghilang.“Ma,” aku berbisik.“Ayudisha?” kini, aku mengenali suara itu. Itu suara Sigit.Perlahan aku membuka mata. Kulihat Sigit menatapku lalu memelukku erat. Suara sirine terdengar begitu dekat sekali. Aku mengedarkan pandangan. Aku berada dalam sebuah mobil. Bersama satu orang lainnya.“Aku takut kamu pergi.” Sigit berbisik lalu merebahkan tubuhku lagi.Aku bernapas perlahan dengan alat ba

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 38 Serangan Panik

    “Sigit?” aku menatapnya dari atas sampai bawah tatkala membuka pintu rumah. Pagi betul dia sampai rumah. Kupandangi lagi dia. Mataku kemudian berkedip. “Sigit?” aku memanggil lagi. Takut penglihatanku salah.Pria di hadapanku mengangguk. Benar, dia Sigit. Aku menunjuknya. “Kamu pakai baju siapa?” aku menatapnya.“Ayu!” teriakan heboh Ibu membuatku terlonjak. “Siapa tamunya?!”Aku tergagap. “Sigit, Bu.” akhirnya aku bisa menjawab juga. Kutarik napasku perlahan. Kembali aku menatapnya. “Kamu pakai baju siapa?”Sigit menunduk. “Oh, ini.” Dia lalu tersenyum. “Nanti aku cerita. Boleh aku masuk?”Aku berdehem pelan lalu menyingkir dari ambang pintu.“Siapa katamu? Sigit?!” suara Ibu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Aku menoleh lalu mengangguk.Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebentar lagi pasti Ibu mencecar Sigit.“Kamu baru pulang?” Ibu bertanya pada Sigit. Tangan berkacak pinggang. “Pukul berapa ini?! apa enggak lihat jam?!”“Saya kerja, Bu.” Sigit menjawab ringan.

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 37 Siapa Itu?

    “Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 36

    "Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 35 Mobil Baru

    “Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status