Share

3. Keputusan

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2024-04-04 10:22:23

Kebimbangan seketika menyelimuti hati Kirana. Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit. 

Seno meskipun seorang yang suka memainkan wanita, dia tetaplah memiliki harta yang cukup. Kehidupannya pasti akan terjamin jika dia memilih Seno.

Akan tetapi, membayangkan dia harus melihat orang itu bermain dengan wanita lain membuatnya tak mungkin sanggup menjalaninya.

Sedangkan jika dia memilih Rayan yang hanya seorang tukang sol sepatu, masalah ekonomi sudah jelas di depan mata. 

"Na, dijawab sana cepat," kata Herni.

Lamunan Kirana pun buyar. Dia kembali menatap pria yang belum dia ketahui namanya itu dengan pandangan bingung. "Kenapa kamu mau menikahi aku?"

Nadia yang duduk di samping ibunya langsung angkat bicara, "Astaga, Mbak. Pakai ditanya, udah terima aja."

"Kalau kamu nggak mau sama Seno, ya nggak apa-apa kalau mau yang ini," kata Parlan, tanpa menyebut nama pemuda itu.

Sedangkan Siska yang masih berpakaian rapi itu mendecak lidah, "Nggak perlu lama mikirnya, Mbak. Yang penting nikah."

Kirana menggelengkan kepala, "Bisa nggak kita bicara sebentar, Mas?"

Sang pria dengan profesi tukang sol sepatu itu menjawab, "Bisa, Mbak."

Kirana lalu menoleh ke arah bibinya.

"Bulek, Bulek bisa ikut Kirana sebentar?" pinta Kirana.

Siti mengangguk setuju.

Herni mendengus tidak sabar, "Jangan lama-lama, Ibu bentar lagi mau arisan. Buruan bikin keputusan!"

"Iya, Bu," jawab Kirana yang kemudian mengajak Rayan dan Siti untuk keluar rumah dan berjalan ke bagian dekat pagar.

Setelah dirasa keluarganya tidak bisa mendengar pembicaraannya, Kirana segera bertanya, "Mas, kamu kenapa mau menikahi aku? Bulek, kenapa dia, Bulek?"

Rayan berdeham kecil, menyamarkan kegugupannya. Dia pun berkata dengan hati-hati, "Bu Siti mengatakan kalau ada gadis berusia matang yang belum menikah. Dan ... karena kebetulan memang saya sedang mencari istri ya sudah saya memutuskan untuk melamar ke sini."

Kirana menatap pemuda itu mengernyit heran. "Kamu melamar orang tanpa tahu identitasnya atau bagaimana?"

"Sudah cukup informasi yang diberikan oleh Bu Siti."

Jawaban pemuda itu membuat Kirana menoleh ke arah bibinya, meminta penjelasan.

Siti pun mengangguk mengerti, "Kirana, Bulek hanya coba buat mencegah agar kamu nggak jatuh ke tangan Seno. Kalau Bulek nggak lakuin ini, kamu bisa dipaksa menikah sama Seno."

"Ya, tapi ... kenapa harus ... harus dia, Bulek?" tanya Kirana dengan nada pelan.

Siti mendesah pelan, "Karena Bulek kenal Rayan dengan baik dan dia tulus mau menikahi kamu, Nduk."

Kirana mendesah, memberanikan diri menatap mata pemuda itu. 

Tak ditemukannya pandangan mencurigakan sehingga dia bertanya lagi, "Kamu benar-benar serius mau melamarku?"

"Iya, Mbak," kata Rayan tanpa ragu.

Kirana mengusap hidungnya, dia ingin menolaknya tapi masih belum menemukan kata-kata yang tepat.

"Mbak ragu karena profesi saya yang cuman tukang sol sepatu ya Mbak?" tebak Rayan.

Awalnya memang begitu, tapi Kirana sudah tak memikirkan masalah profesi pemuda itu sejak menatap mata yang penuh kejujuran pemuda itu. 

Sehingga cepat-cepat sang gadis dengan rambut panjangnya yang diikat itu menggelengkan kepala, "Bukan, bukan begitu. Hanya saja ...."

"Percayalah, Mbak! Saya pasti bisa bikin Mbak banyak senyum nanti," kata Rayan dengan penuh keyakinan.

Kirana mengangkat wajah, menatap Rayan yang sedang menatapnya lurus-lurus.

Belum sempat Kirana berkata-kata, suara ibunya sudah terdengar lagi, "Na, cepat!"

"Woi, Mbak. Ayolah, aku harus buru-buru pulang nih, suamiku mau pulang," teriak Nadia dari dalam rumah.

Kirana menghela napas lelah. 

Rayan pun berkata lagi, "Yakinlah, saya pasti bisa bikin Mbak bahagia."

"Nikah tanpa cinta?" gumam Kirana pelan tanpa sadar.

Rayan tertawa kecil, "Cinta bisa ditumbuhkan nanti, asal kita saling membuka diri."

Kirana masih terlihat ragu, tapi Parlan sudah berdiri di depan pintu, "Kirana, apa yang sedang kamu tunggu?"

"Sudah, Na. Percaya sama Bulek, Rayan pasti pilihan yang lebih tepat buatmu," bisik Siti.

Dengan jantung berdebar, akhirnya Kirana kembali masuk ke dalam rumah bersama dengan Rayan dan Siti.

Keduanya pun duduk secara terpisah. Rayan duduk di sebelah Parlan, sementara Kirana duduk di dekat Herni. Sedang bibinya, Siti duduk di belakang.

"Jadi, keputusan kamu gimana? Terima tukang sol sepatu ini atau yang Bapak tawarkan tadi pagi?" tanya Parlan dengan melirik Rayan seolah memang tak menghargai profesi Rayan.

Nadia tersenyum meremehkan, "Ya nggak apa-apa sih, Mbak. Daripada jadi perawan tua yang nggak laku-laku, mending sama tukang sol sepatu juga nggak masalah."

Anehnya Kirana terlihat kesal ketika keluarganya menghina profesi Rayan. Sedangkan pemuda itu sendiri terlihat santai saja dihina seperti itu.

"Yah, malah bengong. Terima atau nggak nih? Tinggal milih loh, tukang sol sepatu atau duda kaya?" ucap Siska.

"Na, cepat! Ibu lagi ditunggu Bu RW," desak Herni tidak sabar.

"Cepat putuskan, biar Bapak bisa ngabarin Seno kalau kamu udah ada yang melamar," kata Parlan.

Ditekan dan didesak seperti itu, Kirana semakin bingung mengambil keputusan.

Namun gadis yang mulai berkeringat itu kemudian mendengar Rayan berkata dengan nada pelan dan menenangkan, "Saya siap mendengar keputusan Mbak. Jangan khawatir, Mbak! Dengarkan saja hati kecil Mbak!"

Kirana mendongak dan menatap Rayan yang sedang tersenyum lembut ke arahnya. Seketika hatinya menghangat dan perlahan dia menjawab, "Iya, aku terima lamaran kamu."

Nadia dan Siska saling lempar pandang lalu tertawa tanpa suara.

"Baiklah, kapan akadnya?" tanya Parlan.

"Kalau bisa secepatnya saja," tambah Herni.

Tanpa ragu, Rayan berkata, "Dalam minggu ini juga saya siap, Pak."

Kirana meremas tangannya sendiri, gugup tapi dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri jika dia sudah memutuskan memilih Rayan sehingga dia harus siap dengan rencana apapun.

"Lusa, bagaimana? Nggak perlu besar-besaran, akad aja udah cukup," ucap Parlan.

Hati Kirana seketika mencelos. 

Secepat itu dia akan menikah? 

"Baik, Pak, saya siap." Rayan menjawab dengan yakin.

Dua hari berikutnya, pernikahan Rayan dan Kirana pun akhirnya digelar. 

Pernikahan itu berlangsung dengan dihadiri beberapa orang anggota keluarga inti mereka saja. Di pihak Rayan, Pak RT tempat dia tinggal di kampung Siti menjadi saksi baginya.

Kirana pun tidak didandani layaknya pengantin kebanyakan. Dia hanya mengenakan gamis putih yang dia beli saat lebaran tahun lalu serta merias wajahnya dengan sapuan make up tipis. 

Namun, Rayan terlihat terpukau saat melihat penampilan sederhana Kirana. Bahkan, pemuda itu berkomentar, "Kamu cantik, Mbak." 

Kirana terdiam, tanpa tahu bagaimana dia harus membalas. Sebab, Rayan adalah pria pertama yang memberinya pujian seperti itu.

"Pak penghulu, tolong dipercepat!" desak Herni sambil mengipasi diri dengan kipas hias.

Sang penghulu pun meminta Parlan menjabat tangan Rayan. Kirana meremas tangan dan tiba-tiba saja sayup-sayup terdengar kata "Sah" dari beberapa orang.

Astaga, Kirana meneteskan air mata. Tidak pernah dia sangka bila dia akan melangsungkan pernikahan dadakan seperti itu. Namun, dia tak mau berlarut-larut memikirkan hal yang telah terjadi dan segera mencium tangan suaminya, "Mas."

Rayan tersenyum lembut pada wanita yang telah sah menjadi istrinya. Siti memberi ucapan selamat dan langsung pergi karena ada tamu dari luar kota sehingga di rumah itu tinggalah keluarga inti Kirana saja.

"Ciee ... ciee, udah resmi jadi istrinya si tukang sol sepatu nih!" ejek Nadia secara terang-terangan.

"Udah nggak jadi perawan tua lagi ya Mbak," sahut Siska dengan senyum menyebalkan.

"Mbak, kalau sepatuku rusak bisa dong ya dibenerin sama suami Mbak ini," ujar Rio, suami Nadia dengan nada merendahkan.

Kirana hampir saja akan membuka mulut, tapi lengannya tiba-tiba dipegang oleh Rayan, "Kita masuk kamar dulu aja yuk! Saya mau ngomong sesuatu sama kamu."

Parlan dan Herni terlihat cuek saja, sementara Bagas, suami Siska berkata, "Eh, mau ke mana? Kok main masuk kamar aja? Ini diberesin dulu."

Kirana mengedipkan mata, "Beresin apa, Pak?"

"Ya ini tikar, semuanya," jawab Parlan dengan nada ketus sambil berdiri.

"Mentang-mentang pengantin, mau jadi pemalas ya kalian?" kata Herni.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   218. Akhir

    Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   217. Terlalu Miskin?

    Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   216. Dengan Cara Apa?

    Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   215. Bagaimana Bisa?

    Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   214. Hinaan Lain

    Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   213. Tertampar!

    Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status