Share

2. Pilihan yang Sulit

Penulis: Zila Aicha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-04 10:19:41

Siska juga ikut menambahkan, "Daripada jadi perawan tua, Mbak. Terima aja, lagian belum tentu ada yang mau sama Mbak, kan? Nungguin siapa lagi juga?"

Dua adiknya itu seakan begitu kompak memberi dukungan atas ide dua orang tuanya itu. Tapi, lidah Kirana masih kelu hingga dia tidak bisa langsung membantah.

"Teman-teman SD-mu itu sudah menikah semua, tinggal kamu yang belum. Masa kamu enggak malu belum nikah sendiri?" Herni menambahkan dengan nada ketus.

Kirana membasahi bibir dan akhirnya bisa berkata, "Nggak, Bu. Kirana nggak suka dijodoh-jodohin."

Nadia dan Siska sudah bersemangat ingin berbicara lagi tapi Herni menyuruh dua putrinya itu untuk diam terlebih dulu. 

"Eh, Ibu nggak suka ya kamu nolak-nolak. Mereka sudah mau ada rencana ke sini," ujar Herni mulai terdengar marah.

"Kan baru rencana, Bu. Bisa dibatalkan," balas Kirana.

Parlan yang kesal dengan balasan sang putri pun berkata, "Jangan bikin Bapak malu! Udah, pokoknya kamu siap-siap saja. Minggu depan kamu lamaran sama Seno."

"Tapi, Pak. Kirana-"

"Bapak nggak mau tahu, kamu harus nikah sama duda kaya itu. Kalau kamu nolak, mendingan nggak usah tinggal di sini," ancam Parlan, terdengar serius.

Dia bahkan juga melotot ke arah putri sulungnya itu, menyiratkan bahwa kata-katanya itu benar-benar tidak main-main.

Kirana mencengkeram sisi meja. "Ba-bapak ngusir Kirana? Kok Bapak tega. Memang salah kalau Kirana nolak, Pak?" 

Parlan yang memang hatinya sudah keras berkata, "Kenapa tidak tega? Kamu saja tega sama Bapak dan ibumu."

"Apa salahnya sih menikah sama duda, Na? Kalau dia bisa menjamin hidup kamu, kenapa ditolak?" ucap Herni, masih dengan nada ketus.

Melihat kedua orang tuanya semakin bersikeras memaksa, Kirana tetap masih yakin dengan keputusannya, "Maaf, Pak, Bu. Kirana tetap nggak bisa."

Nadia menatap kakaknya dengan tatapan tidak suka, "Ya elah, Mbak. Kok keras kepala banget. Mbak itu sadar diri kenapa. Jangan jadi beban keluarga dong. Udah jadi perawan tua, masa mau pilih-pilih jodoh?"

Wanita yang sedang hamil itu menggeleng sebal, sementara Siska juga menanggapi, "Belum tentu ada yang lebih baik, Mbak. Udah, terima aja. Kapan lagi dapat suami kaya?"

Siska lalu melirik Kirana dan mengernyit, "Mbak itu nggak cantik, nggak punya background pendidikan bagus, terus pekerjaan juga cuman jadi karyawan minimarket. Udah ada yang naksir, harusnya udah bersyukur dong, Mbak."

"Tuh, dengerin adik-adikmu." Herni berkata dengan ekspresi masih kesal.

Wanita berwajah kotak itu melanjutkan, "Kamu nggak seperti adikmu yang cantik-cantik, menarik dan punya pendidikan bagus jadi bebas milih jodoh. Kamu itu harus ngerti kalau kamu nggak punya pilihan, Na."

Kirana jadi tidak ingin makan pagi. Sungguh perutnya yang semula kosong dan minta diisi itu pun mendadak menjadi penuh.

"Kalau nggak punya kelebihan itu ya jangan sok pilih-pilih deh, Mbak," tambah Nadia tanpa perasaan.

Sudah cukup.

Kirana tidak tahan lagi. Semua kata-kata yang keluar dari mulut keluarganya sungguh sudah mengiris hatinya.

Air matanya hampir saja terjatuh tapi dia mati-matian berusaha menahannya agar tidak tumpah di sana.

"Kirana memang tidak secantik Siska atau Nadia, Bu. Kirana juga nggak punya pendidikan yang tinggi atau pekerjaan bagus, tapi meskipun begitu Kirana ingin milih pria yang jadi suami Kirana sendiri, bukan karena dijodohkan."

Parlan langsung murka, "Anak bodoh! Masih juga sombong. Udah ada yang mau melamar saja itu udah bagus, eh sok-sokan menolak. Kamu ini nggak tahu kalau Seno itu banyak yang mau?"

Kirana menoleh ke arah bapaknya, masih dengan menahan air mata agar tidak terjatuh.

"Iya, kamu enggak salah dengar. Banyak yang ngantri jadi istrinya Seno, tapi dia milih kamu. Harusnya kamu merasa beruntung karena kamu dipilih," kata Parlan dengan berapi-api.

Kirana menggelengkan kepala.

"Maaf, Pak. Kirana tetap nggak bisa," tegas Kirana.

Usai mengatakannya, gadis itu berlari ke luar rumah dan baru berhenti ketika dia sampai di halte. Dan saat itulah dia tak lagi bisa menahan air matanya. 

Dia bersandar pada tiang halte dan biarkannya air matanya itu jatuh dengan begitu deras. Kala itu sedang sepi, kebetulan dia memang datang terlalu awal untuk bus yang seharusnya baru sampai di halte lima belas menit ke depan.

"Kenapa mereka tega? Apa aku nggak berhak menentukan semuanya sendiri?" gumam gadis itu di sela-sela tangisnya.

Kadang kala, Kirana sangat heran. Perlakuan kedua orang tuanya pada dirinya dan dua adiknya sangatlah jauh berbeda. Dia sampai pernah curiga jikalau mungkin dia bukan anak kandung mereka. 

Tapi, dia tak pernah menemukan sebuah bukti yang menyatakan kebenaran dari kecurigaannya itu sehingga dia hanya mencoba menerima nasib dan mengalah terus-menerus. 

"Tenang, Kirana. nggak boleh sedih, nanti pasti ada jalan keluar," ucap gadis itu, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Setelah merasa lebih baik, dia menghapus air matanya dan menunggu kedatangan busnya.

Ketika sore tiba, Kirana merasa tak sanggup untuk pulang ke rumah. Dia pun memilih untuk berjalan tanpa arah demi menjernihkan pikirannya yang sedang kusut.

Namun, saat dia melihat hari semakin gelap, dia memutuskan untuk pulang ke rumah karena sudah tak punya pilihan.

Kirana pun terbelalak kaget ketika melihat banyak orang di dalam rumahnya. Kaca rumah milik orang tuanya memang sedikit agak gelap, tapi di malam hari semua di rumah itu justru bisa terlihat dari luar akibat cahaya lampu.

"Loh, nggak mungkin sekarang kan lamarannya?" ujar Kirana langsung panik.

Dia pun berhenti melangkah, seolah tak ingin masuk ke dalam rumah.

Tapi sayangnya dia terlambat karena secara bersamaan, sang ayah, Parlan memergokinya, "Kirana."

Kirana tidak jadi berbalik, "I-iya, Pak."

"Ayo cepat masuk!" perintah Parlan.

Kirana menelan ludah, "Pak. Kirana kan udah bilang kalau Kirana-"

"Masuk!" potong Parlan cepat dengan mata melotot tidak ingin dibantah.

Kirana menggigit bibir, merasa tak berdaya. Dengan ekspresi bercampur aduk, gadis yang terlihat lelah itu pun akhirnya masuk.

Begitu dia melihat seorang pria duduk di bagian kanan itu, dia agak terkejut.

Bukankah yang dijodohkan dengannya adalah duda dengan dua anak yang berusia 45 tahun? Tapi, dilihatnya pria itu terlihat sangat muda. Malahan, tampak seperti seusia dengannya atau malah lebih muda darinya.

Lelaki itu duduk di samping Siti, bibinya yang merupakan adik ayahnya. Dikarenakan memiliki hubungan yang baik dengan Siti, Kirana langsung mendekati sang bibi dan menyapa dengan ramah, "Bulek Siti."

Dia mencium tangan bibinya yang kemudian dibalas dengan usapan di kepalanya dengan sayang.

Siti tersenyum lembut, "Masih capek ya, Nduk? Maaf, Bulek dadakan ke sini."

Kirana yang masih tak mengerti hanya mengangguk tanpa berani melirik ataupun bertanya pada sang bibi mengenai laki-laki muda yang duduk di samping bibinya.

"Siti, langsung saja," kata Parlan, tidak sabar.

"Iya, Siti. Buruan, ini aku mau ada arisan ini," ujar Herni.

Siti pun mengangguk, "Gini lho, Nduk. Bulek ke sini karena dengar kamu mau dijodohkan sama duda desa sebelah."

Kirana langsung tertarik dan menghadap bibinya dengan penuh perhatian, senang karena dia yakin bibinya yang baik hati itu pasti akan membela dirinya.

"Bulek tahu tabiat Seno itu enggak baik. Bulek nggak mau kamu menikah sama orang yang suka main perempuan," jelas Siti sembari melirik Parlan dengan tatapan tidak suka.

Kirana tersentak, sontak menatap ke arah orang tuanya dengan ekspresi kaget.

Bagaimana bisa dia dijodohkan dengan orang semacam itu? Kenapa orang tuanya begitu tega kepadanya?

Tapi, ternyata Parlan dan Herni tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikit pun. Mereka malah terkesan santai dan cuek.

Siti melanjutkan, "Jadi, Bulek pikir lebih baik kamu menikah sama Rayan."

Kirana akhirnya memberanikan diri untuk melirik ke arah Rayan yang masih diam tak bersuara. Dia ingin bertanya tapi suara ayahnya sudah terdengar kembali.

"Kamu kerja apa memangnya?" Parlan bertanya dengan nada tidak ramah pada Rayan.

"Saya tukang sol sepatu, Pak," jawab Rayan.

Kirana melongo. 

Gadis itu sontak merasa sedang dipermainkan oleh keadaan.

Tukang sol sepatu? ulang Kirana dalam hati.

Mana yang lebih baik? Dilamar oleh seorang duda kaya dengan dua anak tapi usianya terpaut jauh darinya atau seorang tukang sol sepatu yang miskin?

Mengapa yang melamarnya bukan seorang pemuda yang masih single tapi kaya? 

Dua orang adiknya, Nadia dan Siska yang duduk di bagian paling belakang itu langsung tertawa mengejek.

Tapi anehnya, Parlan, sang bapak malah hanya berkata, "Oh, ya sudah. Keputusan ada di tangan kamu, Na. Mau terima si tukang sol sepatu ini atau Seno?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   218. Akhir

    Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   217. Terlalu Miskin?

    Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   216. Dengan Cara Apa?

    Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   215. Bagaimana Bisa?

    Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   214. Hinaan Lain

    Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   213. Tertampar!

    Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status