"Nadia."
Nadia menampakan raut tak suka. Gawat. Jangan sampai terjadi perang dunia ketiga. Bisa hancur reputasiku. Apalagi, posisi sekarang sedang berkumpul. Jika sampai ada keributan, lalu direkam dan viral, bisa habis riwayatku. Bukan hanya karir yang hancur, tetapi nyawaku diujung tanduk. Bapak tak segan menghajar habis-habisan, kalau perselingkuhan ini diketahuinya.
"Oh, Mbak Nadia. Kenalkan saya, Nurlaila Pertiwi. Panggil saja Ela. Istrinya Ayah Ilyas purnama, kanda tercinta sepanjang hidup dikandung badan, hehehe," cerocos Ela mengulurkan tangan pada Nadia."Oh. Kamu Ela.""Mbak udah kenal saya? pasti suami saya suka ceritain tentang istrinya di kantor, yah. Ih, Ayah soswet banget."
Ela mendaratkan ciuman di pipi kananku. Aku hanya bisa mematung. Pipi Nadia berubah memerah. Mungkin, dia menahan gejolak cemburu.
"Mbak Nadia sendirian aja? suaminya gak diajak?"
"Saya gak punya suami."
"Kemana suaminya, Mbak? dimaling pelakor?"
"Sudah meninggal."
"Ya ampun, kesian banget. Cantik doang, tapi jones. ups, keceplosan. Maafin Mbak, gak maksud menyinggung. Maklum, mulut saya suka kebablasan."
"Mamah." Aku senggol lengan istriku. Sejak kapan dia jadi julid. Mati aku. Nadia semakin menunjukan sorot penuh amarah.
"Hehehe, maaf Ayah. Kebanyakan main sosmed. Jadi, kaya netizen. Ya sudah, ayok Mbak Nadia, masuk-masuk. Udah kesepian, jangan sampai diciumin nyamuk. Tapi gak papa deh, dari pada dicium suami orang. Iya gak Mbak? "
Takut suasana makin panas, aku tarik tangan Ela masuk ke rumah. Nadia mengekor di belakang. Kenapa dia tidak pulang saja? makin runyam urusannya.
"Wih, udah rame. Sayang isinya bapak-bapak sama ibu-ibu," seru Zahwa. Duduk di tengah antara aku dan Ela.
"Hust, jangan gitu."
"Hehehe, canda Mah. Serius banget kaya muka Ayah."
"Hah? kenapa, Nak?"
"Itu ada upil di hidung Ayah."
"Serius? di sebelah mana, Nak?"
Aku raba bagian wajah. Gengsi jika upil menempel dan menyamar bak tai lalat. Bisa-bisa jatuh marwah ku sebagai manejer.
"Hahaha, Ayah mau aja dikerjain anaknya. Upil ya, di dalam hidung. Kalau di mata, namanya belek."
Setelah beberapa menit kemudian, aku baru paham maksud istri dan anakku. Mereka malah cekikikan. Beginilah suasana keluargaku. Penuh canda tawa. Aku yang pendiam, terbawa kecerian anak dan istri. Entah sampai kapan kebahagian ini bisa bertahan.
"Harmonis banget keluarga Pak Ilyas. Anaknya cantik. Apalagi istrinya,keliatan adik kakak sama anak sendiri," celetuk Bu Evi, atasanku.
"Alhamdulilah, Bu."
"Ayah emang sosok orang tua yang baik, Bu. Dia bukan hanya jadi pemimpin, tapi idola. Sikapnya bijaksana, dan tak pernah mengecewakan keluarga. Betul begitu, Ayah?"
"Uhuk, uhuk."
Tenggorokanku mendadak kering. Rasa malu, bercampur sakit begitu terasa. Zahwa begitu membanggakanku di depan semua rekan kerja. Padahal, nyatanya aku hanya seorang ayah yang buruk.
"Minum, Yah. Jangan gerogi gitu dong. Ayahmu suka malu-malu," cengir kuda nampak tulus ditampilkan Ela.
"Beruntung lu, Yas. Punya keluarga bahagia. Gak duda kaya gua. Dijaga, Yas. Sebelum menyesal," imbuh Rafli yang duduk di sampingku."Berisik, cuy," bisikku di telinganya.
"Ehem."
Nadia berdehem di pojokan. Matanya awas memandang ke arahku. Diamnya mengisyaratkan kekecewaan yang mendalam.
"Ada yang panas, nih," lirih Zahwa, masih terdengar jelas.
"Kamu ngomong apa, Nak?" tanyaku heran. Anakku seakan mengetahui sesuatu. Sesekali, aku liat dia melirik sinis ke arah Nadia.
"Eh, Pak Ustaz sudah datang," seru istriku membuat Zahwa tak menjawab pertanyaanku.
Ustaz aneh muncul lagi. Kali ini, dia menggunakan Sobran bercorak garis-garis. Dengan Koko warna putih bercampur biru.
Semua rekan kerja sudah duduk melingkar di ruang tamu sampai ruang kelurga. Hampir 50 orang rekan kerja terdekatku datang. Mereka memang sangat menghargaiku sebagai manajer.
Acara pengajian dimulai. Kami mengaji bersama. Dipimpin sang ustaz. Lalu, diikuti kami semua. Rumah ini memang terasa lebih hangat. Setelah ayat suci dilantunkan. Hampir 30 menit, acara mengaji dan doa bersama selesai. Para tamu undangan di persilahkan antri mengambil makanan. Secara tertib, rekan kerjaku beranjak ke sudut ruang keluarga yang cukup luas. Di sana, sudah disiapkan prasmanan dengan aneka menu. Rumahku memang memiliki ruang tamu dan ruang keluarga yang cukup besar. Jadi, leluasa menampung para tamu.
Pukul 21.00, acara makan-makan selesai. Perlahan rekan kerjaku pamit undur diri. Ekor mataku terus menyapu seisi ruangan, mencari sosok Nadia. Aku cari di teras, tapi dia tak ada. Ela juga, tak nampak batang hidungnya. Perasaanku jadi tidak enak.
"Nak, mamah ke mana?"Zahwa sedang mengobrol dengan ustaz. Mereka nampak akrab. Bagai sahabat dekat. Apa mereka sudah saling mengenal sebelumnya?
"Di dapur nemenin temen kerja Ayah."
"Hah? temen kerja yang mana? Pak Rafli?"
"Bukan. Mbak-mbak cantik pokoknya."
"Apa?"
Jantung bergemuruh bak ombak pantai selatan. Gelombangnya begitu menampar hatiku. Rasa gundah gulana mulai memuncak. Jangan- jangan ... yang dimaksud Zahwa adalah Nadia?
"Emang kenapa sih, Yah. Ko, Ayah kaya cemas gitu."
"Gak papa, Nak. Ayah ke dapur dulu." Aku percepat langkah menuju dapur.
Benar kata Zahwa. Mereka berdua sedang berbincang di meja makan. Nadia menampilkan raut yang lebih bersahabat.
"Ma-mah, ngapain di sini."
"Eh, Ayah. Sini Yah. Mamah lagi ngobrol penting sama Mbak Nadia."
Kakiku rasanya berat mendekat. Nadia menunjukan tatapan yang aneh. Oh, semesta, masalah apalagi yang akan datang.
"Ngo-ngobrol apa, Mah?"
"Ayah kenapa gak pernah cerita sama mamah? jahat banget ih," ucap Ela dengan nada kesal.
"Ce-cerita apa, Mah?" Oh Nadia, semoga dia tak cerita hal aneh-aneh pada istriku.
"Cerita kalau Mbak Nadia ini, sahabat ayah sejak SMA. Dia adik kelas ayah 'kan? terus Ayah suka bantuin Mbak Nadia bukain gerbang sekolah kalau dia telat."
"I-iya, Mah. Ayah gak sempet cerita duluan ke Mamah."
"Ya ampun, Si Ayah. Kenapa gak cerita? Seru banget Mamah denger cerita tingkah konyol ayah pas SMA."
Ela menepuk kasar tanganku. Wajahnya memang berseri-seri. Akan tetapi, tenaganya saat memukul seakan sedang kesal. Semoga Ela tak curiga.
"Nadia, lebih baik kamu pulang. Sudah malam."
"Mas ngusir aku?"
"Bu-bukan begitu."
"Ya ampun, kalian kaya anak muda aja, manggilnya. Mas, Mas, segala. Kaya Mas-mas tukang bakso. Tapi bagus juga sih."
"Tentu bagus, La. Suamimu ini akan terasa sepuluh tahun lebih muda, jika dipanggil Mas. Bisa dicoba."
Mulutku terkunci rapat. Kikuk dan salah tingkah.
"Hehehe, Mbak Nadia ternyata bisa ngelucu juga."
"Su-sudah, Mah. Biarkan Nadia pulang."
Jidatku sudah dipenuhi butiran keringat. Tangan sedingin es. Berbeda dengan Nadia, dia malah tersenyum sinis.
"Mbak Nadia mau nginep di rumah kita, Yah. Dia takut di rumah sendirian," jawab Ela. Disambut senyum penuh kemenangan oleh Nadia.
“Mah, ayok kita ke sana, Mah. Awa mau liat Mah," rengekku setelah Kak Fauzi menutup sambungan telepon."Iya, Wa. Kita pasti ke sana," jawab Mamah."Ya Allah, Nadia, hiks, hiks."Tangisan Ayah pecah. Bagaimana pun, Nadia pernah mengisi hatinya. Memberi suka duka. Pasti kabar ini cukup menekan batinnya."Sabar, Pak. Semua yang bernyawa pasti menemui kematian. Tugas kita yang masih hidup, hanya bisa mendoakan. Semoga segala Dosa Nayla dan Mbak Nadia bisa dimaafkan. Sehingga, dilapangkan kuburnya.""Aamiin," jawab aku dan Mamah.Wajah Mamah juga berubah murung. Aku bisa memahami perasaannya. Masa lalu tentang Nadia pasti berputar-putar memenuhi pikirannya. Ada rasa kecewa, tapi rasa kasihan jelas lebih besar. Mamah bukan tipe orang pendendam. Dia pasti ikut kehilangan Nadia. Begitu pula denganku. Perjalanan kehidupan yang aku lalui dengan hadirnya Nayla dan Kakaknya terus melintasi di kepala. Memang banyak kesan buruk yang membekas. Berusaha aku ikhlaskan, walaupun berat. Semampu diriku,
Pov Zahwa“Kak Fauzi ….”“Zahwa, bidadariku, bangunlah. Kakak ada di sini.”Tubuhku rasanya remuk. Sulit digerakan. Mata remang-remang. Aku seakan melihat keberadaan Kak Fauzi. Apa ini hanya halusinasi. Yang aku ingat, dia tidak bersamaku."Mamah ... Ayah ...."Perlahan aku bisa menatap sekitar dengan jelas. Mamah mengalirkan hujan di pipi. Dia memelukku erat. Bagaikan sudah bertahun-tahun baru bertemu. Begitu pula dengan Ayah. Mengelus kepala dengan mata berkaca-kaca. "Mah, Awa di mana?""Awa di rumah sakit, Nak. Sudah seminggu kamu gak sadarkan diri. Alhamdulilah, Awa bisa kuat melawan rasa sakit. Mamah sayang sama Awa. Cepat sehat Nak."Satu Minggu? selama itu aku tertidur lelap. Perlahan aku ingat-ingat kejadian terakhir sebelum tak sadarkan diri.Setelah mendapat pesan dari Nayla, aku segera datang ke lokasi. Sebelum itu, menelepon Fika untuk menyusul, dan membawa pasukan detektif Arya. Namun, ternyata aku dijebak. Tak ada orang di rumah reyot yang aku datangi. Aku terus mencari
POV FauziMulut ini tak henti melafalkan doa. Memohon pertolongan-Nya. Ruangan pengap, dengan pencerahan minim, jadi saksi bisu. Untukku bertaruh nyawa. "Hey, calon suamiku," sapa Nayla dengan seringai mengerikan.Mulutku dibekap kain yang dililitkan sampai belakang. Tangan dan kaki diikat kencang. Hanya mata yang bisa merespon kejahatan Nayla. Hati tak hentinya beristigfar. Tak menyangka, jika ada perempuan tak berperasaan seperti Nayla.Aku menyesal tidak mendengarkan penuturan Zahwa. Pujaan hatiku, yang malah diabaikan. Padahal, dia bicara sesuai kenyataan. Aku yang terlalu bodoh. Tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Nayla.Memang kita tidak boleh berprasangka buruk kepada sesama manusia. Namun, berwaspada juga penting. Membela diri sendiri merupakan hal yang diharuskan dalam agama. Dari sini aku belajar. Supaya, tetap berhati-hati menghadapi setiap manusia dengan isi hati yang sulit dipahami.Manusia bukan hanya diciptakan dari tanah. Namun, ada amarah bagai api yang tersimp
"Zahwa!""Mah, Kak Fauzi, hiks, hiks."Aku menangis di lantai. Kepala diletakan di sofa. Tubuh tak ada tenaga. Mengingat nasib Kak Fauzi. Aku tau, Nayla memang mencintainya. Tak mungkin menyakitinya. Namun, kalau Kak Fauzi dijebak, lalu disuruh menikahi Nayla, bagaimana denganku?"Tenang, putri Ayah. Kita pasti bisa menyelamatkan Fauzi."Ayah merangkul tubuhku. Untuk duduk di sofa. Aku sandarkan beban ini padanya. Mamah ikut memelukku. Raut khawatir juga tergambar jelas di wajahnya."Arya, apa Nayla sama sekali tidak meninggalkan jejak?""Tidak ada Pak Ilyas. Kami kehilangan jejaknya. Ponselnya juga tidak bisa dilacak. Sulit menemukan keberadaannya. Tapi tenang, saya dan para polisi, sedang berkeliling daerah sini. Mencari keberadaan Fauzi.""Om Arya, tolong temukan Kak Fauzi, hiks, hiks.""Insyalloh, Wa. Om akan berusaha semaksimal mungkin."Air hujan di pipi, tak henti menetes. Perasaanku bagai daun berguguran di musim semi. Kering kerontang. Layu, dan tak ada energi keceriaan.Mama
POV ZahwaKak Fauzi jahat. Dia bilang cinta. Mau melamarku jadi istrinya. Dulu saja, ketika aku terjebak narkoba, dia yang paling percaya aku bisa keluar dari benda haram itu. Namun, kenapa sekarang tidak? Nayla dan Nayla lagi yang dibela. Padahal, bukan aku yang melukainya. Pasti nenek lampir itu gila. Dia yang melukai dirinya sendiri."Sabar ponakan Aunty. Kita belum kalah.""Tapi Aunty, hati Awa rasanya cenat cenut. Sakit banget.""Hahaha, Aunty paham. Tenanglah, kita dan Fika bukankah sudah mengatur strategi?""Iya, sih, tapi ....""Hust, ada yang sedang mengawasi."Aunty menarikku ke lorong lain dari rumah sakit. Bukan jalur pulang. Lalu, kami bersembunyi di ruang praktek dokter. Untung, ruangannya kosong. Dari balik kaca, aku bisa melihat ada dua preman yang sedang celingukan. Mereka pasti mencari kami."Hati-hati. Aunty yakin, Si Nayla punya rencana jahat untuk kita.""Rencana jahat apa, Aunty?""Ya, mana Aunty tahu.""Yah, gimana dong. Mau sampe kapan kita di sini." "Sabar, A
Kenalkan, namaku Nayla. Kakakku adalah Nadia. Seorang perempuan yang hidupnya di porak porandakan keluarga Ilyas dan Ela. Dua tahun lalu, ketika tahu kakakku masuk rumah sakit jiwa, napas rasanya tercekat. Raga tersesat. Dunia seperti kiamat.Akibat kejahatan keluarga Ilyas. Tanggung jawab keluarga pindah ke pundakku. Biasanya, keluargaku mengandalkan uang Kak Nadia. Ibu yang sakit-sakitan terpaksa tidak bisa berobat. Bapak hanya seorang pengangguran. Keluarga kami miskin dan menderita ketika Kak Nadia gila. Aku yang belum siap dengan permasalahan yang pelik ini, hanya bisa menangis setiap malam. Menahan perut yang kelaparan. Di tambah lagi menyaksikan kedua orangtuaku harus menahan penyakit, dan lapar diusia senja. Kondisi saat itu, merupakan keadaan paling buruk yang pernah aku rasakan.Aku pernah mengunjungi rumah Ilyas. Meminta bantuan pada mereka. Namun, aku malah diusir oleh ibunya Ilyas. Sedangkan kakak iparku itu, sama sekali tidak peduli. Dia kabur ke luar negeri. Tidak melih