"Arrgh! tikus ...."
"Tolong ...."
Brak!
Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil.
Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia.
"Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema.
"Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan."
"Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan."
"Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya."
"Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan sepuasnya.
"Hust, mamah jangan kenceng-kenceng ketawanya."
"Ups, keceplosan. Lagian, anak Mamah ini cerdasnya luar binasa. Mengalahkan komedian tingkat internasional."
"Anak Mamah gitu, Loh. Dari pada jambak-jambakan, atau cakar-cakaran, udah mainstream. Mending, kaya gini. Seru, main-main."
"Hahaha, betul. Yang penting, tak sampai melukai Nadia. Paling, dia sedikit geli-geli gimana gitu, digigit tikus."
Ada rasa sedikit kasihan. Namun, mengingat tingkahnya yang keterlaluan, membuatku geram. Kalau terlalu dibiarkan, maka akan semakin besar kepala.
"Mah, pokoknya bagaimanapun respon nenek gayung, kita harus tetap tenang."
"Tentu Sayang. Lawan kita akan senang, jika kita terpancing dengan hasutannya."
"Nah, cocok. Mamah emang the Best. Gaskeun, kita tengok nenek gayung."
Tawa mengembang diantara anak dan ibu. Kami berjalan menuju kamar yang ditempati Nadia. Aku dan Awa tak bisa menahan Tawa. Kondisi Nadia seperti orang gila. Bajunya sedikit robek. Rambut awut-awutan. Dia terduduk karena terpeleset minyak. Satu tangan terus memegangi tulang punggung.
"Astaga, Tante cantik kenapa nangis gitu. Segala ngepel lantai lagi, hahaha," ledek Zahwa.
"Berisik anak nakal. Pasti ini perbuatan kamu dan ibumu."
"Ish, ish, sembarangan nuduh. Orang aku sama mamah abis tidur. Tante, agak sengklek yah? hahaha." Aku hanya bisa menahan tawa. Zahwa begitu puas melihat penderitaan nenek sihir yang sudah meracuni ayahnya.
Ayah hanya menggelengkan kepala. Dia nampak bingung dengan kondisi sang pujaan hati. Bukan menolong, suamiku malah mematung. Mungkin dia masih mencerna apa yang terjadi. Sambil mengumpulkan nyawa sehabis bangun tidur.
"Halah jangan ngelak. Mana mungkin rumah bagus kaya gini banyak tikus. Pasti perbuatan kalian. Dasar licik."
"Mbak Nadia, tolong dijaga mulutnya. Sudah numpang, bikin gaduh lagi. Jangan sampai, saya jahit mulutnya. Biar rapet," jawabku kesal.
"Berisik. Kalian malah bertengkar. Gak enak didenger tetangga.
"Tuh, anak dan istri kamu. Mas, malah diem aja. Buru tolongin. Sebelum tikus-tikus gila gerumutin aku lagi," sentak Nadia.
Tanpa perduli kehadiran kami, Ayah menuruti selingkuhannya. Nadia sengaja bergelayut manja dalam rangkulan suamiku. Dia menampakan ekspresi sangat menderita. Ayah, memapahnya duduk di sofa ruang keluarga.
"Ih, Ayah biarin aja. Harusnya Ayah bela Mamah. Tante 'kan udah nuduh yang enggak-enggak." Putriku menarik ayahnya agar sedikit menjauh dari Nadia.
"Aku gak menuduh, Mas. Pasti ini ulah istri dan anakmu. Buktinya, dia malah pindah tidur ke kamar lain. Pasti, setelah menjahiliku, dia sengaja bersembunyi di kamar Zahwa.
"Mbak Nadia, kalau ngomong direm dong. Enak banget nyerucus kaya kereta butut. Saya pindah ke kamar Zahwa, Karena berisik. Suami saya ngorok. Bukan karena Mbak. Enak saja menuduh tuan rumah," jawabku sewot.
"Halah, gak usah berkelit. Saya tahu, kamu pasti cemburu karena saya mantannya Mas Ilyas 'kan? mangkannya dendam, dan sengaja berbuat ulah."
Nadia lepas kendali. Wajahnya merah padam. Kilatan amarah seakan berkobar dari matanya. Tangannya mengepal kuat menahan kesal. Awalnya, aku hampir saja terbawa emosi. Seketika, Zahwa menggenggam tanganku. Serta memberi isyarat, supaya tetap tenang."Sudah berisik!" bentak Ayah Ilyas.
"Mah, jujur, apa kamu yang melakukan semua ini? tak mungkin minyak jatuh begitu saja di kamar tamu."
"Hahaha, lucu Ayah, Nih. Malah menuduh mamah dan mempercayai mantan Ayah. Inget, Yah. Mamah ini istri sah Ayah. Masa Ayah malah bela mantan."
"Hahaha, Ela, Ela. Asal kamu tau, aku bukan lagi mantan Mas Ilyas. Tapi kami sudah menikah siri."
Hatiku rasanya terhantam batuan tajam. Semakin remuk redam kalbu ini. Apa mereka sudah menikah? kapan? kenapa Rafli tidak menceritakan soal ini. Apa dia sengaja menutupinya dariku, atau memang sama-sama tak tahu.Aku pikir, hubungan mereka masih ditahap pacaran. Namun, kenyataan pahit begitu memilukan. Persendian lemas. Kaki rasanya tak menapak di tanah.
"Hahaha, kamu sudah tau itu, Tante cantik. Aku yakin, Ayah tak akan memilihmu. Nenek lampir, ih."
Mata membeliak tak percaya menatap Zahwa. Apa benar Zahwa tahu rahasia Ayahnya lebih dari aku? bagaiman caranya dia bisa tahu semua ini?
Zahwa malah tersenyum miring ke arahku. Dia sama sekali tidak kaget. Putriku, menunjukan ekspresi biasa.
"Oh, kalian sudah tahu. Baguslah. Tak masalah 'kan kalau aku tinggal di sini untuk selamanya?"
"Boleh dong, Tante. Coba tanya Ayah. Apa dia mengizinkan?" tantang Zahwa.
"Jawab, Mas. Mereka sudah tahu. Kita tak usah menyembunyikan hubungan ini lagi. Lihat saja, istrimu rela berbagi suami. Buktinya dia tak marah meskipun mengetahui semuanya."
Ayah hanya termenung memandang Aku dan Zahwa. Celah matanya mengembun. Mungkin, dia memang tak perduli perasaanku. Namun, aku tahu pasti, Ayah begitu menyayangi Zahwa. Hatinya pasti gundah, dan merasa bersalah. Mengetahui bahwa anaknya sendiri, tahu kebejatan Ayahnya.
"Jawab, yah. Silahkan izinkan Tante cantik ini tetap di sini. Kalau Ayah mau, Mbah Kakung tau semuanya," ancam Zahwa dengan wajah penuh kemenangan.
Mulutku terkunci. Masih berusaha mengontrol rasa yang berkecamuk di hati. Aku harus tegar. Sama seperti Zahwa, yang menyimpan luka lebih dalam dariku.
"Zahwa .... Mamah .... maafkan Ayah." Suamiku bersimpuh di kaki kami. Air mata membanjiri pipinya.
"Mas, ngapain kamu kaya gitu. Bangun." Nadia berusaha membangunkan suamiku. Namun, Ayah bergeming. Dia terus merengek maaf di kakiku.
"Diam, Nadia!" bentak Ayah. Nadia langsung terdiam.
"Tuh, Tante cantik liatkan? Ayahku lebih mencintai Mamahku. Tante cantik cari opah-opah aja. Mending, pergi, deh. Bikin rusuh tau, ih."
"Gak mungkin. Mas cepat bilang, kamu gak mungkin memilih istrimu yang bo*oh itu."
Plak!
Suamiku menunjukan raut jengkel. Beranjak berdiri, lalu mendaratkan tamparan. Zahwa tersenyum lebar. Aku hanya mematung. Tak percaya dengan kelakuannya.
"Pergi dari sini, Nadia. Cepat pergi!" teriaknya memekikan telinga.
POV Ilyas"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli."Nadia, cepat pergi!" "Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas.""Berisik, pergi cepat!""Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela. Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang mene
POV Ela"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah. Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa."Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot.""Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah.""Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari.""Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNan
"Apa Ilyas selingkuh?" lagi-lagi, mereka kompak bertanya."Ayah, jahat, Mbah. Ayah sudah menikah diam-diam. Ayah sakitin, Mamah, dan Awa."Tangisan Zahwa begitu menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. Air mata mengalir bak banjir bandang. "Tenang, cucu Mbah. Keluarkan kekesalan, kamu, Ndok. Lalu jelaskan pelan-pelan sama Mbah. Biar Mbah Uti dan Mbah Kakung paham," ucap Ibu Nia berpindah posisi di samping Zahwa. Kemudian, mengelus halus pundaknya."Mbah, harus kasih Ayah pelajaran. Biar kapok. Ayah lebih milih nenek gayung dibandingkan Awa dan Mamah, hiks, hiks."Dadaku sesak. Perkataan Zahwa bagai ribuan peluru yang menghujam jantung dan tengkorak kepala. Nyeri tak terkira. Sekuat apapun anakku, dia hanya seorang anak remaja yang belum siap menerima kenyataan pahit ini."Coba ceritakan dengan jelas semuanya, Awa."Bapak Mertua mulai menampakan raut geram. Tangannya mengepal kuat. Dia pasti terbakar emosi. Mengetahui kelakuan buruk putranya. Zahwa melepaskan diri dari pelukan kakek
POV IlyasAda yang aneh dari Ela dan Zahwa. Tak biasanya mereka pergi mendadak ke Surabaya. Aku berusaha menepis firasat buruk yang hadir. Mencoba tetap berpikir positif, dan lebih baik memanfaatkan keadaan. Waktunya aku bersenang-senang dengan istri muda. Ada untungnya juga, Ela berlibur ke Surabaya. Aku punya kesempatan bermesraan lebih lama, bersama pujaan hati."Kapan Mas bakal mengakui aku sebagai istri?" tanya Nadia. Kami sedang tidur bersama di rumahku. Nadia yang ingin tidur di sini. Dia takut sendirian di apartemennya."Tunggu Mas, mendapatkan harta Bapak. Baru kita bebas.""Kapan? menunggu bapakmu mati?""Dek, jangan bicara seperti itu.""Lagian, Mas ngeselin. PHP terus sama aku.""Bukan PHP, kamu tentu tahu alasannya.""Ya sudah, beliin aku rumah besar kaya si Ela.""Sabar, Mas belum bisa ngumpulin uang. Nunggu dapet bonus Lagi. Uang penjualan rumah kamu, kenapa gak di pake dulu, nanti Mas tambahin.""Gak mau. Ngapain aku punya suami, kalau rumah aja beli pake duit sendiri.
"Pak, Bu, buka pintunya." Dini hari menjelang subuh, aku sampai di Surabaya. Beruntung masih ada penerbangan malam hari. Setelah menyusun rencana dengan Nadia, aku segera melakukan perjalanan menuju rumah Bapak.Ela sudah berbuat licik. Maka, aku akan bertindak demikian. Perlakuannya yang semena-mena tak bisa dibiarkan. Aku baru sadar, Ela bukan perempuan biasa. Dia pintar memanipulasi keadaan."Ayah ....""Zahwa, maafkan Ayah, Nak." Aku peluk putriku. Supaya dia ikut bersimpati. Agar aktingku lebih meyakinkan.Maafkan Ayah, Nak. Perasaan ini begitu rumit. Ayah menyayangimu, tapi tidak dengan Mamahmu. Cinta tak bisa dipaksakan. Kadang membuat orang yang merasakan, harus egois dalam mengambil tindakan. Begitulah posisi Ayah sekarang."Ih, peluk-peluk segala. Mana bau apek lagi. Ayah kaya drama India, aja. Lagian, ngapain ke sini? Mbah uti dan Mbah Kakung, gumoh alias eneg liat Ayah.""Ayah mau memperbaiki semuanya, Nak. Ayok, kita masuk.""Halah, jambu, yah.""Jambu?""Janjimu, janji
POV Ela"Tapi apa, La? pikirkan baik-baik. Kebahagian anak adalah hal yang utama. Jangan mengandalkan ego," ceramah Ibu mertua. Cukup nyelekit di hati. Kenapa aku yang dia ceramahin? harusnya anaknya sendiri. Ayah yang sudah menyakiti istri dan anaknya. Aku ragu dia tulus. Pasti ada udang dibalik rengginang."Tapi, Zahwa tak akan mengizinkan, Bu. Perselingkuhan Ayahnya, yang dia saksikan di depan mata. Pasti membuat trauma tersendiri. Percuma toh, rumah tangga ini dilanjutkan. Belum tentu Mas Ilyas tulus. Yang ada, malah menambah luka batin buat aku dan Zahwa," cerocosku tak mau kalah."Soal Zahwa, kamu harus kasih dia pengertian. Ibu lihat, dia mulai lancang sama Ayahnya sendiri. Kamu harus mendidiknya dengan baik. Jangan gitu, Ndok."Ya ampun, pantas saja calon mantan suamiku, punya sikap egois yang tinggi. Ternyata, ibunya juga demikian. Tak mau tahu siapa yang salah. Seenaknya melempar bola panas. Tanpa intropeksi diri."Hehehe, Maklum Bu. Ayahnya aja eror. Ela sebagai istri 'kan
"Zahwa, jangan durhaka. Dia tetap Ayahmu," bentak nenek Zahwa.Aku hanya bengong, menyaksikan adegan ini. Zahwa pasti sudah menahan diri berlaku kurang ajar. Dia anak yang baik. Selalu mencintai kedua orang tuanya di atas segalanya. Namun, perbuatan Ayah memang begitu menancap di relung hati. Meninggalkan jejak luka yang tiada tara kuantitas sakitnya."Awa udah coba menahan sakit ini, Yah. Mamah selalu minta, biar Awa memaafkan Ayah. Tapi gak bisa, Yah. Gak bisa."Perlahan aku dekap anakku. Menguatkan pundaknya, agar tetap tabah. Jangan sampai Zahwa melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri. Posisiku cukup sulit. Perbuatan Zahwa memang tak elok. Sebagai anak, seharusnya dia tetap bersikap sopan. Akan tetapi, Zahwa juga punya hati. Dia harus meluapkan emosinya. Kalau terus diipendam, takut berakibat fatal. Jadi, aku tak tega kalau harus melarangnya dengan amarah juga."Ma-maafkan, Ayah, Nak. Ayah sayang sama kamu.""Hahaha, Ayah bilang Sayang sama aku? tapi, Ayah malah menyakiti Ma
"Coba kita berhenti dulu, Mah. Tau aja ada mata-matanya nenek gayung.""Pak, kita minggir dulu."Mobil bapak mertua berhenti di pinggir jalan. Kami serempak memperhatikan laju mobil itu. Ternyata dia malah melewati mobil kami. Firasatku mengatakan ada yang aneh. Namun, mobil itu sudah menjauh. Mungkin hanya pikiran buruk saja."Gas, Pak. Cuman orang iseng, atau kebetulan aja.""Siap, Mbak.""Mamah gak usah bingung gitu. Paling kebetulan tadi sejalur. Jadi, kesannya kaya menguntit.""Iya kali, ya, Nak. Lupakan sajalah. Intinya kita bakal happy-happy di rumah eyang.""Oghe, Mah.""Kamu jangan sedih lagi, Wa. Tuh, matanya bengkak kaya panda. Nanti cantiknya luntur. Malu, dong pas ketemu temen di sekolah baru.""Hehehe, iya Mah. Awa bakal ceria terus buat Mamah. Tadi tuh, kesel. Ya, jadi gitu deh.""Mamah paham sayang. Kamu boleh nangis. Asal jangan berlarut-larut, yah.""Siap Macan. Nanti kita cari cogan, Mah. Biar menyegarkan mata.""Bocil, bisa aja." Aku acak-acak pucuk kepala Awa. Sen