"Ma-maksud kamu apa, Nak? sudahlah, lupakan masalah status w* Ayah. Dia pasti salah kirim. Paling itu rekan kerjanya."
"Gak usah ngelak, Mah. Awa udah gede. Paham tentang masalah kaya gini."
"Hehehe, sudahlah. serius amet ngomongnya, kaya pejabat negara. Nanti pala kita botak lagi. santai aja, Awa. Mamah baik-baik aja." Aku rangkul anakku.
"Awa sudah tau semuanya Mah. Ayah selingkuhkan sama nenek sihir yang namanya Nadia."
Mataku membeliak tak percaya. Sejak kapan Zahwa tau semuanya. Kenapa selama ini dia nampak biasa-biasa saja? ternyata anakku menyimpan beban masalah orang tuanya. Dia tetap tegar. Semoga anakku memang kuat, bukan pura-pura menerima. Namun, melampiaskan kekecewaannya dengan jalan yang salah. Seperti pergaulan bebas, apalagi ... Ya Tuhan, hilangkan pikiran negatifku.
"Awa tau dari mana?"
"Tak penting Awa tahu dari mana. Bagus kalau Mamah sudah tahu. Kita bisa susun rencana untuk memberi pelajaran pada Ayah dan nenek gayung itu," serunya penuh kilat kebencian.
"Sayang, jangan pikirkan masalah ini. Mamah bisa menghadapinya. Hidup harus dibuat santuy, Sayang. Jangan spaneng. ini cobaan rumah tangga."
"Hahaha, Mamah memang perempuan hebat. Masih kuat menyembunyikan luka. Padahal, sudah tersiksa sejak lama."Aku hanya menelan Saliva. Tak menyangka dengan penuturan putriku.
"Nak, tolong jangan benci Ayah. bagaimanapun kamu brojol, karena ada dia. Tanpa Ayah, tak akan terbentuk emberio lalu janin, dan kemudian menjadi gadis cantik sepertimu," bujukku berusaha tersenyum.
"Mamah tenang saja, aku pernah hidup di dalam rahim Mamah. Meminum air susu Mamah. Jadi, sikap kuat Mamah, juga tertanam pada diriku. Kita harus hadapi Ayah. Supaya dia sadar."
"Jangan pakai cara kasar Awa, percuma. Kita harus mencontoh Rosululloh. Dia selalu membalas musuh dan orang yang benci padanya dengan kebaikan."
Itulah prinsip yang aku tanamkan pada diri sendiri. selama ini, aku diam bukan karena lemah. Hanya ingin memepraktekan cara yang diajarkan sang panutan. Meskipun, setelah kenaikan kelas Zahwa, aku tetap akan meminta cerai. itupun, jika Zahwa mengizinkan.
"Hahaha, baikalah. Awa punya rencana halus untuk Ayah."
"Rencana apa sayang? jangan bilang, kamu berniat menukar Ayah dengan badak bercula satu dari Banten."
"Ih, serius Mah."
"Hehehe, Mamah tak ingin membuatmu kepikiran, Nak. Pikirkan saja sekolahmu. Biar masalah ini jadi urusan Mamah."
"Mamah mau tetap diam? jangan lemah, Mah. Mereka harus diberi pelajaran. Setelah itu, kita bilang Mbah kakung Handoko. Biar Mbah kakungku yang pensiunan tentara itu, pasti bakal mengobrak Abrik mereka. Enak saja, menyakiti mamahku."
Air mata jatuh. Anak gadisku yang mulai remaja, begitu merasakan penderitaan ibunya. Aku rangkul tubuhnya yang body goals. Putri kecilku yang cantik. Dialah semangat untukku tetap bertahan.
"Mamah gak boleh nangis. Biar para penghianat yang menangis."
Zahwa mengusap air mata yang berjatuhan di pipiku. Dia sangat tegar. Tak ada raut kesedihan dari matanya. Namun, aku merasakan aura dendam yang mendalam. Perlahan, akan aku beri pengertian, agar dia tak benci ayahnya.
"Setelah kenaikan sekolah, kalau kamu mau, kita pulang ke rumah Mbah Uti di Surabaya, ya, W*."
"Apapun keputusan Mamah, Awa akan selalu melindungi dan menemani Mamah."
Kami saling berpelukan dan menguatkan. Zahwa mulai memberi tahu rencana anehnya. Dia yang menyuruhku pura-pura marah. Saat Ayah bersimpuh memohon maaf. Kami sengaja, bersandiwara, seakan tak tahu semuanya. Akan ada masanya, kejutan itu akan datang. Waktu tiga bulan ini, akan aku gunakan untuk menyadarkan Ayah tentang kekeliruannya.Rasanya aku ingin sekali segera berpisah. Namun, kata cerai tak semudah dalam novel serial rumah tangga. Ada yang harus dipertimbangkan. Terutama nasib anakku.
Dibibir Zahwa, mungkin dia bisa menerima perceraian kami. Akan tetapi, aku tak yakin dengan hati dan mentalnya. Apalagi, kadang lingkungan tak mendukung, anak-anak korban broken home. Mereka lebih suka melakukan perundungan atau melontarkan ejekan. Dibandingkan support.
Tak heran, banyak kasus kenakalan remaja yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari komunitas anak punk, pergaulan bebas, sampai narkotika.
"Mah, nanti ka Fauzi bakal nyamar jadi ustaz. Mamah ikutin ajah rencana kami," ucap Zahwa di ruang tamu.
Entah sejak kapan dia merencanakan kekonyolan ini. Aktingnya begitu memukau. Mengalahkan artis era digital. Awa benar-benar seperti orang kesurupan. Sekuat tenaga, dia melampiaskan kekesalan pada ayahnya.
Rencana anakku berjalan sukses. Kami berhasil mengadakan pengajian. Sengaja memancing nenek gambreng hadir di sini. Lihatlah, tingkah Nadia seakan tak punya dosa.
"Ela, boleh aku makan di sini?" tanya Nadia saat aku sibuk di dapur.
"Ya boleh dong, Mbak. Anggap aja rumah sendiri. Asal jangan anggap suami saya milik Mbak juga, hahaha," sindir halus.
Nadia tersenyum miring. Tak sungkan duduk di kursi meja makan. Dengan santai, dia makan sambil sesekali memperhatikanku yang sibuk menata kue basah ke piring. Untuk dibawa ibu-ibu tetangga ke depan.
"Gimana rumah tangga kamu, Ela? apa Mas Ilyas menyayangimu?"
"Tentu dong Mbak, masa sayang janda sebelah. Kecuali, jandanya yang kegatelan, hehehe. Mbak, ada-ada aja pertanyaannya."
"Hahaha, kamu lucu, Ela. Pantas Mas Ilyas mencintaimu. Dia memang suka sesuatu yang berwarna," respon Nadia sok akrab.
Aku ikuti saja permainannya. Berlaga bodoh. Kita lihat, sampai mana rasa kepedean yang dimilikinya.
Dia terus bercerita tentang kedekatannya dengan Mas Ilyas semasa SMA. Sebenernya aku sudah tahu tentang masa lalu mereka, dari Rafli. Ucapannya aku respon dengan ceria. Pura-pura tak tersinggung padahal berkali-kali dia memancingku untuk cemburu.
"Ela, bolehkan aku nginep di sini? dulu, Tante Nia, ibunya Mas Ilyas selalu memperbolehkanku bermain sampai menginap. Aku kesepian, tak ada teman tidur. Di sini rame, ada Mas Ilyas dan anaknya juga."
Hahaha, inginku jambak sambil tertawa terbahak-bahak. Inilah hakikat diberi hati malah minta kotoran sapi. Tanganku gatal ingin melumuri wajah Nadia dengan t*hi yang berwarna kehijauan.
Sabar, Ela. Allah sedang menguji kadar keikhlasan dan kekuatan hatimu. Aku terus melafalkan istigfar. Agar tak terhasut syahwat amarah.
"Tentu, boleh dong. Dengan senang hati. Kita bisa bergibah ria, hahaha."
Ditengah perbincangan, Ayah menghampiri. Dia nampak keberatan dengan kedekatanku dan Ela.
"Mah, ngapain dia diizinin nginep di sini?"
Ayah menarikku ke ruang keluarga. Sedikit menjauh dari Nadia. Dia amat tak suka dengan keputusanku menampung pujaan hatinya.
"Biar Ayah bahagia."
"Hah? ma-maksudnya?" Dia mulai panik.
"Biar hot. Dua perempuan cantik, dari masa lalu dan masa kini disatukan. Wah, mantul, Yah. Sensasinya kaya ceker setan level 100," Wajah suamiku mulai pucat pasi.
"Benar kata, Ela, Mas. Kami sudah akrab. Jadi jangan khawtir."
"Ma-maksud kalian apa?"
Suami bak kerupuk tersiram air got. Berada di tengah-tengah perempuan-perempuan penuh senyum misteri. Bendera perang, resmi dikibarkan.
"Hahaha, Ayah, ko, tegang gitu? kaya ketauan poligami aja.""Ma-mah, lebih baik Nadia suruh pulang aja. Gak enak sama tetangga," bujuk suamiku.Raut wajahnya masih tegang. Suamiku ini, bernyali melempem saja, berencana punya dua istri. Padahal, aku belum cakar-cakaran dengan Nadia. Namun, Suamiku sudah panik setengah mati."Gak papa, Ayah. Cuman semalem doang. Sekalian Ayah bernostalgia. Mbak Nadia ini 'kan sahabat sekaligus mantan Ayah pas SMA.""Betul itu, Mas. Istrimu ini sangat baik. Dia tak akan cemburu, meskipun kita punya kisah masa lalu," jawab Nadia penuh percaya diri."Oh tentu, Mbak. Masa lalu 'kan sudah berlalu. Yang terpenting, aku istri Ayah. Kami juga sangat bahagia. Benar tidak Ayah?"Aku yakin, Nadia curiga kalau aku mengetahui perselingkuhannya. Dia terus memancing. Agar membongkar apa yang aku ketahui tentang mereka."Ya pasti bahagia dong. Apalagi ada Awa."Putriku datang, langsung memposisikan diri di tengah. Merangkul aku dan Ayahnya. Nadia mengungkapkan cemburu.
"Arrgh! tikus ....""Tolong ...."Brak!Nadia berteriak nyaring. Disusul suara pintu yang dibanting. Lalu, benda kaca yang jatuh. Isi kepalaku membayangkan ekspresi ketakutan Nadia yang sangat lucu. Rasanya geli sendiri, jika diposisinya. Sekujur tubuh di peluk bahkan di cium tikus-tikus kecil. Zahwa mengikuti tingkahku yang konyol dan aneh. Hebat sekali dia, bisa memikirkan rencana sekeren ini. Beruntung, anakku tipe gadis tangguh. Dia bahkan berani menghamburkan sepuluh tikus sekaligus di dalam selimut Nadia."Mas Ilyas, ada tikus," teriak Nadia masih menggema."Mah, kayanya Ayah udah bangun dan nyamperin nenek gayung. Ayok, kita lihat. Awa gak sabar lihat ekpresinya. Pasti rambutnya awut-awutan.""Masa sih, Nak? gak mungkinlah. Paling kamar tamu kita yang berantakan.""Ih, mamah gak tau, ya. Tadi tuh, Awa sudah siapkan satu tikus kecil alias bencil, yang unyu-unyu, di atas kepalanya.""Astagfirullohaladzim, hahaha," tawaku pecah seketika. Inginku guling-guling, sambil cekikikan se
POV Ilyas"Hahaha, Tante cantik kalah. Ayah lebih sayang kami. Sana pulang Tante. Jam tiga pagi gini, masih ada go car, ko," sahut anakku.Nadia memang ceroboh. Dia menggali kuburannya sendiri. Seenaknya menginap di rumahku, dan malah membongkar skandal kami.Sia-sia aku menyembunyikan pernikahan ini. Aku sudah menyimpannya serapat mungkin. Tak ada orang terdekat yang tahu. Bahkan, Rafli saja tidak tahu soal pernikahan siriku dengan Nadia. Namun, aku kaget ketika istri dan anakku mengaku mengetahuinya. Mereka tahu dari mana? nanti, aku akan menanyakannya pada Rafli."Nadia, cepat pergi!" "Mas kamu apa-apaan, sih? gak bisa seenaknya ngusir kaya gini. Aku juga istri kamu, Mas.""Berisik, pergi cepat!""Bagaimana Mbak, sakit dibentak? aduh, aduh. Mangkanya kalau punya muka cantik, hatinya jangan burik. Jadi, sakit deh," ucap Ela. Heran, anak dan istriku sama sekali tak menitikan air mata, ataupun ngamuk-ngamuk seperti di sinetron televisi. Hanya ada raut dongkol. Apa mereka memang mene
POV Ela"Gitu, dong, Yah. Makasih, tanda tangannya."Segera aku rebut surat-surat yang sudah ditanda tangani. Ini bukan hanya lembaran rapot. Namun, ada surat perjanjian jual rumah yang sudah aku selipkan. Aku sengaja menjualnya pada sahabatku. Rumah ini termasuk harta gono gini, karena dibeli setelah kami menikah. Jadi, saat menjualnya, aku harus mencantumkan tanda tanganku dan Ayah. Uang hasil penjualannya akan aku gunakan untuk membuka usaha. Meskipun, aku masih tak tahu, bisnis apa yang cocok untukku. Setidaknya, dengan uang satu milyar hasil penjualan rumah, bisa digunakan untuk menyambung hidupku dan Zahwa."Tumben, bilang makasih segala, Mah. Itukan cuman rapot.""Hehehe, emang kenapa sih, Yah. Kali-kali Mamah berterimakasih karena Ayah sudah berjuang mencari uang. Sampai anak kita bisa sekolah.""Oh, gitu. Gimana kalau Ayah ikut nganterin Mamah ke Surabaya. Sekalian mampir ke rumah Bapak. Nanti ayah minta libur ke kantor tiga hari.""Gak usah Ayah. Besok Ayah kerja dulu. iNan
"Apa Ilyas selingkuh?" lagi-lagi, mereka kompak bertanya."Ayah, jahat, Mbah. Ayah sudah menikah diam-diam. Ayah sakitin, Mamah, dan Awa."Tangisan Zahwa begitu menyayat hati. Aku tak tega mendengarnya. Air mata mengalir bak banjir bandang. "Tenang, cucu Mbah. Keluarkan kekesalan, kamu, Ndok. Lalu jelaskan pelan-pelan sama Mbah. Biar Mbah Uti dan Mbah Kakung paham," ucap Ibu Nia berpindah posisi di samping Zahwa. Kemudian, mengelus halus pundaknya."Mbah, harus kasih Ayah pelajaran. Biar kapok. Ayah lebih milih nenek gayung dibandingkan Awa dan Mamah, hiks, hiks."Dadaku sesak. Perkataan Zahwa bagai ribuan peluru yang menghujam jantung dan tengkorak kepala. Nyeri tak terkira. Sekuat apapun anakku, dia hanya seorang anak remaja yang belum siap menerima kenyataan pahit ini."Coba ceritakan dengan jelas semuanya, Awa."Bapak Mertua mulai menampakan raut geram. Tangannya mengepal kuat. Dia pasti terbakar emosi. Mengetahui kelakuan buruk putranya. Zahwa melepaskan diri dari pelukan kakek
POV IlyasAda yang aneh dari Ela dan Zahwa. Tak biasanya mereka pergi mendadak ke Surabaya. Aku berusaha menepis firasat buruk yang hadir. Mencoba tetap berpikir positif, dan lebih baik memanfaatkan keadaan. Waktunya aku bersenang-senang dengan istri muda. Ada untungnya juga, Ela berlibur ke Surabaya. Aku punya kesempatan bermesraan lebih lama, bersama pujaan hati."Kapan Mas bakal mengakui aku sebagai istri?" tanya Nadia. Kami sedang tidur bersama di rumahku. Nadia yang ingin tidur di sini. Dia takut sendirian di apartemennya."Tunggu Mas, mendapatkan harta Bapak. Baru kita bebas.""Kapan? menunggu bapakmu mati?""Dek, jangan bicara seperti itu.""Lagian, Mas ngeselin. PHP terus sama aku.""Bukan PHP, kamu tentu tahu alasannya.""Ya sudah, beliin aku rumah besar kaya si Ela.""Sabar, Mas belum bisa ngumpulin uang. Nunggu dapet bonus Lagi. Uang penjualan rumah kamu, kenapa gak di pake dulu, nanti Mas tambahin.""Gak mau. Ngapain aku punya suami, kalau rumah aja beli pake duit sendiri.
"Pak, Bu, buka pintunya." Dini hari menjelang subuh, aku sampai di Surabaya. Beruntung masih ada penerbangan malam hari. Setelah menyusun rencana dengan Nadia, aku segera melakukan perjalanan menuju rumah Bapak.Ela sudah berbuat licik. Maka, aku akan bertindak demikian. Perlakuannya yang semena-mena tak bisa dibiarkan. Aku baru sadar, Ela bukan perempuan biasa. Dia pintar memanipulasi keadaan."Ayah ....""Zahwa, maafkan Ayah, Nak." Aku peluk putriku. Supaya dia ikut bersimpati. Agar aktingku lebih meyakinkan.Maafkan Ayah, Nak. Perasaan ini begitu rumit. Ayah menyayangimu, tapi tidak dengan Mamahmu. Cinta tak bisa dipaksakan. Kadang membuat orang yang merasakan, harus egois dalam mengambil tindakan. Begitulah posisi Ayah sekarang."Ih, peluk-peluk segala. Mana bau apek lagi. Ayah kaya drama India, aja. Lagian, ngapain ke sini? Mbah uti dan Mbah Kakung, gumoh alias eneg liat Ayah.""Ayah mau memperbaiki semuanya, Nak. Ayok, kita masuk.""Halah, jambu, yah.""Jambu?""Janjimu, janji
POV Ela"Tapi apa, La? pikirkan baik-baik. Kebahagian anak adalah hal yang utama. Jangan mengandalkan ego," ceramah Ibu mertua. Cukup nyelekit di hati. Kenapa aku yang dia ceramahin? harusnya anaknya sendiri. Ayah yang sudah menyakiti istri dan anaknya. Aku ragu dia tulus. Pasti ada udang dibalik rengginang."Tapi, Zahwa tak akan mengizinkan, Bu. Perselingkuhan Ayahnya, yang dia saksikan di depan mata. Pasti membuat trauma tersendiri. Percuma toh, rumah tangga ini dilanjutkan. Belum tentu Mas Ilyas tulus. Yang ada, malah menambah luka batin buat aku dan Zahwa," cerocosku tak mau kalah."Soal Zahwa, kamu harus kasih dia pengertian. Ibu lihat, dia mulai lancang sama Ayahnya sendiri. Kamu harus mendidiknya dengan baik. Jangan gitu, Ndok."Ya ampun, pantas saja calon mantan suamiku, punya sikap egois yang tinggi. Ternyata, ibunya juga demikian. Tak mau tahu siapa yang salah. Seenaknya melempar bola panas. Tanpa intropeksi diri."Hehehe, Maklum Bu. Ayahnya aja eror. Ela sebagai istri 'kan