Sean tak henti-hentinya menghela nafas saat mematut diri di depan cermin. Dia sedang kesal. Kesal sekali. Mengapa demikian? Berniat menampilkan diri sebagai sosok pria jorok yang tidak tahu cara berpakaian dengan benar, malah membuatnya terlihat semakin tampan dengan hanya mengenakan kaos biasa beserta celana pendek. Terlalu jauh dari prediksi yang dia bayangkan.
"Heran. Di bagian mana Tuhan meletakkan kekuranganku ya? Kukira dengan memakai stelan seperti ini akan membuatku terlihat seperti gembel. Kenapa ketampananku malah bertambah semakin bersinar saja?" ujar Sean terheran-heran sendiri. Tangannya kemudian bergerak mengusap deretan roti sobek di perutnya. "Perfect!"
Tok tok tok
Pintu kamar diketuk dari luar. Hal itu membuat Sean berdecak kuat. Wanita itu pasti sudah datang. Menyebalkan.
"Sean, Ibu tahu kau ada di dalam. Cepat keluar. Tamunya sudah datang!" teriak Safina dari luar pintu
Pandangan Anneth dan Sean saling beradu. Mereka sama-sama tak percaya dengan apa yang terjadi sekarang. Terlalu mengejutkan."Ann, apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Sean sambil menatap seksama ke arah wanita seksi yang juga tengah menatapnya. Seketika tenggorokan terasa kering. Bukan karena kaget, melainkan karena gairah melihat punggung Anneth yang terekspos dengan begitu nyata."Kau itu yang kenapa bisa ada di sini!" sahut Anneth sembari berdiri dari duduknya. Meski berjarak, posisinya sekarang tengah berhadap-hadapan dengan Sean."Ini rumahku.""A-APA??!"(B-bagaimana bisa? Pria mesum ini ... jangan bilang dia adalah pria yang akan dijodohkan denganku. Ya Tuhan, garis takdir macam apa yang telah kau buat? Kenapa harus dia?)"Anneth, Sean. Kalian saling kenal?" tanya Safina bingung melihat reaksi kedua orang di hadapannya.
Anneth hanya bisa tertunduk diam saat Sean mengajaknya keluar menemui keluarga mereka. Pikirannya campur aduk. Antara malu, marah, juga jijik terhadap diri sendiri. Bagaimana bisa dirinya terbuai akan sentuhan Sean yang dilakukan secara paksa? Apakah dia seorang j*lang yang rindu belaian setelah sekian tahun tak menjalin hubungan? Miris."Honey, kenapa diam saja. Bicaralah. Katakan sesuatu yang berhubungan dengan kita," ucap Sean sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Anneth. Posisi mereka tengah berada di dalam lift sekarang."Apa gunanya aku bicara. Toh itu tidak akan merubah keputusanmu," sahut Anneth pelan. Dia masih enggan mengangkat kepala. Terlalu malas untuknya bertatap mata dengan pria yang telah membuatnya merasa jijik."Kau marah?"Tak ada jawaban. Sean lalu menghela nafas. Agak heran dia melihat sikap Anneth yang masih begitu dingin meski mereka baru saja me
"A-APA??? Sean??!"Anneth menarik nafas panjang. "Bisa kecilkan suaramu tidak? Di sini bukan hutan, tapi kantor. Seperti tarzan saja kau!"Sofia meringis. Dia kembali duduk setelah disindir mirip tarzan yang suka berteriak di hutan. Sambil menatap Anneth yang terlihat kesal, Sofia berdehem pelan. "Ekhmmmm. Ann, kau tidak salah mengenali orang, kan?""Jadi menurutmu aku ini buta?""Bukan begitu, astaga. Maksudku kau yakin kalau pria itu adalah Sean?""Kalau bukan dia lalu siapa? Tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia yang serupa lengkap dengan kelakuan mesumnya selain Sean." Anneth menekan pinggiran kepalanya, menyandarkan badan ke sofa kemudian menatap langit-langit ruangan. "Aku tak pernah menyangka kalau laki-laki yang ingin dijodohkan denganku adalah dia. Fakta ini membuatku seperti sedang terjebak di dunia mimpi. Sulit untuk dipercaya.""Lalu rencanamu a
Anneth mendesah tertahan ketika Sean menghisap kuat kulit lehernya. Posisi mereka cukup intim di mana Anneth benar-benar duduk tepat di atas gundukan junior milik Sean."Ahhhhhhh," ....(So seksi .... )"Lepaskan saja, Hon. Jangan ditahan," bisik Sean sambil menelan ludah. Dia hampir gila hanya dengan mendengar suara desahan Anneth. Kelewat seksi, membuat tubuhnya seperti terbang melayang. "Kau seperti heroin, Hon. Suara desahanmu membuatku candu. Bagaimana ini?""K-kalau begitu hentikan," sahut Anneth setengah berbisik. Sayangnya respon tubuh tidak sesuai dengan kata yang terucap keluar. Bibir berkata agar berhenti, tapi tangan masih melingkar di leher pria yang tengah membuatnya terbuai sentuhan."No, tidak akan. Aku suka menjadi gila. Begitu juga dengan dirimu. Kau ingin sentuhan yang lebih dari ini, bukan?""Jangan gila, Sean. Ini
"Mau sampai kapan kau menggangguku?" tanya Oliver. Dia tak henti menghela nafas panjang sambil menatap pria aneh yang sedang duduk di hadapannya. "Ini sudah hampir satu jam, Sean. Apa maumu sebenarnya?"Sean masih enggan membuka mulut. Pikirannya jauh menerawang. Menerka gerangan apa yang membuat calon istrinya menggumamkan kata penuh amarah saat mereka tidur bersama."Ayolah, Arsean. Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak terbebani dengan pekerjaan. Aku bisa gagal menikahi Sofia kalau kau menghambat waktu kerjaku. Tolonglah. Ya?""Siapa orangnya?""Hah?""Siapa orang yang telah lancang menyakiti calon istriku hingga meninggalkan luka mendalam di hatinya?" ucap Sean. Sedetik setelah itu dia mengusap dagu bawahnya, masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak mungkin Anneth pernah menjadi korban pelecehan. Aset-aset di tubuhnya masih begitu kencang dan juga kenyal. A
Ding dongSuara bel mengalihkan perhatian Anneth yang tengah asik dengan pekerjaannya. Dia menoleh, menatap sekilas ke arah pintu apartemen. Dari reaksinya, dia seperti enggan membukakan pintu untuk orang yang datang berkunjung. Mungkin orang salah kamar. Biasalah, mabuk.Ding dongSuara bel kembali terdengar saat Anneth tak kunjung membuka pintu. Sepertinya tamu yang datang begitu gigih ingin agar mereka bertemu. Karena setiap kali Anneth abaikan, orang tersebut akan kembali menekan bel. Hal ini tentu saja membuat si pemilik kamar menjadi kesal. Anneth meletakkan pena ke atas meja lalu mendengus kasar."Manusia mana yang tidak tahu diri bertamu di jam sepuluh malam? Heran!" gerutu Anneth sembari beranjak dari duduknya. Penampilannya cukup sederhana dengan hanya memakai kaos kebesaran disertai dengan hotpants pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuncir kuda. Tak lupa
"Boleh bergabung, Nona?"Sebuah suara membuyarkan lamunan Anneth, wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang sedang duduk sendirian di sebuah cafe. Dia acuh, enggan merespon seseorang yang meminta izin untuk duduk di meja yang sama dengannya. "Kopi baru bisa dinikmati setelah diseduh dengan air panas. Akan tetapi kenapa kopi satu ini terasa dingin sekali ya? Padahal uap panasnya masih terlihat. Aneh," ucap Sean seraya mengulum senyum. (Menarik. Aku suka wanita cuek dan dingin seperti Nona ini. Biasanya mereka akan sangat ganas jika sudah naik ke atas ranjang. Hmmm.) "Duduklah jika ingin. Pergi jika hanya untuk membual. Aku benci bicara dengan orang asing!"Tatapan Anneth tertuju pada pria yang dengan tidak tahu malunya langsung duduk begitu dia membuka suara. Pria penggoda, itu kesan yang Anneth tangkap saat ini. Dan itu sangat menjijikkan. "Sean!"Arsean Sinclair, pria dengan usia matang yang kini genap berumur tiga puluh empat tahun. Sejak usia belasan dia telah menetap di luar
Tok tok tokAnneth membuang nafas kasar. Kesal karena ada yang mengganggunya. Sambil melepas kaca mata yang bertengger di mata, dia mempersilahkan si pengganggu untuk masuk ke dalam ruangan. Ceklek"Apa aku mengganggu?" tanya Sofia seraya menampilkan cengiran khas di bibir. Dan cengirannya bertambah semakin lebar saat di empunya ruangan menatapnya dengan pandangan tajam. Sudah biasa. "Kalau tidak penting sebaiknya kau pergi saja dari sini. Dasar pengganggu!" omel Anneth ketika Sofia, sahabatnya, berlenggak-lenggok dengan tampang yang sangat menyebalkan masuk ke dalam ruangan. Sebelah alisnya terangkat ke atas saat Sofia dengan santainya duduk di pinggiran meja sambil bersilang kaki. "Sudah bosan punya kaki? Iya?""Ck, ayolah, Ann. Jangan segalak ini pada sahabatmu sendiri. Aku bukan musuhmu. Okey?" sahut Sofia sambil memutar bola matanya. Jengah. "Kalau memang benar kau adalah sahabatku lalu kemana perginya sahabat itu ketika aku sedang membutuhkan?"Sofia meringis. Kini dia tahu p