Pukul tujuh pagi, aku baru keluar kamar. Perjalanan yang jauh membuatku kelelahan. Ditambah mengetahui fakta kalau suamiku berselingkuh. Parahnya selingkuhannya adalah orang yang selama ini kuanggap sebagai sahabat. Semakin bertambah lelah yang kurasakan. Lelah hati, lelah pikiran, lelah badan.
Melewati ruang tamu, samar-samar kudengar suara orang yang tengah berbincang.“Tapi, Mas ... sampai kapan kita kayak gini? Aku gak mau, aku gak mau terus menerus pisah denganmu! Aku ingin satu rumah sama kamu! Kamu lihat, Mas ... aku lagi mengandung anakmu! Apa kamu tidak cemasin aku, heuh?”Kupejamkan kedua mata mendengar pengakuan Vera, yang tak lain sahabatku sendiri. Sahabat yang kini berubah menjadi pengkhianat. Menghela napas panjang, berusaha menetralisir perasaan kecewa dan sakit hati. Aku harus kuat, harus kuat menghadapi dua manusia tidak berguna itu. Kalau memang Vera ingin satu rumah dengan Bang Dino, aku akan mengabulkannya.Memundurkan badan, agar terkesan tidak mendengar percakapan mereka.“Baaaangg ... Abang ... Kamu di mana, Bang?” panggilku setengah berteriak.Berjalan kembali ke depan, membuka pintu. Bang Dino dan Vera tersentak melihat kedatanganku. Aku bersidekap, tersenyum semanis mungkin.“Pagi-pagi ada tamu rupanya? Ada apa, Ver? Kamu mau pinjam uang? Kalau mau pinjam uang, langsung ke aku, ya? Soalnya sekarang ... keuangan aku yang pegang. Mau pinjam berapa?” tanyaku pura-pura terlihat bodoh di hadapan mereka. Pura-pura tidak tahu tentang hubungan laknat dua manusia itu.Vera membuang muka, terlihat sangat canggung.“Sayang, Vera ke sini cuma minta tolong pasangin gas aja bukan mau pinjam uang.”Ck, dasar tukang bohong. Aku kembali tersenyum, mendekati Vera.“Memangnya kenapa kalau kamu sendiri yang pasang gas? takut meleduk?”“Iya,” sahutnya memalingkan muka, seolah enggan menatapku."Kalau begitu, aku juga gak akan izinin Bang Dino pasangin gas di rumahmu. Ya aku takut kalau gas-nya meleduk, terus Bang Dino mati! Ish, Ngeri! Mending kamu aja yang masangin gas, biar kalau gas nya meleduk, kamu yang mati!”Kedua mata Vera melotot, menatapku dengan sorot kebencian. Aku tersenyum puas melihat kemarahan dari raut wajahnya.“Kamu jahat sekali, Reni!”“Lho, jahat apanya? Aku ...peduli sama Bang Dino. Aku gak mau dong, gara-gara nolongin kamu masangin gas, terus gas-nya meleduk, terus bang Dino mati. gak lucu kan, mati gara-gara masangin gas di rumah istri orang? Jahat itu ... Kalau kamu punya niat, pura-pura minta tolong pasangin gas eh gak tahunya gatel sama Bang Dino. Nah itu baru jahaaatt ... Aku kan cuma takut Bang Dino mati!”Aku semakin sengaja membuat Vera emosi.“Sayang udah dong, kok ngomongnya jadi mati-mati mulu. Abang ... abang Cuma sebentar aja kok masangin gas-nya. Kamu tunggu sebentar, ya?”“Gak mau, Bang! Aku bilang, Abang jangan ke rumah dia!” kataku tegas. Biarlah, terkesan aku bucin banget sama si Dinosaurus. Mau bagaimana lagi, sementara waktu aku harus melakukan rencana ini dulu.“Tapi, Sayang ... Vera lagi hamil. Vera juga kan sahabat kamu.”Dasar tukang bohong! Tukang selingkuh! Masih saja mencari kesempatan di dalam kesempitan. Pandanganku beralih pada Vera yang berdiri agak kepanasan di bawah teras rumahku.“Kapan suami kamu pulang?”“Gak tahu,” jawab Vera, suaranya terdengar acuh.Menarik napas panjang, menghadapi wanita tidak punya urat malu yang berdiri di depanku.“Okelah. Supaya suamiku gak mondar-mandir ke rumahmu, selama suami kamu belum pulang, kamu boleh tinggal di rumahku!”Vera dan Bang Dino melongo, mereka menatapku lekat, mulutnya menganga lebar.“Kamu serius, Ren?” tanya Bang Dino.“Ah, kamu pasti Cuma nge-prank,” kata si Vera tak percaya.Aku tersenyum melihat keduanya.“Tidak. Aku tidak nge-prank atau bercanda. Aku serius mengizinkan si Verek tinggal di rumah ini.” Sengaja, aku menyebut namanya Verek. Nyatanya dia memang seperti itu. Sebenarnya aku sangat muak melihat mereka berdua tapi demi rencana yang telah disusun, aku harus bersabar dan membuat mereka jera terlebih dahulu.Bang Dino dan Vera masih melongo, aku berdehem dan melanjutkan ucapan.“Tapi ada syaratnya. Ada syarat yang harus kamu penuhi selama tinggal di rumahku!”Vera dan Bang Dino mengerutkan kening.“Syarat apa, Sayang?”Duh, kalau bukan karena ingin memberi mereka pelajaran, ingin sekali kubungkam mulut Dinosaurus itu agar tidak memanggilku ‘Sayang’ lagi.“Syarat dia boleh tinggal di rumahku.”“Apa syaratnya, Ren?”Vera menyela, seolah tidak sabar ingin tinggal di rumahku. Lihat saja, Vera. Permainan baru aku mulai. Kamu siap-siap saja.“Gak sulit, gak ribet.”“Iya, apa? Apa syaratnya?” tuntut Vera, mengelus perutnya yang aku prediksi sudah menginjak enam bulan. Kasihan sekali anak yang dikandungnya, harus memiliki orang tua yang licik dan picik seperti Bang Dino dan Vera. Semalam aku baru sadar, kalau bantuan Vera dulu merupakan rencana mereka berdua untuk menyingkirkanku. Vera sengaja membantuku agar mudah menjadi TKW.“Syaratnya hanya satu. Kamu ... kamu harus mengikuti segala apa yang aku perintahkan! Hanya nurut sama aku! Bagaimana? Kalau kamu keberatan, silakan pulang. Aku dan Bang Dino mau kangen-kangenan.”Amit-amit ... aslinya aku muak sekali pada lelaki sok kegantengan itu. Lelaki yang sok bijak, sok setia, padahal lelaki buaya berwujud Dinosaurus.“Baiklah, aku mau mengikuti syaratmu. Tapi, mulai hari ini kan aku tinggal di rumahmu?”Benar dugaanku, dia pasti sangat antusias tinggal satu atap dengan kami. Dari kemarin, ingin sekali menjambak rambutnya sampai rontok. Apalah daya, lagi-lagi aku harus bersabar dan menahan diri.“Iya. Detik ini juga, kamu bisa langsung tinggal di rumahku. Ayok, masuk! Kamu pasti capek dan kepanasan kan, berdiri di situ! Uuh ... aku pikir, setelah bertahun-tahun gak ketemu sama kamu, kamu semakin cantik, Ver. Ternyata ... makin kusam, makin ... ck, berantakan. Udah kayak emak-emak banget kamu apalagi pake daster gitu. Kasihan banget yang jadi suamimu, pasti muak melihat istrinya kucel kayak kamu. Jerawatan lagi! Kamu gak ngurus diri banget sih, Ver? Apa karena gak punya uang, ya?”Aku terus menyindirnya tapi kenyataannya memang begitu. Dulu, sebelum aku pergi keluar negeri, wajah Vera sangat glowing dan wangi parfum. Entah kenapa, penampilannya sekarang persis sekali emak-emak yang punya anak banyak.“Sayang, Vera gak make-up karena dia hamil. katanya, kalau dia pake make up, mukanya jadi banyak jerawat. Itu sekarang jerawatnya udah agak mendingan. Waktu awal-awal dia hamil, jerawatnya banyak banget. Sampe aku aja lihatnya jijik!”Nah lho! Bang Dino akhirnya keceplosan. Kulihat Vera melotot, menarik lengan Bang Dino. Tapi, aku pura-pura gak lihat. Tetap berjalan anggun ke dalam rumah. Setelah di ruang keluarga, aku berhenti, mengintip mereka dari dinding pembatas."Tadi kamu bilang apa, Mas? Jijik sama aku? Kalau jijik, kenapa tiap malam nyentuh aku terus?” Vera memukul Dinosaurus dengan brutal.‘Halah, bodo amat! Ngapain juga, aku ngintip mereka? Lebih baik nonton tivi.’Aku duduk santai di atas sofa depan televisi. Lalu berteriak,“Veraaaa ... Veraaaa ... cepetan ke siniii ... tolong buatin aku Jus Alpukaat! Veraaa ... Aku hauuuss ... Veraaaa ... Bang Dinooo ....”“Iya, aku buatin Jus Alpukat sekarang. Sebentar ya?”“Kenapa, Sayang? Apa perlu sesuatu?”“Abang katanya mau nge-cat kamarku! Beli cat-nya sekarang gih! Nih duitnya!”“Ren, ini minumannya.” Vera meletakkan segelas jus. “Terima kasih. Vera, kamu gak pulang dulu ambil pakaian?” “Nanti saja. Aku mau istirahat dulu. Semalam gak bisa tidur nyenyak. Di kontrakan banyak nyamuk.” Hem, banyak gaya! Banyak nyamuk jadi keluhan. “Oh ya, Ver. Kamu masak gih! Nih, uangnya. Kamu beli sayuran di warung. Di seberang sana, tadi aku lihat ada warung sayur.” Kuberikan uang lima puluh ribu. Vera melihat selembar uang itu dengan lekat. “Gak salah, duitnya cuma segini?” “Ya gak lah ... udah, pokoknya kamu cukup-cukupin aja.” Bibir Vera mengerucut. Dia pasti kesal aku kasih uang segitu. Ah, bodo amat. Aku yakin, selama ini Vera juga menikmati uang hasil keringatku yang dikirim ke rekening Bang Dino. Sekarang saatnya aku balaskan semua perbuatan kalian berdua. “Pelit banget sih kamu, Ren!” Menoleh cepat, memicingkan kedua mata. Aku berdiri, mensejajari tubuhnya. “Kamu bilang apa? Aku pelit?" tantangku, menatapnya lekat. Wanita tidak tahu diri! Tidak tahu terima k
Kulihat Vera salah tingkah. Paling suka lihat dia kayak gitu. Sahabat pengkhianat! Pantas saja dulu dia semangat sekali membantuku kerja di luar negeri. Ternyata ada udang dibalik batu! “Fo-fotonya gak ada, Ren. Mas Dito gak suka difoto!” Hem, alesan! Mana mungkin zaman sekarang ada orang yang gak suka difoto. “Oh gitu. Ya sudah, kamu terusin masaknya. Kalau sudah matang, panggil aku. Aku mau lihat Bang Dino nge-cat dulu.” Berjalan meninggalkan Vera yang masih salah tingkah, menghampiri lelaki yang mengaduk-aduk cat. “Bang?” Panggilku, duduk di sofa. “Iya, Sayang?” jawabnya sok mesra. Memutar bola mata malas, mendengar panggilan ‘Sayang’ dari mulut penuh kebohongan itu. Tapi, aku juga ingin menguji Dinosaurus. “Nama suaminya si Vera siapa, Bang?” Bang Dino menghentikan tangannya yang mengaduk-aduk cat. Tampak berpikir. “Su-suami Vera?” “Iya. Abang tahu kan, nama suami dia siapa?” Mampus lu! Pasti mereka belum sempat berkompromi masalah ini. Kutunjukan ekspresi wajah penasara
“Reni, masakannya sudah siap tuh!”Aku dan Bang Dino menoleh ke asal suara. Vera berdiri di ambang pintu sambil mengelus perutnya."Oh udah matang? Bang, kita makan dulu yuk!” Bang Dino langsung sumringah. Dia tidak tahu saja kalau aku merencanakan sesuatu. Kulirik Vera, bibirnya mengerucut. Kentara sekali kalau dia sedang cemburu melihat aku dan Bang Dino berada di dalam satu kamar.“Boleh. Abang juga kangen pengen makan bareng kamu,” balas Bang Dino mendekatiku.Vera menghentakkan kedua kaki, pergi meninggalkan kami.Aku dan Bang Dino berjalan beriringan. Lelaki itu sempat ingin merangkul pundakku, dengan lembut aku menepisnya. Sungguh, aku tidak mau disentuh lagi.Di ruang meja makan, sudah tersaji sayur sop jamur, goreng tempe dan goreng tahu. Aku dan Bang Dino duduk bersebelahan. “Vera, maaf dong! Ambilkan nasinya!” titahku mengangkat piring, menyerahkan padanya. Meski bibir Vera merengut, tetapi tetap mau mengambil piring yang kusodorkan. Mengambil secantong nasi, tempe dan jug
“Bang, kenapa Abang menampar Vera?” Aku berdiri, terkejut melihat Bang Dino menampar sebelah pipi Vera.Bukan aku tidak suka sikap Bang Dino, tapi ... tidak menyangka saja kalau Bang Dino sampai menamparnya. Padahal tujuanku ingin mereka bertengkar saja.“Dia udah menghina Abang, Ren. Abang gak terima!”Bang Dino pergi meninggalkanku dan Vera. “Vera, sakit, ya?” tanyaku meringis, pura-pura peduli keadaannya. Telapak tangan Bang Dino sampai tercetak di pipi Vera.“Sakit banget, Ren. Aku gak nyangka kalau Mas Dino tega menamparku!”Air mata Vera membasahi pipinya. Aku menghela napas panjang, mengambilkan segelas air minum.“Minum dulu.”“Makasih, Ren.” Vera dan aku duduk di kursi meja makan. Kasihan sekali dia. Selama aku menjadi istri Bang Dino, satu kali pun ia tak pernah berbuat kasar, hanya menghinaku saja.“Vera, aku minta maaf, ya? Bang Dino memang gak suka direndahkan sama wanita,” kataku menenangkan Vera. Ternyata Tuhan Maha Adil. Mereka sekarang mungkin sudah mulai membenci.
“Bu, aku menampar Vera karena dia telah menghinaku? merendahkanku, Bu!"Jelas saja, Bang Dino tidak terima. Sambil berjongkok, aku terus menguping pembicaraan mereka.“Kalau kamu dihina, ya hina balik! Bukan ditampar!” timpal ibu sengit. Aku menggelengkan kepala. Kucoba melihat raut wajah mereka masing-masih. Vera tersenyum licik. Dia pasti bahagia mendapat pembelaan dari Ibu mertua.Bang Dino memalingkan wajah, memegang sebelah pipinya. “Sekarang kita bahas masalah si Reni. Ibu gak mau ada dia di rumah ini! Kalian berdua harus bisa mengusir perempuan mandul itu!”Enak saja mereka mau mengusirku! Aku gak mau mengulur waktu lagi. Sertifikat rumah dan tanah harus segera kualihkan namanya menjadi atas namaku. Dulu, aku terlalu percaya bujuk rayu Bang Dino, mengiyakan saja usulannya ketika dia ingin rumah dan tanah atas nama Dino Saturus. Sudahlah, percuma menyesal juga. Sekarang yang harus aku lakukan, mengganti nama kepemilikan, menggugat cerai Bang Dino, dan mengusir mereka.“Iya, Bu
Kudorong bahu Vera agar menjauh dari depan pintu kamar. “Eh, kamu jangan kurang ajar, Reni! Jaga sikapmu!” Beuh, lagi-lagi Ibu mertua membela Vera. Mungkin bagi Ibu Dewi, Vera adalah menantu idaman. Aku sudah terbiasa diabaikan, apalagi jika berkumpul dengan kedua kakak Bang Dino, Bang Doni dan Bang Dodi, keberadaanku sangat tidak dianggap. Ibu lebih senang mengajak dua menantunya yakni Mbak Sarah dan Mbak Tina untuk berbincang. Tak kuhiraukan bentakan Ibu Dewi, memilih masuk ke dalam kamar dan membanting pintu, menguncinya.“Astaga, Sayang! Abang sampe kaget. Kamu kenapa?” tanya Bang Dino menoleh ke belakang. Bajuku yang agak basah karena sewaktu di dapur membasuh wajah, langsung mengambil pakaian ganti setelah meletakkan segelas jus Mangga. “Aku kesal sama Ibu dan si Vera, Bang! Masa dia bentak-bentak aku gak jelas! ngatain Bang Dino gak punya sopan santun karena ninggalin mereka dan memilih diam di kamar bersamaku!” Lebih baik aku adukan saja sikap Ibu dan Vera. Bang Dino menat
“Kurang ajar!!”“Stop, Vera!” Wow, Bang Dino mencekal pergelangan tangan Vera. Tangan Vera yang hendak menamparku. Cekalan yang kuat membuat si Vera meringis kesakitan. “Lepasin, Bang! Lepasin! Dia sudah keterlaluan! Dia nuduh aku punya suami dua! Padahal suami aku cuma ka---“Mulut Vera langsung dibekap Bang Dino. Kedua matanya melotot.“Aku dan Reni gak peduli siapa suami kamu! Lebih baik kamu diam saja! Jangan mencoba menampar istriku!” Bang Dino terlihat sangat geram. Melihat pembelaan Bang Dino, hatiku tak lantas tersentuh. Mungkin Bang Dino bersikap demikian karena dia sudah dihina Vera. Aku tahu betul sikapnya, Bang Dino paling tak suka ada wanita yang merendahkannya apalagi wanita itu adalah istri sendiri."Dino, lepaskan Vera! Dia lagi hamil besar, Dino! Lepaskan!”Ibu Dewi berusaha melepaskan tangan Bang Dino dari mulut Vera. “Sudahlah, aku malas menghadapi kalian. Bang, berangkat yuk! Jangan lupa, kamar Abang dikunci soalnya ... aku gak mau, ada barang berharga yang hila
“Dino, Reni! Dari mana saja kalian? Jam segini baru pulang!”Lho kok, Ibu mertuaku masih ada di rumah? Duh, pasti karena belum dapat jatah bulanan, makanya Ibu masih ada di rumahku. Wanita itu berjalan ke arah kami.“Mereka habis belanja, Bu.” Vera menjawab, menoleh sinis padaku.“Belanja? Kalian habis belanja?” Kedua mata Ibu Dewi melotot padaku dan Bang Dino. Aku menghela napas berat, membalas tatapannya.“Kalau aku habis belanja memangnya kenapa? belanja juga pake uang aku!” tandasku hendak beranjak, malas meladeni ocehan Ibu.“Eh, kamu mau kemana? Ibu belum selesai bicara!” tukas Ibu. Aku kembali duduk, ibu duduk di sofa satunya bersama Vera. “Kamu dibeliin apa itu, Ver?” tanya Ibu melongok ke dalam isi goodie bag yang dipegang Vera.“Daster doang, Bu! Cuma dua!” jawab Vera acuh tak acuh.“Reni, kamu beliin si Vera daster, ibu mertua sendiri gak dibeliin apa-apa? Gimana sih? Dasar menantu pelit!”Belum apa-apa udah menghakimi.“Memangnya aku tahu kalau Ibu belum pulang? Kalau Ibu