Kala teringat akan perkataan Heru tentang dia yang mendapatkan perintah dari Aditama untuk mencari tahu orang dalam yang diduga telah membocorkan mengenai tempat rahasia milik Laksana Gandara, Edwin langsung merasa was-was. Tentu ia ada dibalik serangan mendadak itu. Tanpa diminta, sudah pasti ia akan turut serta dalam perintah tuan muda keluarga Gandara. Tentu ia harus bersikap sebagaimana mestinya. Merasa sedikit cemas, Edwin yang saat ini berada di dalam mobil jeep sedang menunggu anak buahnya, memilih merogoh saku jaket dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Selama sesaat, jari jemarinya berkutat pada layar ponsel, lalu menempelkanya di telinga, menunggu seseorang yang sedang dihubunginya mengangkat panggilanya. "Hallo Om Robert ... keluarga Gandara menduga jika ada orang dalam yang membocorkan mengenai tempat rahasia milik Tuan Laksana Gandara." Jelas Edwin begitu panggilan terhubung. "Serius kau, Win? Laksana menduga hal demikian?" tanya orang di sebrang sana yang ta
"Aku mengerti kok, Van mengapa kalian berdua melakukan hal demikian padaku." sergah Bella menyela perkataan Vania. Mendengar ucapan sang kakak sepupu, tatapan Vania berubah sayu. "Terima kasih, Kak Bella ... karena Kak Bella sudah mau mengerti." Balas Vania yang dijawab anggukan kepala oleh Bella. Di saat ini, Vania mengerjap kala teringat sesuatu. Terdiam sebentar, lalu memperbaiki posisi duduk lebih dulu. Dia kemudian berkata, "Oh ya, Kak Bella ... aku ingin memberitahu Kak Bella jika sekarang aku sudah tidak tinggal di apartemen lagi." Mendengar hal itu, Bella terkejut. Mencerna dalam sepersekian detik, lalu keningnya berkerut. "Bukanya unit apartemen itu sudah dibeli oleh kalian berdua? Sudah menjadi milik kalian berdua sekarang?" tanya Bella dengan hati-hati. Hendak memastikan. Vania tersenyum. "Itu memang benar, Kak. Tapi kedua orang tuanya Aditama menginginkan aku dan Aditama tinggal bersamanya. Jadi, sekarang aku tinggal bersama dengan kedua mertuaku." Bella d
Tampak Mario duduk seorang diri di kursi sebuah cafe. Ia tengah menunggu Vanessa.Ia langsung mengajak wanita itu untuk bertemu guna membahas soal kebenaran Vanessa yang hamil anaknya atau bukan. Beberapa menit kemudian, Mario menangkap sosok wanita yang ia harapkan kedatanganya akhirnya muncul juga—tampak berjalan mendekat dengan mengulas senyum lebar. Akan tetapi, wajah Mario begitu masam. Kentara tak suka. Tiba di hadapan Mario, Vanessa menyapa, berbasa-basi—yang dibalas sikap dingin Mario—tapi wanita itu terlihat tak tersinggung, segera menjatuhkan diri di kursi depan Mario.Lalu, Mario menatap Vanessa tajam. "Langsung to the poin saja!" ucap Mario. Dia kemudian menambahkan. "Jangan coba macam-macam denganku kau, Vanessa ... aku adalah Mario ... putra Bastian, direktur perusahaan keluarga Hermanto!" "Aku bisa membuat hidupmu tak tenang ... membuatmu menderita!" ancam Mario dengan rahang mengeras dan wajah serius. Akan tetapi, wanita itu malah tergelak, seakan ancaman pria
"Dia sudah mengaku jika yang menyelundupkanya ke keluarga ini adalah Tuan Robert dan Tuan Andika, Tuan Muda." Jelas Heru sembari menggerakan dagu ke arah tukang pukul yang kini terduduk di lantai. Bersimpuh di hadapan Aditama. Akan tetapi, Aditama tidak menimpali perkataan Heru. Sibuk dengan pikiranya. Robert dan Andika benar-benar pengecut! Bermuka dua! Setelah berhasil menguasai diri, kemudian Aditama berjongkok di hadapan tukang pukul itu. "Angkat kepalamu!" titah Aditama dengan nada dingin dan eskpresi wajah datar. Dengan perasaan takut, gerakan patah-patah, tukang pukul itu akhirnya mengangkat muka dan balik menatap Aditama. "Yakin? Hanya Tuan Robert dan Andika saja? Tidak ada yang lain? Yang ... terlibat?" cecar Aditama dengan tajam. Tukang pukul itu terdiam. Terlihat kesusahan hendak menjawab. Tenggorokanya mendadak terasa kering. Serta sekujur tubuh yang gemetaran hebat. Sementara Edwin sedikit merasa was-was. Tuan Muda tidak boleh sampai mengurus tukang pu
Bella lalu menceritakan obrolan tadi bersama Vania, serta menyampaikan pesan Vania kepada kedua orang tuanya. "Vania menyuruh kita untuk tidak mencari masalah dan menyinggung Aditama lagi, Ma, Pa karena identitasnya itu ternyata tidak main-main." Jelas Bella penuh penekanan pada kalimatnya. "Jadi, aku mohon ... dengarkan apa kata Bella kali ini, Ma, Pa." Wajahnya tampak tegas. Akan tetapi, Bastian dan Susan masih terbengong. Tidak kunjung menjawab. Tengah mencerna perkataan Bella. Melihat kedua orang tuanya hanya diam, Bella menganggap mereka berdua sudah setuju.Setelah tersadar, Bastian buru-buru berujar, "Kamu tidak bertanya kepada Vania lebih jelasnya ... siapa Aditama itu sebenarnya, Bell?" tanya Bastian. Mendengar pertanyaan sang Ayah, Bella memasang wajah tak berdaya seraya menggeleng.Bastian dan Susan pun menghembuskan napas mendapati jawaban sang anak.Di saat ini, Susan berkata. "Seharusnya kamu tanya-tanya hal itu lebih dalam lagi, Bell." "Aku sudah mencecarny
Kalau begini caranya ... akan agak sulit untuk mencari tahu tentang kedua orang tuanya Aditama. Gumam Bastian dengan rahang mengeras sehabis menurunkan ponsel dari telinga. Namun tiba-tiba ia mengerjap kala teringat sesuatu. Ia teringat akan perkataan Bella tentang Vania yang katanya sudah pindah dari apartemen ke rumah kedua orang tuanya Aditama. Kala memikirkan hal itu, sebuah ide mendadak terlintas di benak. Terdiam sebentar, sebelum kemudian manggut-manggut. Walau ia tahu jika akan agak sulit untuk mencari tahu tentang kedua orang tuanya Aditama, tapi ia harus berhasil menemukanya. Dengan begitu, ia juga bisa memastikan semuanya, termasuk identitas Aditama yang kata Bella tidak main-main.Teringat hal itu, ia jadi teringat akan perkataan Bella yang lain. "Mulai saat ini ... kita harus bersikap baik kepada Aditama dan Vania, jangan pernah menyinggung mereka berdua lagi dan jangan pernah mencari masalah dengan mereka berdua lagi." "Karena pada saat kita mengetahui iden
"Tapi ... baru saja orang suruhan Papa memberi kabar jika ibunya Aditama ternyata sudah pindah, Ma ... sudah tidak tinggal di rumah kontraknya yang dulu dan hal itu ... jadi agak susah bagi Papa untuk mencari tahu." Ucap Bastian sambil berdecak, sesekali menatap sang istri. "Tapi, Papa tidak akan menyerah, Ma. Papa akan cari cara lain." Kata Bastian lagi yang dibalas anggukan kepala oleh Susan. Namun tiba-tiba Bastian mengerjap kala teringat sesuatu. Ia pun menghadap Susan lagi dan berkata. "Kita bisa beritahu soal hal ini kepada Ayah, Ma. Pasti, Ayah akan bertanya kepada Aditama dan Vania setelahnya." Usai mengatakan hal itu, sudut bibir Bastian terangkat membentuk senyuman penuh arti.Mendengar hal itu, Susan melebarkan matanya. Terdiam sebentar, lantas mangguk-mangguk. "Iya. Kenapa kita tidak bertahu saja soal hal itu kepada Ayah, Pa." Dia kemudian menambahkan. "Pasti jika Ayah atau pun Stephanie yang bertanya kepada mereka ... pasti mereka akan mengatakanya dengan jujur dan
"Bawa Vania ke hadapanku ... " pinta Edward dengan nada dingin, tatapanya lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah seseorang yang duduk di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Mario. Setelah keluar dari rumah sakit, Edward mengajak Mario ke dalam mobilnya untuk bicara empat mata. Sedangkan Vanessa pulang. Akan tetapi, wajah Mario begitu masam. Kentara jelas masih kesal. Tengah menahan amarah setelah mengetahui fakta bahwa ia adalah Ayah dari bayi yang sedang Vanessa kandung. Jelas hal tersebut tak membuatnya senang. Di sisi lain, ia juga merasa jengkel bukan main karena itu artinya ia akan menjadi benar-benar tunduk pada Edward. Mendengar permintaan sekaligus perintah Edward, Mario memandangnya remeh. Ia pun tergelak dan berkata, "Itu sangat mudah kulakukan." "Oh ya?" Edward baru menoleh menatap Mario dengan sebelah alis terangkat. "Awas saja jika kau sampai gagal melakukan hal itu, Mario." Mario berdecih, "Tidak akan gagal. Aku pasti akan berhasil membawa Vania k