Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Aku bangkit untuk membukanya tapi sungguh terkejut melihat siapa yang datang malam-malam.
"Mau apa kamu kesini, Mas? tanyaku dengan mata nyalang. Mas Doni hanya tersenyum saja tanpa menjawab pertanyaanku. Apa jangan-jangan dia sudah mendengar pembicaraan kami tadi tentang uangku? Alamat celaka diriku, batinku mengumpat. "Siapa Nduk yang datang?" tanya ibu tetiba sudah ada di belakangku. Aku tidak segera mempersilakan Mas Doni masuk dengan tangan masih memegang pintu yang terbuka separuh. "Mas Doni, Bu," jawabku malas. Dengan tak tau malu, Mas Doni mencium tangan ibu dengan ramah padahal aku tau dia hanya pura-pura baik. "Suruh masuk aja dia, biar jelas kita bicarakan!" pinta bapak dari dalam. Bapak pasti sudah tau siapa yang datang. Aku membuka pintu dengan ogahan, lalu melengos pergi dan duduk di sebelah bapak. Sedangkan ibu masih dengan ramah menyuruh suamiku lebih tepatnya akan menjadi mantan suami ke dalam. Mas Doni mencium tangan bapak seperti ibu tadi tapi sikap bapak lebih tegas ditunjuk dengan deheman. "Pak!" ujarnya agak segan. "Duduk!" titah bapak. Bapak menatap tajam lelaki yang baru masuk tadi, sedangkan ibu mengambil minum. Awalnya menyuruhku tapi aku malas, jadilah ibu yang mengalah ke dapur. "Minum, Don!" pinta ibu. "Iya, Bu!" sahut Mas Doni mengangguk. Di hadapan orang tuaku dia begitu sopan tapi diriku sudah seperti bulanan dibuatnya jika tinggal bersama. Mas Doni banyak menunduk, terkadang melirikku. Tapi aku pura-pura tak melihatnya, sungguh muak menatap tampang sok baik itu. Setelah semua duduk barulah bapak angkat bicara. "Amira sudah menceritakan semuanya pada kami kalo kamu sudah mengusir dia dari rumah. Itu ___" "Sebenarny bukan mengusir, Pak! Tapi Amira sendiri yang pergi," potong Mas Doni cepat. "Dengarkan bapak bicara dulu!" sentak bapak sedikit naik nadanya. Ya bapak memang tidak suka disela bila bicara. Lelaki yang masih suka di bawah ketiak ibunya itupun terdiam. Bapak menghela napas dan melanjutkan bicaranya. "Walaupun kamu bilang nggak mengusir tapi ini lebih parah karena tanpa kamu sadari sudah jatuh talak satu. Pamali bagi suami mengucapkan cerai baik disengaja atau tidak. Juga saat dalam keadaan marah atau becanda, makanya berhati-hatilah dengan lisanmu," tegur bapak dengan suara agak keras. "Maaf, Pak! Doni nggak sengaja karena Amira membuat Doni marah, Amira juga nggak patuh sebagai istri terus melawan," ucap Doni membela dirinya. Mulutku membentuk huruf O demi mendengar perkataan Mas Doni. Sampai sekarang dia tidak juga menyadari kesalahannya. "Bapak tanya, di mananya Amira nggak patuh? Pernahkah Amira melalaikan tugasnya melayanimu? Pernah dia menuntut uang banyak padamu?" "Sering, Pak! Amira sering nggak terima dikasih jatah belanja yang Doni beri. Amira bahkan selalu ngeluh kurang," kilah Mas Doni terus memojokku. "Kamu pikir 500 ribu itu cukup untuk sebulan, hah? Bapak ini yang laki-laki aja kebutuhan sendiri bisa segitu banyaknya, apalagi Amira yang harus mengurus kebutuhan kamu dan Nia. Belum lagi kebutuhan rumah dan yang lain," sergah bapak terus menyerang Mas Doni. Di sini aku hanya diam saja, biar bapak dan ibu yang membantuku bicara. Mas Doni pasti tidak bisa menyanggah bila berhadapan dengan cinta pertamaku itu. "Kata ibu, seorang istri harus bersyukur dan ikhlas menerima berapapun yang diberi suaminya juga harus pintar mengolah uang belanja. Jadi, Amira harus belajar dari ibu," ungkap Mas Doni bangga menceritakan ibunya. Betapa muak aku mendengarnya bicara tentang ibunya. Dia pikir mertua sebaik itu, nyatanya kelakuannya lebih buruk dariku. Bahkan mencuri uangku diam-diam itu sudah merupakan kejahatan yang bisa dilaporkan ke pihak berwajib. Mas Doni pikir, dengan menghancurkan ponselku bisa menghilangkan kejahatan ibunya. Selama cctv itu masih berfungsi, aku masih bisa merekam kejahatannya. Bahkan kartu dan memori card dari ponsel yang hancur itu sudah aku ambil sebelum melemparkan sisa kepingan benda pipih itu ke arahnya. "Doni, Doni, apa yang dibilang ibumu itu nggak sepenuhnya salah. Tapi, ingat ya ada tapinya kalo keadaan suami yang bisa mencukupi seperti kamu maka di sini yang salah itu kamu dan ibumu." Kali ini ibu yang bersuara mengeluarkan pendapatnya. Bagus, Bu maju terus! Sorakku dalam hati. "Moso' sama ibumu kamu kasih sejuta untuk diri sendiri tapi untuk Amira yang notabenenya juga untuk kebutuhanmu dan Nia cuma dikasih 500 ribu. Mikir pake otak kamu, untuk bayar listrik itu sebulan kena 100 ribu, belum utang warung 100 ribu, angsuran 50 ribu. Dengar-dengar ibumu juga suka meras uang Amira sebesar 100 ribu. Coba kamu jumlahkan semua berapa, hah? Sisanya tinggal 150 ribu itu untuk makan sebulan, cukup nggak?" tanya ibu dengan kesal. "Ibuku nggak meras, Amira sudah berbohong Bu! Kalo soal jatah belanja dia benar kalo Doni cuma kasih 500 ribu tapi soal ibu itu fitnah Amira aja," bantah Mas Doni masih kukuh membela ibunya. "Mas, kamu!" kataku marah menunjuknya. Braakkk!! Tiba-tiba bapak menggebrak meja karena mulai terjadi keributan. Kami semua kaget dan aku cepat-cepat bangun menuju kamar, syukurlah Nia tidak terbangun karena suara meja yang dipukul bapak tadi. Kembali aku menutup pintu kamar dan duduk semula. "Diam, semua!" pinta bapak sangar. Aku tau kemarahan bapak sudah di ubun-ubun. "Bagaimanapun kami menceritakan masalah ini, kamu sepertinya terus membantah apalagi tetap membenarkan perbuatan ibumu. Karena kamu sudah di sini jadi bapak mengatakan sekalian bahwa kamu sudah menjatuhkan talak satu pada Amira dan masih ada kesempatan rujuk. Jadi, dalam hal ini bapak ingin tanya kamu apakah kamu mau rujuk atau tetap menceraikan Amira?" tanya bapak tegas. "Pak, Amira nggak mau rujuk lagi!" rengekku memeluk lengan bapak. Lelaki bersahaja itu menepuk tanganku lembut tanda agar aku bersabar dulu. "Bagaimana, Doni?" tanya bapak sekali lagi. Terlihat Mas Doni melirikku dengan senyum, aku tidak tau arti senyum itu. Jarang-jarang juga dia mengembangkan bibirnya seperti itu bila di rumah. "Sebenarnya Doni nggak ingin bercerai, Pak! Walaupun Amira selalu mengeluh dan melawan tapi kedatangan Doni kesini ingin melihat apakah Amira baik-baik aja tanpa Doni. Ternyata selain baik aja, Amira bisa membantu keuangan di rumah nanti. Bukankah dia mengatakan punya simpanan 100 juta?" Lirih Mas Doni dengan senyum kemenangan. Oh, jadi itu maksud senyumnya tadi. Mas Doni pasti sudah mendengar tepatnya menguping. Sialnya kami semua tidak tau kalo dia akan diam-diam datang di waktu yang tidak tepat. Ternyata licik juga dia, dengan alasan uang juga. "Ayo, kembalilah Amira. Kita pulang sekarang, ambil kopermu dan bawa Nia," rayu Mas Doni seraya akan bangun. "Stop, Mas! Aku nggak mau lagi balik bersamamu," kataku berdiri di belakang bapak. "Kalo kamu nggak mau pulang, sampai kapanmu Mas nggak akan menceraikanmu!" ancam Mas Doni. "Terserah, tapi aku akan tetap ajukan ke pengadilan. Beserta video ibumu yang mencuri akan aku laporkan ke polisi!" pekikku membara. Ingat Mas, aku tidak bo doh. ~~~~~"Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo
Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk
Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya
"Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema
"Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "
"Ayah? Ibu nggak lihat, sayang! Mana ayah?" tanyaku pura-pura celingukan. Sengaja aku seperti itu agar Nia merasa salah lihat. "Tadi di citu!" tunjuknya cemberut. Aku menatap Mas Kevin agar mau membujuk Nia lagi. Lelaki itu menyuruhku sabar dan tersenyum. Untuk mengalihkan perhatian anakku, setelah turun dari komedi putar Mas Kevin mengajak kami membeli es krim. Nia kembali ceria dan bersorak. Dia memang demen sekali es krim, bila di rumah ada kang es lewat pasti sibuk manggil dan lari mengejar. "Makannya pelan-pelan, mulutnya penuh es gini," ucapku cekikan sembari mengambil tisu dan mengelap mulut Nia. "Tadi benar ada Doni, Nduk? Ibu dengar Nia manggil ayahnya," tanya ibu lirih. "Iya, Bu! Tapi nggak lama menghilang seperti nggak mau ketemu Nia. Lagian Mas Doni nggak sendiri, ada anak kecil dan perempuan bersamanya," jawabku terbayang kembali. "Siapa perempuan itu?" "Amira nggak tau, Bu! Bukan si Winda yang kemarin. Mungkin pacarnya yang baru," ujarku mengedikkan bahu. Apa kab