"Bagaimana kalau Kak Juliana ke Miami saja? Bukankah keluarga Joseph ada di sana?"
Juliana terdiam. Dia benar-benar tidak tahu perusahaan tempat Joseph bekerja dan ke mana Joseph melakukan perjalanan dinas. Jadi, dia tidak tahu harus menghubungi siapa ketika beberapa hari lalu, polisi mengabarkan bahwa helikopter yang ditumpangi suaminya jatuh dan pria itu tak dapat ditemukan.Juliana sampai pingsan dan kehilangan nafsu makan. Tawa dan kelucuan anak didik di TK tempatnya mengajar bahkan tak mampu menghilangkan beban pikirannya, seperti biasa.Mendengar perkataan sang adik, Juliana mendapat secercah harapan. Sayangnya, dia memiliki kekhawatiran bila melakukan saran sang adik."Tapi, bagaimana kalau mereka tidak menerima kedatangan kita? Aku dan Joseph menikah tanpa kehadiran keluarganya," tanya Juliana setengah ragu.Meski Juliana tidak bisa hanya diam dan menunggu kabar yang entah kapan akan dia terima, tetapi dia takut keluarga Joseph tidak menerimanya.Reina, sang adik terdiam."Tunjukkan akta pernikahanmu dan Joseph pada mereka!" ucap Diego, sang ayah tiba-tiba.Juliana dan Reina pun langsung menoleh pada ayah mereka. Keduanya seperti tersadar akan hal itu."Benar juga. Kenapa sampai lupa? Kakak tinggal tunjukan akta nikah, jadi kalau mereka bertanya siapa Kakak, bukti ini akan membuat mereka menerima Kakak."Juliana seketika mengangguk. Bukti itu bisa menguatkannya. Meski masih merasa takut, wanita itu menghela napas panjang dan membuat keputusan. "Baiklah. Aku akan pergi ke sana."Reina terlihat senang mendengar sang kakak kembali terlihat "hidup"."Tapi, ayah tidak mengizinkan kalau kau pergi sendiri," ujar Diego.Wajah Juliana seketika muram. "Aku harus pergi ke sana, Ayah. Mungkin, keluarga Joseph tahu keberadaan suamiku," timpal Juliana dengan wajah memohon."Tapi, sangat berisiko kalau kamu pergi sendiri," terang Diego khawatir.Diego tahu kalau Juliana sangat mengkhawatirkan Joseph, tetapi dia juga mengkhawatirkan keselamatan putrinya itu. Dalam keadaan panik dan gelisah, tidak memungkinkan untuk Juliana pergi sendiri."Aku akan menemani Kakak!" seru Reina tiba-tiba dengan semangat.Diego menyipitkan mata, memastikan. "Apa kamu yakin?"Jarak Miami dari tempat mereka tinggal cukup jauh. Diego khawatir kalau kedua putrinya harus berpergian jauh dalam keadaan berduka seperti ini."Ayah tenang saja. Aku akan menjaga Kakak dengan baik. Kami juga akan pulang dengan selamat, aku janji!" seru Reina, semangat.Diego diam sejenak mempertimbangkan keputusan apa yang harus dirinya ambil.***"Jangan lupa berdoa dan berhati-hatilah!" ucap Diego saat mengantarkan kedua putrinya ke bandara.Setelah Diego mengizinkan, Juliana dan adik memang langsung memesan tiket pesawat untuk penerbangan secepatnya.Juliana pun memeluk ayahnya sebagai tanda pamit begitu juga dengan Reina."Ayah baik-baik di sini. Doakan aku agar bisa menemukan Joseph," ucap Juliana dengan penuh harap.Diego tersenyum lembut sembari mengelus kepala anaknya dengan sayang. "Tentu, Juliana. Ayah akan selalu berdoa untuk itu, lalu jangan lupa sampaikan salamku pada mertuamu."Mendengar kata mertua, jantung Juliana tiba-tiba saja berdetak dengan sangat kencang. Dia langsung gugup jika berkaitan dengan mertua.Juliana memang belum pernah bertemu dengan keluarga Joseph. Kata pria itu, orang tuanya ada di Afrika, jadi tidak bisa datang saat pernikahan mereka. Bahkan, Joseph hanya mengundang kerabatnya saja di acara resepsi pernikahan.Ini benar-benar pertama kalinya dia akan bertemu dengan kedua mertuanya.Suara panggilan pada penumpang pesawat menyadarkan Juliana dari lamunan. Dia dan Reina pun langsung pamit pada Diego. Juliana berharap, dia akan mendapatkan kabar baik tentang Joseph di Miami.Selama berada di pesawat, Juliana tidak bisa duduk tenang. Hatinya diselimuti oleh kegelishan. Reina kembali berusaha menenangkan. Ia menggenggam tangan kakaknya."Semuanya akan baik-baik saja."***Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih tiga jam, Juliana dan Reina pun sampai di Miami.Reina berdecak kagum melihat pemandangan di luar bandara. Mereka pun langsung mencari hotel untuk beristirahat. Akan banyak kegiatan yang menguras tenaga mereka, jadi beristirahat sejenak adalah pilihan yang tepat.Sesampainya di hotel, mereka hanya menyimpan koper tanpa membereskannya terlebih dahulu. Keduanya memilih untuk makan siang sebelum menemui keluarga Joseph."Kakak benar tahu alamat rumah orang tua Joseph, kan?" tanya Reina di sela-sela makan siangnya.Juliana langsung mengangguk sebelum menjawab pertanyaan Reina."Joseph pernah menceritakan tentang keluarganya dan memberikan alamat rumah orang tuanya sebelum pergi dinas. Aku memang tidak benar-benar yakin. Akan tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba."Reina mengangguk setuju. Lagipula ini adalah idenya sendiri, jadi Reina harus optimis agar bisa menemukan informasi tentang Kakak iparnya itu."Aku harap Joseph ada di rumahnya atau tidak dia dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di sini," ungkap Juliana membuat Reina langsung menghentikan suapannya.Reina bisa melihat kesedihan dan luka di mata kakaknya itu. Akan tetapi, seberapa besar dia mencoba membuat Juliana tegar tetap saja kakaknya itu bersedih."Tenanglah, Kak. Aku tahu Kakak sedih, kami pun begitu. Masih ada jalan dan masih ada harapan untuk menemukan Joseph, jadi Kakak jangan menyerah?"Juliana tersenyum kaku menanggapi perkataan adiknya. Memang benar apa yang disampaikan oleh Reina, tapi tetap saja kesedihan dan kekutan masih melingkupi hatinya. Pembicaraan itu selesai bersamaan dengan selesainya acara makan siang mereka.Setelah itu mereka pun tak membuang waktu lama langsung saja menuju alamat di mana orang tua Joseph tinggal.Saat sampai di alamat yang dituju, keduanya terdiam dengan tatapan tak percaya. Mereka mematung beberapa meter dari rumah yang ada di alamat itu.Ada dua hal yang membuat mereka terkejut sampai tak bisa berkutik. Pertama, karena rumah yang dimiliki oleh orang tua Joseph begitu besar bak istana. Reina sampai berdecak berkali-kali mengagumi kemegahan mansion itu, lalu yang kedua adalah banyaknya wartawan yang berdiri di depan gerbang rumah megah itu. Jelas saja Juliana dan Reina kebingungan melihat pemandangan itu."Kak, apa kamu yakin ini alamatnya?" tanya Reina meragu.Jualiana kembali mencocokkan alamat yang tertera di gerbang mansion itu dengan alamat yang dirinya punya yang diberikan oleh Joseph sebelum pergi. Ternyata itu memang rumah mertuanya."Ini benar, Reina. Aku tidak salah. Coba kamu cek," ujar Juliana sembari menyodorkan sebuah alamat.Reina kembali mengeceknya dan ternyata memang sama. Dia terperangah tak percaya."Memang benar, Kak, tapi kenapa ada wartawan di sana?" tanya Reina bingung. Sama halnya dengan yang dipikirkan Juliana.Juliana diam sesaat, dia berusaha mengingat sesuatu yang mungkin saja berkaitan dengan keluarga Joseph, tetapi hasilnya nihil. Juliana tak tahu apapun tentang keluarga suaminya sendiri dan itu membuat Juliana merasa sedih."Kak, jangan-jangan Joseph itu bukan orang sembarangan," cetus Reina tiba-tiba. Kedua kakak adik itu saling pandang.Setahun telah berlalu sejak kepergian Lena, tetapi kenangannya masih melekat di hati mereka, tersimpan dalam setiap sudut rumah dan dalam setiap langkah kecil Clarie. Meskipun duka itu tidak benar-benar hilang, waktu telah mengajarkan mereka bahwa cinta dan kebahagiaan bisa kembali ditemukan, bahkan setelah kehilangan yang menyakitkan.Joseph dan Juliana tidak terburu-buru. Mereka membangun kembali hubungan mereka dengan penuh kesabaran, memberi ruang bagi luka-luka lama untuk benar-benar pulih. Tidak ada janji yang diucapkan dengan tergesa-gesa, tidak ada keputusan yang diambil tanpa pertimbangan. Mereka memilih untuk saling mengenal kembali bukan sebagai dua orang yang memiliki masa lalu yang pahit, tetapi sebagai dua hati yang akhirnya mengerti betapa berartinya satu sama lain.Clarie tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, meskipun masih sering menatap ke luar jendela, seolah menunggu ibunya kembali. Namun, dalam pelukan hangat Joseph dan Juliana, ia menemukan tempat yang aman, tem
Mobil Joseph melaju kencang menuju lokasi. Lena, Ariana, dan Juliana duduk dengan tegang di dalam mobil, perasaan mereka bercampur antara cemas, marah, dan takut. Begitu mereka tiba, pemandangan di depan mereka membuat jantung mereka berdegup lebih kencang.Sebuah rumah tua berdiri di pinggiran kota, tampak gelap dan sepi. Catnya sudah mengelupas, jendelanya tertutup rapat, dan pagar kayunya sudah lapuk dimakan usia. Rumah itu tampak seperti sudah lama tidak dihuni, tetapi semua orang tahu bahwa di sanalah Damian bersembunyi bersama Clarie.Di sekitar rumah, polisi sudah bersiap dengan senjata terangkat, mengenakan rompi anti-peluru. Lampu-lampu kendaraan polisi menyala, menerangi malam yang mencekam.Seorang petugas mendekati Joseph dan berbicara dengan suara rendah."Kami sudah mengepung rumah ini dari semua sisi. Tim kami sudah memastikan bahwa tidak ada jalan keluar bagi Damian. Kami hanya menunggu perintah untuk masuk."Joseph mengepalkan tangannya. "Lakukan!"Kapten polisi menga
Suasana di dalam mobil terasa berat. Lena duduk di kursi penumpang, jemarinya mencengkeram erat ponselnya, matanya kosong menatap jalanan malam yang sepi.Di belakang kemudi, Joseph mengendarai mobil dengan rahang mengatup. Napasnya berat, tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaga amarahnya tetap terkendali.Ariana dan Juliana duduk di kursi belakang, sama tegangnya. Semua orang tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu.Saat itulah ponsel Lena berdering. Nada deringnya memecah keheningan, membuat semua orang tersentak. Lena langsung meraih ponsel, melihat nama di layar.Damian.Darah Lena berdesir. Ia menekan tombol jawab dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya."Damian! Di mana Clarie?!" serunya panik.Suara tawa rendah terdengar dari seberang sana, mengirimkan getaran tak nyaman ke dalam tulang belakang Lena."Tenanglah, Sayang," kata Damian dengan nada mengejek. "Clarie baik-baik saja. Untuk saat ini."Tangan Lena mengepal, matanya berkil
Suasana di dalam mobil terasa berat. Lena duduk di kursi penumpang, jemarinya mencengkeram erat ponselnya, matanya kosong menatap jalanan malam yang sepi. Di belakang kemudi, Joseph mengendarai mobil dengan rahang mengatup. Napasnya berat, tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang bisa menjaga amarahnya tetap terkendali. Ariana dan Juliana duduk di kursi belakang, sama tegangnya. Semua orang tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu. Saat itulah ponsel Lena berdering. Nada deringnya memecah keheningan, membuat semua orang tersentak. Lena langsung meraih ponsel, melihat nama di layar. Damian. Darah Lena berdesir. Ia menekan tombol jawab dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya. "Damian! Di mana Clarie?!" serunya panik. Suara tawa rendah terdengar dari seberang sana, mengirimkan getaran tak nyaman ke dalam tulang belakang Lena. "Tenanglah, Sayang!" kata Damian dengan nada mengejek. "Clarie baik-baik saja untuk saat ini." Tangan Lena mengepal, matan
Telepon dari Juliana masih menggema di kepala Joseph saat ia menekan pedal gas lebih dalam. Mobilnya melaju dengan kecepatan gila, membelah jalanan kota yang mulai diselimuti gelapnya malam. Tangannya mencengkeram setir erat, rahangnya mengatup keras menahan gejolak emosi yang siap meledak.Clarie diculik.Pikiran itu terus menggerogoti benaknya.Putrinya, gadis kecil yang begitu ia cintai, kini berada di tangan seseorang yang entah siapa dan dengan niat apa.Siapa pun yang berani menyentuh Clarie tidak akan dibiarkan hidup dengan tenang.Joseph hampir tidak bisa berpikir jernih. Bayangan Clarie menangis, ketakutan, mungkin memanggil namanya dalam keputusasaan, membuat dadanya seperti terbakar.Sial!Tangannya gemetar saat ia menekan panggilan ke Lena. Nada sambung berbunyi. Sekali. Dua kali.“Halo?”Suara Lena terdengar malas, seolah tidak ingin berbicara dengannya.Joseph tidak peduli.“Clarie diculik.”Hening.“Apa?” Suara Lena nyaris tidak terdengar, penuh keterkejutan dan ketidak
Keesokan paginya, mentari bersinar terang, menerangi halaman sekolah Clarie dengan cahaya hangat. Anak-anak berlarian riang, beberapa duduk di bangku taman, dan yang lain bercengkerama dengan teman-teman mereka. Suasana tampak begitu biasa, begitu normal tidak ada yang menyangka bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi hari itu.Di sudut area parkir, seorang pria berdiri dengan kacamata hitam dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya. Damian.Matanya tajam mengamati gerak-gerik Clarie dari kejauhan. Gadis kecil itu tampak ceria, berbincang dengan teman-temannya sebelum masuk ke dalam kelas."Jadi, dia anakku," gumam Damian pelan, nyaris tanpa emosi.Tapi di balik kata-katanya yang datar, ada ambisi besar dalam hatinya. Ia tak peduli siapa yang membesarkan Clarie selama ini. Yang jelas, ia adalah ayah biologisnya, dan itu berarti Clarie seharusnya menjadi miliknya.Damian mengencangkan jaketnya, menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguar. Ini bukan sekadar soal ingin mendapatkan C