Share

8 Melanjutkan Penyelidikan

Keesokan harinya saat mentari mulai menyapa pagi, aku sudah sibuk membuat sarapan di dapur. Sementara dengan pekerjaan rumah sudah ada Mba Parni membantu.

Ada rasa yang mengganjal di dalam dada karena Rani masih juga tak bisa dihubungi. Memang sedikit lega karena Mas Fery sudah menyewakannya hotel. Namun, suasana pagi jadi terasa berkurang setelah pertengkaranku dengan anak gadisku.

Dia anakku satu-satunya, tapi entah kenapa kini telah berubah jadi pembangkang. Apa benar kata Mas Fery kalau aku terlalu keras dalam mendidiknya? Tapi, itu semua aku lakukan semata-mata untuk kebaikan Rani agar disiplin dan bertanggung jawab.

Tak lama, Mas Fery keluar dari kamar dan duduk di kursi makan. Isi meja yang sudah siap dengan sajian sarapan dan Mas Fery menyantapnya tanpa basa-basi. Mungkin suamiku itu masih saja marah padaku.

"Kamu masih marah sama aku?" Aku bertanya pelan. Setidaknya, kalau Mas Fery sedang acuh maka aku yang perlu bicara duluan. Aku tak pernah ragu untuk meminta maaf jika salah.

"Enggak," jawabnya begitu singkat seraya mengoleskan selembar roti tawar dengan selai kacang kesukaannya. Wajahnya acuh tak sedikit pun melirik ke arahku, padahal aku duduk di hadapannya.

"Aku minta maaf atas cercaan pertanyaan kemarin. Aku hanya-" Belum sempat ungkapan ini aku selesaikan akan tetapi Mss Fery segera memotongnya.

"Sudahlah, tak usah dibahas lagi. Aku ingin sarapan. Hari ini ada meeting dengan client," potongnya.

"Ya, oke." Aku kembali diam. Menemani suamiku sarapan tanpa bicara lagi mungkin akan lebih baik.

Usai sarapan dan meneguk kopi susu kesukaannya, Mas Fery beranjak dari tempat duduk kemudian merapihkan jasnya. Aku mengikuti langkahnya yang berjalan terlebih dahulu menuju pintu utama.

"Mas, apa kamu bisa bertemu, Rani?" Aku bertanya sebelum Mas Fery masuk ke dalam mobilnya.

"Untuk apa? Aku tidak mau salah paham lagi. Biarkan aku jadi Ayah yang acuh saja pada anaknya," balas Mas Fery terdengar ketus.

"Aku kan sudah minta maaf, Mas." Aku membela diri.

"Lalu untuk apa aku menemui, Rani?" Mas Fery bertanya. Ketus dan acuh nyaris tanpa ada senyuman sedikit pun di bibirnya.

"Aku mau minta tolong, bawa Rani pulang. Aku memang marah pada Rani, tapi kemarahan seorang Ibu bukan berarti ingin jauh dari anaknya," pintaku dengan sendu. Aku menurunkan tatapan saat bola mata ini mulai berembun.

Mas Fery masih diam seperti tengah berpikir. Namun tidak lama ia pun menjawab, "Iya, aku usahakan. Tapi, aku tidak janji bisa membawa Rani pulang."

Aku menyeringai. Setidaknya, Mas Fery akan berusaha.

"Terima kasih, Mas," ucapku. Aku mengukir senyuman manis pagi ini, namun tak dibalas suamiku.

Mas Fery bergegas masuk ke dalam sedan hitamnya kemudian berlalu meninggalkan rumah, membelah jalan raya yang mulai sibuk dengan lalu lalang kendaraan di pagi hari.

Mas Fery jadi dingin. Sikapnya tak lagi hangat seperti dulu. Aku menghela napas kasar. Hanya bisa berharap kejanggalan di dalam dada ini segera terjawab. Aku bahkan masih belum tahu mengenai alat kontrasepsi di kamar Rani dan di tempat sampah tempo lalu.

Perasaan berkata lain dari jawaban Mas Fery, entah kenapa aku merasa yakin ada yang tengah Mas Fery tutupi di belakangku.

Tak lama, dering ponsel berbunyi di saku celanaku. Gegas aku merogohnya untuk melihat sang penelephone pagi ini.

"Siska." Aku segera menjawab sambungan telephone saat tahu kalau sahabatku yang menghubungi.

Benda pipih itu telah menempel di telinga. Aku menyapa dengan ramah, "Hallo, Sis. Kamu sudah siap?"

"Lima menit lagi aku sampai di rumahku. Bersiap-siaplah," kata Siska di ujung sambungan telephone.

"Oke!" Aku mengiyakan. Segera mengakhiri sambungan telephone dari Siska. Ada yang harus aku lakukan hari ini, yakni penyelidikan.

Semalam saat Mas Fery tidur lelap aku dan Siska menyusun rencana. Kami berdua memasang alat pelacak di dalam mobil Mas Fery. Tak lupa aku memasang alat penyadar suara di dalam sedan suamiku.

Siska memang cerdik. Dia selalu punya ideu yang meyakinkan. Dia bahkan yang menyewa orang untuk memasang alat-alat itu di mobil Mas Fery secara sembunyi agar Mas Fery tak menyadarinya. Beruntung Mas Fery tidur bagaikan orang pingsan sehingga misiku dan Siska berjalan lancar sampai pemasangan alat-alat itu selesai.

Bukan aku tak percaya dengan suamiku, lebih tepatnya aku kini meragukan pembelaaannya kemarin.

Saat pukul sembilan pagi aku telah siap dan berada di dalam mobil Siska, sahabatku. Kami berdua mulai menyalakan ponsel pintarku yang sudah tersambung dengan gps yang ada pada mobil Mes Fery.

Layar ponselku memperlihatakan titik lokasi keberadaan Mas Fery saat ini, dan yang mengejutkan posisinya bukan di kantor seperti yang seharusnya.

Titik lokasi keberadaan mobil Mas Fery berada di sebuah hotel.

"Apa Mas Fery tengah menemui, Rani?" pikirku.

Aku dan Siska saling melempat tatapan. Tanpa pikir panjang, Siska segera menyalakan mesin mobil lalu menginjak pedal gas menuju titik lokasi Mas Fery.

"Menurut kamu, suami kami tuh ngapain sih ke hotel lagi? Aneh banget pagi-pagi begini, bukannya kerja kok malah ke hotel," celetuk Siska sambil memainkan setir mobilnya sementara pandangannya tetap fokus ke jalan raya.

"Mungkin saja akan menjemput, Rani," jawabku masih berusaha berpikir positif. Padahal dalam hati sesungguhnya merasakan kecemasan.

"Kamu yakin?" Siska menekan lagi.

Aku mengangguk meski tak yakin, "Kemarin aku memintanya membawa Rani pulang."

"Semoga saja apa yang kamu pikirkan itu benar adanya," balas Siska.

Kami berdua kembali diam sampai akhirnya kami ketahui dengan terkejut saat mobil lokasi Mas Fery mulai berjalan dan berpindah. Sepertinya Mas Fery akan segera pergi. Kemana dia?

"Apa kamu sudah menyalakan alat penyadap?" Siska bertanya.

"Oh iya, aku akan nyalakan sekarang," jawabku segera.

Aku segera menyalakan alat penyadap. Aku penasaran dengan siapa Mas Fery di dalam mobilnya. Jika sendirian tentu tak ada suara percakapan di dalamnya.

"Sabar ya sayang."

Suara Mas Fery terdengar jelas. Sedang bicara dengan siapa dia? Sayang, panggilan yang sangat sensitif diucapkan dengan lancar oleh suamiku itu. aku dan Siska mendengar dengan jelas.

Kami berdua kembali mendengar dengan teliti percakapan yang keluar dari alat penyadap yang berada dalam genggaman tanganku.

"Aku akan transfer sepuluh juta agar kamu bisa jalan-jalan dan happy-happy bersama teman-temanmu. Kamu bisa menghabiskan uang itu. Sungguh, aku tak akan rugi dengan uang yang tak seberapa jika dibandingkan dengan permainanmu setiap malam. Aku selalu saja rindu dengan kamu."

Lagi, suara Mas Fery jelas sekali terdengar. Aku dan Siska kembali dibuat terkejut. Jantungku bahkan terasa hendak jatuh dari sarangnya.

Permainan setiap malam? Apa yang yang dimaksud Mas Fery adalah berhubungan badan?

Aku menggelengkan kepala seraya menutup mulut yang menganga dengan sebelah tangan karena terkejut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ellya Murjani
biadap kamu fery
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status