Share

9 Bagaikan Disayat Sembilu

"Bye! Nanti ketemu lagi ya."

Suara Mas Fery terdengar mengakhiri percakapannya dengan seseorang, namun aku sama sekali tak mendengar suara lawan bicaranya.

Siska kemudian melihat titik lokasi Mas Fery yang saat ini berada di sekolahan Rani, kemudian berlalu pergi.

"Mau kemana lagi, Mas Fery?" Aku bertanya-tanya sendiri dengan perasaan yang menggebu di dalam dada.

"Sudahlah, Mia. Kita selesaikan misi kita sekarang. Kita ikuti kemana mobil suamimu hari ini." Siska kembali fokus dengan setir mobilnya.

Sementara aku, hanya bisa mengangguk pasrah. Apa mungkin aku telah mendapat penghianatan yang kedua kalinya dari seorang lelaki?

Pasang manik ini kembali berkaca-kaca. Aku berusaha membendung semua kepedihan ini. Masih berharap semoga apa yang aku dengar tadi tak seperti yang aku bayangkan.

Aku menyeka tetesan bulir bening yang berhasil jatuh. Tangan ini bahkan terasa bergetar saat menyentuh wajah. Mengapa aku merasa akan melewati masalah yang cukup besar. Ditambah lagi dengan Rani yang sampai saat ini masih saja marah padaku.

"Siska, terima kasih ya. Saat ini, hanya padamu aku meminta bantuan," ucapku pada Siska setelah perasaan mulai tenang.

Siska mengangguk seraya menjawab, "Sama-sama. Kita sudah puluhan tahun bersahabat. Jangan sungkan untuk meminta bantuan."

Siska seorang single parent tanpa anak, dia seperti tak ada penghalang untuk membantuku di setiap waktu. Saat ini memang pada Siska saja aku meminta bantuan.

"Aku tidak tahu kalau saja tak ada kamu, mungkin aku hanya bisa menangis," ucapku lagi.

"Jangan lebay begitu deh. Aku hanya tidak mau kamu disakiti lagi. Aku tidak rela jika sahabatku kembali dikhianati," balas Siska dengan santainya. Dia begitu baik dalam membantuku. Dulu pun saat memergoki mantan suamiku berselingkuh, Siskalah yang membantu.

Perbincangan ringan itu tak terasa telah membawaku ke titik lokasi mobil Mas Fery saat ini. Lokasi saat ini Mas Fery memang tengah di kantor. Sepertinya aku harus menunggu beberapa jam sampai Mas Fery selesai dengan pekerjaanya. Aku memilih menunggu di area yang tak jauh dari kantor suamiku.

Aku dan Siska duduk di sebuah kursi besi berwarna hitam di restaurant amerika tak jauh dari kantor Mas Fery. Aku makan siang bersama Siska. Aku membutuhkan tenaga untuk melanjutkan penyelidikan hari ini.

Ada beberapa teman kantor Mas Fery yang juga makan siang di restaurant amerika yang aku singgahi. Beruntung aku telah memakai penutup kepala dan wajah sehingga hanya mataku saja yang terlihat. Sengaja aku lakukan ini, agar siapa pun yang melihatku tak dapat mengenaliku.

Seorang pria yang duduk tak jauh dariku tengah berbincang membicarakan Mas Fery. Aku dan Siska saling melempar tatapan terkejut saat pria itu berbicara masalah serius dengan lawan bicaranya.

"Akhir-akhir ini Pak Fery jarang sekali masuk kantor ya," celetuk pria berkemeja biru tua. Dia berbicara pada seseorang yang duduk di depannya.

"Iya benar. Apalagi Pak Fery sering sekali membawa gadis remaja ke ruangannya. Sebenarnya siapa sih? Saya kok risih melihatnya. Kantor kan tempat bekerja bukan tempat pacaran."

Jantungku lagi-lagi dibuat lemah mendengar percakapan dua pria di sampingku itu. Ada luka di dalam dada ini saat mengetahui kalau ternyata Mas Fery sering membawa perempuan ke ruangan kantornya.

Aku mengusap dada. Menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Telinga ini kembali siap untuk mendengarkan percakapan pria tadi.

"Saya juga tidak tahu. Pak Fery tak mengatakan apa-apa. Kemarin saja saya terpaksa berbohong. Ah sial, kalau saja Pak Fery bukan atasan saya, mana sudi saya berbohong." Pria berkemeja biru tua melanjutkan keluh kesahnya.

"Berbohong seperti apa?"

"Pak Fery meminta saya mengakui keberadaan alat kontrasepsi di dalam kopernya. Padahal saya tidak tahu apa-apa."

"Pak Fery benar-benar sudah gila ya."

"Mungkin dia sudah tergila-gila dengan kecantikan gadis remaja itu."

Deg! Aku baru saja ingat saat Mas Fery menelephone temannya bernama Jefri mengenai keberadaan kondom di dalam kopernya.

Padahal aku pikir itu benar-benar milik teman Mas Fery, tapi nyatanya semua itu hanya siasat Mas Fery saja.

Fix kalau begini, aku tidak salah jika harus menyelidiki Mas Fery. Kebohongannya harus segera dibongkar.

Setelah percakapan dua pria tadi selesai, mereka pergi saat jam makan siang telah habis.

Aku menggelengkan kepala. Merasa tak menyangka kalau Mas Fery berselingkuh.

"Ya Tuhan cobaan apa lagi yang harus aku lewati," lirihku seraya menutup wajahku dengan sebelah tangan. Tentu hati ini bukan hanya sekedar sakit, pedihnya bahkan melebihi sayatan belati yang jika digambarkan.

"Sabar, Mia." Siska menguatkan.

"Aku harus menemui Mas Fery sekarang, aku sudah tahu semuanya dan aku harus membuat perhitungan." Aku beranjak dari tempat duduk hendak pergi menuju kantor Mas Fery, namun Siska dengan cepat menahan langkahku.

"Tunggu, Mia!"

Air mata ini luruh seiring dengan aliran darah yang kian memanas di dalam raga.

"Aku harus menemui, Mas Fery. Aku harus membuat perhitungan denganbya, Sis." Aku memaksa seraya berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Siska.

"Jangan berbuat bodoh, Mia. Kita tak punya bukti. Fery akan marah dan mengelak tanpa ada bukti. Ingat, Mia." Siska menyadarkanku segera. Genggaman tangannya begitu kuat dan tak membiarkan aku pergi.

Siska memang benar, aku belum punya bukti dan Mas Fery pasti mengelak lagi. Aku kembali ke tempat duduk. Mengatur napas. Menenangkan diri. Memutar bola mata agar air mata ini tak lagi luruh di pipi.

Siska kembali melihat pada layar ponsel pintarku yang masih tergeletak di atas meja dengan gps yang masih menyala.

"Mobil Fery akan pergi. Kita harus cepat mengikuti dan mengumpulkan bukti." Siska menyadarkanku dari lamunan.

Aku dan Siska bergegas keluar dari restaurant amerika dan kami bersiap membuntuti kemana Mas Fery akan melanjutkan aktivitasnya hari ini.

Kami berdua kini bisa melihat dari jarak yang tak terlalu jauh dengan mobil Mas Fery. Dia menuju ke arah sekolahan Rani. Apa dia akan menjemput Rani dan membawanya pulang? Aku ikuti saja. Setidaknya jika Rani pulang, aku juga bisa berbicara baik-baik dengan anak gadisku itu dalam menyelesaikan kesalah pahaman tempo lalu.

Mobil Mas Fery telah sampai di depan sekolah Rani. Anak gadisku itu menyambut dengan menyeringai senang kemudian masuk ke dalam mobil Mas Fery tanpa dipinta. Terlihat mudah sekali bahkan tak usah dibujuk.

Setalah Rani masuk ke dalam mobil Mas Fery, aku kembali menyalakan alat penyadap. Aku penasaran dengan percakapan antara Rani dan Mas Fery. Apa Mas Fery akan membujuk Rani pulang?

"Kamu mau pulang apa kemana lagi?"

Suara Mas Fery jelas terdengar jelas di telingaku. Aku yang kini masih berada dalam mobil Siska mendengarkan dengan seksama.

"Aku mau jalan-jalan dong, Ayah. Kan uangku banyak. Aku mau happy-happy dong. Ayah bagaimana sih."

Suara Rani terdengar manja sekali, padahal saat berbicara denganku selalu saja ketus dengan nada suara tinggi.

"Jalan-jalan saja sesuka hatimu, Rani sayang. Asal kamu tidak lupa dengan kewajibanmu pada Ayah."

Isi dadaku berdebar hebat. Apa yang dimaksud dengan ucapan Mas Fery pada Rani?

Comments (35)
goodnovel comment avatar
Teguh Sugiharto
mia bego...........
goodnovel comment avatar
Budi Astuti
Mengerikan anaknya kok berfikir dia sdh durusk bapak tirinya,hrsnya ibunya sdh mengantisipasinya sebelumnya.
goodnovel comment avatar
Oliva Koneng
anak dan bapa tiri yg gatal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status