"Bye! Nanti ketemu lagi ya."
Suara Mas Fery terdengar mengakhiri percakapannya dengan seseorang, namun aku sama sekali tak mendengar suara lawan bicaranya.Siska kemudian melihat titik lokasi Mas Fery yang saat ini berada di sekolahan Rani, kemudian berlalu pergi."Mau kemana lagi, Mas Fery?" Aku bertanya-tanya sendiri dengan perasaan yang menggebu di dalam dada."Sudahlah, Mia. Kita selesaikan misi kita sekarang. Kita ikuti kemana mobil suamimu hari ini." Siska kembali fokus dengan setir mobilnya.Sementara aku, hanya bisa mengangguk pasrah. Apa mungkin aku telah mendapat penghianatan yang kedua kalinya dari seorang lelaki?Pasang manik ini kembali berkaca-kaca. Aku berusaha membendung semua kepedihan ini. Masih berharap semoga apa yang aku dengar tadi tak seperti yang aku bayangkan.Aku menyeka tetesan bulir bening yang berhasil jatuh. Tangan ini bahkan terasa bergetar saat menyentuh wajah. Mengapa aku merasa akan melewati masalah yang cukup besar. Ditambah lagi dengan Rani yang sampai saat ini masih saja marah padaku."Siska, terima kasih ya. Saat ini, hanya padamu aku meminta bantuan," ucapku pada Siska setelah perasaan mulai tenang.Siska mengangguk seraya menjawab, "Sama-sama. Kita sudah puluhan tahun bersahabat. Jangan sungkan untuk meminta bantuan."Siska seorang single parent tanpa anak, dia seperti tak ada penghalang untuk membantuku di setiap waktu. Saat ini memang pada Siska saja aku meminta bantuan."Aku tidak tahu kalau saja tak ada kamu, mungkin aku hanya bisa menangis," ucapku lagi."Jangan lebay begitu deh. Aku hanya tidak mau kamu disakiti lagi. Aku tidak rela jika sahabatku kembali dikhianati," balas Siska dengan santainya. Dia begitu baik dalam membantuku. Dulu pun saat memergoki mantan suamiku berselingkuh, Siskalah yang membantu.Perbincangan ringan itu tak terasa telah membawaku ke titik lokasi mobil Mas Fery saat ini. Lokasi saat ini Mas Fery memang tengah di kantor. Sepertinya aku harus menunggu beberapa jam sampai Mas Fery selesai dengan pekerjaanya. Aku memilih menunggu di area yang tak jauh dari kantor suamiku.Aku dan Siska duduk di sebuah kursi besi berwarna hitam di restaurant amerika tak jauh dari kantor Mas Fery. Aku makan siang bersama Siska. Aku membutuhkan tenaga untuk melanjutkan penyelidikan hari ini.Ada beberapa teman kantor Mas Fery yang juga makan siang di restaurant amerika yang aku singgahi. Beruntung aku telah memakai penutup kepala dan wajah sehingga hanya mataku saja yang terlihat. Sengaja aku lakukan ini, agar siapa pun yang melihatku tak dapat mengenaliku.Seorang pria yang duduk tak jauh dariku tengah berbincang membicarakan Mas Fery. Aku dan Siska saling melempar tatapan terkejut saat pria itu berbicara masalah serius dengan lawan bicaranya."Akhir-akhir ini Pak Fery jarang sekali masuk kantor ya," celetuk pria berkemeja biru tua. Dia berbicara pada seseorang yang duduk di depannya."Iya benar. Apalagi Pak Fery sering sekali membawa gadis remaja ke ruangannya. Sebenarnya siapa sih? Saya kok risih melihatnya. Kantor kan tempat bekerja bukan tempat pacaran."Jantungku lagi-lagi dibuat lemah mendengar percakapan dua pria di sampingku itu. Ada luka di dalam dada ini saat mengetahui kalau ternyata Mas Fery sering membawa perempuan ke ruangan kantornya.Aku mengusap dada. Menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Telinga ini kembali siap untuk mendengarkan percakapan pria tadi."Saya juga tidak tahu. Pak Fery tak mengatakan apa-apa. Kemarin saja saya terpaksa berbohong. Ah sial, kalau saja Pak Fery bukan atasan saya, mana sudi saya berbohong." Pria berkemeja biru tua melanjutkan keluh kesahnya."Berbohong seperti apa?""Pak Fery meminta saya mengakui keberadaan alat kontrasepsi di dalam kopernya. Padahal saya tidak tahu apa-apa.""Pak Fery benar-benar sudah gila ya.""Mungkin dia sudah tergila-gila dengan kecantikan gadis remaja itu."Deg! Aku baru saja ingat saat Mas Fery menelephone temannya bernama Jefri mengenai keberadaan kondom di dalam kopernya.Padahal aku pikir itu benar-benar milik teman Mas Fery, tapi nyatanya semua itu hanya siasat Mas Fery saja.Fix kalau begini, aku tidak salah jika harus menyelidiki Mas Fery. Kebohongannya harus segera dibongkar.Setelah percakapan dua pria tadi selesai, mereka pergi saat jam makan siang telah habis.Aku menggelengkan kepala. Merasa tak menyangka kalau Mas Fery berselingkuh."Ya Tuhan cobaan apa lagi yang harus aku lewati," lirihku seraya menutup wajahku dengan sebelah tangan. Tentu hati ini bukan hanya sekedar sakit, pedihnya bahkan melebihi sayatan belati yang jika digambarkan."Sabar, Mia." Siska menguatkan."Aku harus menemui Mas Fery sekarang, aku sudah tahu semuanya dan aku harus membuat perhitungan." Aku beranjak dari tempat duduk hendak pergi menuju kantor Mas Fery, namun Siska dengan cepat menahan langkahku."Tunggu, Mia!"Air mata ini luruh seiring dengan aliran darah yang kian memanas di dalam raga."Aku harus menemui, Mas Fery. Aku harus membuat perhitungan denganbya, Sis." Aku memaksa seraya berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Siska."Jangan berbuat bodoh, Mia. Kita tak punya bukti. Fery akan marah dan mengelak tanpa ada bukti. Ingat, Mia." Siska menyadarkanku segera. Genggaman tangannya begitu kuat dan tak membiarkan aku pergi.Siska memang benar, aku belum punya bukti dan Mas Fery pasti mengelak lagi. Aku kembali ke tempat duduk. Mengatur napas. Menenangkan diri. Memutar bola mata agar air mata ini tak lagi luruh di pipi.Siska kembali melihat pada layar ponsel pintarku yang masih tergeletak di atas meja dengan gps yang masih menyala."Mobil Fery akan pergi. Kita harus cepat mengikuti dan mengumpulkan bukti." Siska menyadarkanku dari lamunan.Aku dan Siska bergegas keluar dari restaurant amerika dan kami bersiap membuntuti kemana Mas Fery akan melanjutkan aktivitasnya hari ini.Kami berdua kini bisa melihat dari jarak yang tak terlalu jauh dengan mobil Mas Fery. Dia menuju ke arah sekolahan Rani. Apa dia akan menjemput Rani dan membawanya pulang? Aku ikuti saja. Setidaknya jika Rani pulang, aku juga bisa berbicara baik-baik dengan anak gadisku itu dalam menyelesaikan kesalah pahaman tempo lalu.Mobil Mas Fery telah sampai di depan sekolah Rani. Anak gadisku itu menyambut dengan menyeringai senang kemudian masuk ke dalam mobil Mas Fery tanpa dipinta. Terlihat mudah sekali bahkan tak usah dibujuk.Setalah Rani masuk ke dalam mobil Mas Fery, aku kembali menyalakan alat penyadap. Aku penasaran dengan percakapan antara Rani dan Mas Fery. Apa Mas Fery akan membujuk Rani pulang?"Kamu mau pulang apa kemana lagi?"Suara Mas Fery jelas terdengar jelas di telingaku. Aku yang kini masih berada dalam mobil Siska mendengarkan dengan seksama."Aku mau jalan-jalan dong, Ayah. Kan uangku banyak. Aku mau happy-happy dong. Ayah bagaimana sih."Suara Rani terdengar manja sekali, padahal saat berbicara denganku selalu saja ketus dengan nada suara tinggi."Jalan-jalan saja sesuka hatimu, Rani sayang. Asal kamu tidak lupa dengan kewajibanmu pada Ayah."Isi dadaku berdebar hebat. Apa yang dimaksud dengan ucapan Mas Fery pada Rani?Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng