Suara Di Bilik Iparku (4)
(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**
"Istri nggak ada guna! Ditinggal cari nafkah malah selingkuh. Tak main-main selingkuhnya sama kakak kandungku sendiri. Dasar murah*n!" hardik Bara saat ia telah sampai di rumahku pukul sembilan pagi.
Sejak Subuh tadi aku tak beranjak dari tempat dudukku selain hanya mengerjakan sholat Subuh. Sedangkan Mas Agus dan Mbak Mawar hanya pulang sebentar untuk mengurusi anak-anak mereka yang hendak berangkat ke sekolah.
Pernikahanku dan Mas Akbar yang berjalan hampir dua tahun ini juga belum dikaruniai seorang anak, pun begitu juga dengan pernikahan Hanum dan Bara. Mereka menikah setahun yang lalu, tapi Tuhan belum menitipkan buah hati pada mereka.
"Mas, maaf. Aku khilaf," bela Hanum ketika kedua mata Bara mulai memerah karena amarah pada istrinya itu.
Mas Akbar hanya tertunduk dalam, sepertinya ia benar-benar telah menyesali perbuatan hinanya itu. Tapi entah, ia hanya berpura-pura menyesal atau memang menyesal.
"Khilaf katamu? Bahkan aku pun tak tahu kamu sudah melakukannya berapa kali," tandas Bara lagi, membuat suasana semakin panas.
Aku hanya bergantian menatap Mas Akbar dan Hanum, mereka bagai pesakitan yang tengah diadili di tengah pengadilan.
"Mas Akbar. Kataka dengan jujur, sudah berapa lama kalian berhubungan?" ucapku menanyai suamiku tercinta itu karena aku merasa kedekatan mereka selama ini tak begitu berarti. Aku hanya menganggapnya wajar karena memang Mas Akbar adalah tipe seorang kakak yang pandai mengayomi adik-adiknya.
"Dek, sudahlah. Maafkan aku dan Hanum. Kami tidak akan mengulanginya lagi," elaknya tak mau menjawab pertanyaanku.
Aku melengos, tak puas dengan jawabannya. "Berapa lama?" tandasku lagi menegaskan.
"Dua bulan."
Kami serentak mengucap istighfar saat Mas Akbar mengatakan kesaksiannya bahwa hubungan mereka telah terjalin selama dua bulan ini. Mereja benar-benar keterlaluan, bahkan saat Bara belum meninggalkan Hanum ternyata mereka telah memiliki hubungan spesial di belakang kami.
"Oh, jadi ini alasanmu merengek minta tinggal di tempat Mbak Anisa dan kakak lelaki ku ini?" tandas Bara kepada istrinya.
Kami semua tahu, Bara orangnya keras, galak dan garang. Ia tak akan segan marah oada seseorang jika orang itu telah terbukti bersalah, meskipun anggota keluarganya sendiri pasti ia akan memarahinya.
Baru kenal dua tahun saja aku sudah hafal sifatnya, lantas bagaimana dengan Hanum selaku istrinya? Seharusnya ia lebih hafal dengan sifat suaminya, tapi bagaimana bisa ia melakukan perbuatan buruk seperti ini?
"Tidak, Mas. Aku memang takut tinggal di rumah sendirian."
"Bohong!"
Kami semua terdiam saat Bara membentak istrinya, bahkan segarang-garangnya Mas Akbar ia sama sekali tak pernah membentakku seperti itu.
"Kemasi barang-barangmu, kita pulang sekarang. Selesaikan di rumah!" Lagi, Bara membentak Hanum hingga istrinya itu beringsut mundur dari tempatnya semula berdiri.
"Aku sebagai kakak tertua di keluarga ini memohon dengan sangat agar berita ini tak tersebar ke telinga orang tua kita masing-masing. Cukup lah menjadi pelajaran untuk kita semua agar tak terulang di kemudian hari. Perkara bagaimana kelanjutan rumah tangga kalian, itu hak kalian masing-masing. Yang pasti, selesaikan masalah kalian dengan kepala dingin dan jangan lantas menghubungi orang tua dengan alasan perselingkuhan kalian. Kalau pun nantinya orang tua kita masing-masing tahu, setidaknya jangan sampai membuat mereka terbebani dengan aib kalian. Bicarakan masalah ini jika waktunya sudah tepat."
Sungguh bijaksana Mas Agus, meskipun hanya kakak ipar tapi ia sangat bijaksana dan bisa merangkul adik-adiknya. Aku paham, ibu mertuaku punya riwayat penyakit jantung. Itulah sebabnya Mas Agus meminta kami semua untuk bungkam hingga waktunya tepat.
Hanum berjalan tertatih mengikuti suaminya masuk ke dalam mobil, sedang Mbak Mawar memilih bungkam sedari pagi tadi. Aku yakin ia pasti kecewa dengan sikap adiknya yang tak bermoral, terlebih ia adalah kakak tertua di keluarga Mas Akbar.
Rumahku kembali hening setelah kepergian Hanum, Bara, Mas Agus dan Mbak Mawar. Hanya aku dan Mas Akbar yang masih terduduk di sofa ruang tamu sejak tadi. Sebenarnya perutku sudah mulai keroncongan karena kedua mata ini dipaksa harus terjaga sejak pukul setengah satu dini hari tadi. Tapi rasanya mulutku tak berselera makan tiap kali teringat Mas Akbar diikat tangannya dengan Hanum dan di arak keliling desa. Hatiku sakit, patah tak berbentuk.
"Dek ...."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, panggil aku Anisa saja," kataku memotong perkataannya.
Bukan tanpa alasan, panggilan itu memang aku yang meminta sejak pertama kali ia meminangku. Dan kini, aku rasa panggilan itu tak perlu lagi ia sebut karena hatinya sudah bukan milikku lagi.
"Tolong. Beri aku ampun. Aku janji akan berubah, tak akan melakukan apapun yang akan menyakiti hatimu," tandasnya dengan mendekat kearahku dan berusaha meraih tanganku, tapi aku lantas menepisnya yang hendak menggenggam telapak tanganku.
Ia kembali tertunduk, selama dua tahun pernikahan ini ia begitu acuh padaku, aku kira ini hanya soal watak, tapi ternyata hatinya pun tak ubahnya seperti serigala berbulu domba. Menusukku secara perlahan tanpa ampun.
Triinngg
Sebuah notifikasi ponselku menyala, aku lantas mengambil benda pipih itu dan melihat siapa yang telah mengirimkan pesan padaku.
Ternyata, bukan seseorang menghubungiku secara pribadi melainkan seseorang mengirimkan sebuah video ke dalam grup ibu-ibu di desaku.
Viral! Mas Bara istri Mbak Anisa tengah diarak warga karena ketahuan berselingkuh dengan iparnya.
Bu Wati mengirimkan sebuah video dengan durasi sepuluh menit dan dengan catatan yang terasa sangat menyayat hati.
"Lihat, kelakuanmu bahkan sudah viral di luar sana."
Kutunjukkan layar ponselku padanya, tepat saat video ketika dirinya dan Hanum di arak oleh warga dengan disumpah serapahi oleh warga lainnya terputar. Hatiku puas sekaligus sakit, ketika aib keluargaku kini menjadi konsumsi warga.
Huufftt haaahh
Biarlah, setidaknya Mas Akbar telah merasakan karma instan dari apa yang telah ia lakukan.
"Kurang ajar! Bu Wati sudah mempermalukanku! Aku akan membuat perhitungan dengannya!" sentak Mas Akbar dengan lantas berdiri dan berjalan ke luar rumah.
Mulutku menganga melihat reaksi Mas Akbar. Apa ia benar-benar yakin, akan melabrak Bu Wati atas penyebaran video ini? Bukannya ia hanya akan malu sendiri nantinya?
Aku dan Kekasih SuamikuPart 28Satu tahun kemudian ...."Sarapannya sudah siap, Mas," ucapku pada Mas Chandra ketika aku baru saja menyiapkan dua lembar roti tawar dengan selai kacang di atasnya, juga susu hangat di samping piringnya."Iya, sebentar," jawabnya dari kamar.Aku tersenyum tipis, lalu melanjutkan menyiapkan sayuran yang hendak kumasak untuk makan siang. Namun, sebelum itu aku mengelus lembut perutku yang mulai menyembul.Ya, tepat bulan ini usia kandunganku sudah memasuki bulan ke tujuh, rencananya sepulang dari kantor Mas Chandra akan mengantarkanku pergi ke dokter untuk kontrol bulanan.Tak berselang lama, Mas Chandra menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di perut buncitku. Dia menciumi pipiku brutal hingga aku meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengupas bawang."Ini masih pagi, Mas," ledekku, membuatnya terkekeh kecil lalu melepaskanku."Kamu cantik banget hari ini," ujarnya.Aku mendengus, lalu mundur darinya. "Jadi aku cantiknya hari ini saja?"Dia tak han
Aku dan Kekasih Suamiku (27)“Kamu sudah tahu kalau Lusi kecelakaan?” tanya ibu ketika aku baru saja pulang bekerja.Aku memicingkan mata, “dari mana Ibu tahu?”Wanita yang telah melahirkanku itu tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arahku. “Apa kamu pikir gara-gara Ibu tidak perna bertanya padamu mengenai masalahmu lantas Ibu tidak tahu?”Sampai ibu berkata demikian pun aku masih belum paham mengenai apa yang beliau maksud. Memang selama ini aku sangat jarang sekali menceritakan masalah pribadiku pada ibu maupun bapak karena aku takut jika apa yang kuceritakan akan menganggu pikirannya.“Bu ….”“Sayang … selama ini Ibu dan Bapak hanya diam, tapi diamnya kami bukan karena tidak perduli melainkan kami memilih mengawasimu seperti sebelumnya,” kata ibu lagi memotong pembicaraanku.“Selama ini Ibu pun kesana kemari mencari informasi tentangmu dan semua yang berhubungan denganmu. Semua itu kulakukan karena semata-mata kami tidak ingin ada yang menyakiti hatimu, Nak.”Kedua mataku berkaca-k
Aku dan Kekasih Suamiku (26).Untuk beberapa saat kedua orang yang baru saja kubongkar rahasianya itu terdiam, terlebih dihadapan Lusi. Mana mungkin mereka akan mengakui kebobrokan masalalunya di hadapan anaknya?"Pa, Ma. Kenapa diam? Katakan apa yang sebenarnya terjadi."Aku tersenyum kecut, melihat orang yang hendak menghancurkan rumah tanggaku nyatanya justru akan hancur dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan 'karma'."Pak Akbar, Bu Hanum. Kenapa? Lebih baik jujur, bukan?""Lancang kamu!" bentak perempuan yang duduk di atas kursi roda itu.Bukan aku ingin menjadi wanita yang jahat, hanya saja mereka sudah lebih dulu menjahatiku. Mungkin dulu ibuku diam, dan menerima semuanya. Namun, aku tak terima. Mereka harus mendapatkan sanki atas apa yang sudah dilakukannya.Kulihat Pak Akbar menarik rambutnya kasar, lalu menatapku dan Lusi secara bergantian. Bisa kulihat jelas bahwa dia tengah tertekan dengan keadaan saat ini.
Aku dan Kekasih Suamiku (25).“Dari mana kamu yakin bahwa orang tuaku lah yang telah membuat hidup mamamu menjadi seperti ini? Dan juga, bagaimana kamu bisa yakin bahwa orang tuaku pula telah merebut semua milik mamamu?” tanyaku ketika telah duduk berhadapan dengan Lusi di meja nomor 8.Dia tampak santai, raut tenang tergambar jelas di wajahnya. Semua ini terlihat berbanding terbalik dengan apa yang biasa dia tunjukkan padaku. Jika biasanya dia selalu saja terlihat menjengkelkan tapi kali ini dia terlihat jauh lebih tenang.“Kamu tau hanya dari ucapan mamamu, kan?”“Mana mungkin aku bisa mempercayai orang lain, sedang aku yakin Mama tidak akan pernah berbohong kepadaku,” tandasnya begitu percaya dengan mamanya.Memang, kuakui bahwa di dunia ini tidak ada orang yang patut kita percayai selain perempuan yang telah melahirkan kita. Namun, bukankah seharusnya kitak boleh menelan kebenaran itu secara mentah-me
Aku dan Kekasih Suamiku (24).Aku masih tertegun setelah mendengar penuturan Mas Chandra mengenai alasannya mengenai foto itu. Rasanya kini untuk percaya dengannya terlihat sangat lah sulit, karena aku pernah dikecewakan olehnya."Hanan, kamu percaya, kan?" ucapnya lagi ketika aku masih terdiam.Jika dilihat dari gerak-gerik dan mimik wajahnya, dia terlihat seperti benar-benar tidak berbohong. Namun, bukankah tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengannya?"Terserah, sekarang kamu kamu percaya atau tidak denganmu. Namun, yang pasti aku telah mengatakan semua kejujuran ini padamu."Hatiku bimbang, sejujurnya aku sangat ingin percaya padanya. Aku juga tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena wanita seperti Lusi."Baik, aku percaya. Tapi jangan memaksaku untuk bersikap baik seperti dulu lagi," tuturku setelah beberapa saat memikirkan mengenai hal ini.Mas Chandra tersenyum, sepertinya dia memang menunggu jawaban ini dar
Aku dan Kekasih Suamiku (23).Pak Akbar masih menatapku heran, ketika dengan sengaja aku mengatakan tentang hubungan saudara antara diriku dan juga Lusi. Hatiku sudah terlanjur panas, terlebih setelah aku mengetahui semua kebenaran yang terjadi antara mama, papa dan juga Pak Akbar."Apa maksud kamu?"Aku memutar bola mata malas, lalu berdiri dan berjalan sedikit menjauh darinya. Bagaimana bisa, aku berbaik hati pada orang yang telah berbuat buruk pada mamaku. Bahkan dia juga tidak berniat mengakuiku sebagai anaknya."Tentunya Anda ingat bukan dengan Anisa dan Oki Wijaya? Sudah lah, aku lelah dengan sandiwara ini, Pak. Lebih baik, jika Anda dan istri Anda masih memiliki dendam pada kedua orang tuaku, jangan bawa-bawa aku dan Mas Chandra. Setidaknya aku hanya ingin rumah tanggaku ini baik-baik saja. Terlepas bahwa ternyata Anda adalah ayah kandungku, itu sudah bukan menjadi prioritasku lagi karena bagiku ayahku cuma satu, yaitu Papa Oki Wijaya."