Suara Di Bilik Iparku (5)
(Suamiku diarak warga karena berselingkuh)**
Aku tak tahu bagaimana jalan fikiran Mas Akbar, bisa-bisanya ia akan melabrak Bu Wati yang sudah mengunggah video saat ia tengah diarak warga karena kedapatan selingkuh dengan Hanum, Iparku. Seharusnya ia malu, bukannya malah melabrak Bu Wati. Aneh memang.
Mas Akbar terlihat sangat marah dan lantas berjalan ke arah rumah Bu Wati yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Aku hanya mengikutinya dari belakang tanpa berniat mencegahnya yang hendak melabrak tetangga kami itu.
"Bu ... Bu Wati. Keluar!" teriaknya lantang di depan pintu rumah Bu Wati, membuatku berhenti seketika di depan pagar rumah Bu Wati.
Tak puas dengan panggilannya yang memekakkan telinga, Mas Akbar pun juga menggedor pintu rumahnya kasar bak orang kesetanan. Hingga tak berselang lama, keluar lah sang tuan rumah dengan wajah tak kalah garangnya dengan Mas Akbar.
"Lho, Mas Akbar. Ngapain, to? Kok berisik banget di depan rumah orang?" ucap Bu Wati marah karena Mas Akbar telah membuat keributan di rumahnya.
"Bu. Sebenarnya apa mau anda sampai menyebarkan video tentang saya semalam?" cecar Mas Akbar sukses membuat para tetangga lainnya ikut keluar lagi dan menghampirinya yang sedang marah-marah di tempat Bu Wati.
Bu Wati tertawa, lalu menyilangkan tangannya di dada.
"Lha memangnya kenapa? Emang semua itu benar, kan? Fakta? Aku nggak mengada-ada, lho," jawab Bu Wati santai.
Memang selama ini beliau terkenal sebagai seorang warga yang kerap membuat keributan dengan menyebar berita-berita yang sedang hangat di lingkungan. Wajar, jika kejadian besar semacam ini tak luput dari bahannya bergosip.
Mas Akbar terlihat semakin marah, ia menatap perempuan yang lebih tua darinya itu dengan tajam. Bahkan sebelum ini kami sangat sopan padanya meskipun ia kerap bergosip yang tidak penting.
"Tapi tidak lantas menyebarkan video itu juga, Bu!"
Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka berdua, terlebih Mas Akbar. Sepertinya urat malunya sudah benar-benar putus.
Hampir semua tetangga kembali mengerubuti Mas Akbar, tapi kali ini dengan kasus yang berbeda yaitu melabrak tetangganya yang telah memviralkan perbuatannya. Lucu memang.
"Halah memangnya kenapa? Emang dasarnya punya kelakukan bej*t ya sudah ngaku saja, terima konsekuensinya."
"Hapus video itu atau aku akan berbuat yang tidak kamu inginkan, Bu!" hardik Mas Akbar murka.
Bu Wati ikut terpancing, beliau menyingsingkan lengan bajunya dan maju selangkah.
"Apa yang mau kamu perbuat? Katakan? Bahkan seluruh warga di sini pun sudah tau perbuatanmu itu, Mas Akbar yang terlihat berwibawa tapi ternyata berkelakuan busuk," ujar Bu Wati dengan penuh penekanan di akhir kalimatnya.
"Iya, betul."
"Betul banget, tuh."
"Bisa-bisanya selingkuh sama iparnya sendiri, di dalam rumahnya lagi. Nggak punya perasaan."
"Lebih baik ngaca sama perbuatanmu itu, Pak. Nggak usah koar-koar di rumah orang."
Riuh para warga menghakimi Mas Akbar lagi. Aku hanya bisa terdiam melihat kejadian ini dari kejauhan. Sebetulnya aku senang, tanpa perlu turun tangan sendiri nyatanya bisa membuat Mas Akbar malu dan terlihat buruk di hadapan orang lain. Tapi bukankah memang itu atas perbuatannya sendiri?
Jika sebelum ini mereka sangat memandang hormat Mas Akbar, semenjak kejadian ini sepertinya mereka tak lagi akan memiliki rasa sungkan padanya lagi.
"Kurang bersyukur apa dapet istri Mbak Anisa, bisa-bisanya masih selingkuh sama ipar."
"Kelakuan binatang."
"Sudah Bu Wati, unggah semua videonya ke sosial media biar dia kapok."
Aku tertegun dengan reaksi para warga dengan perbuatan Mas Akbar. Terlebih baru kali ini mereka seakan mendukung aksi Bu Wati gemar menggosip itu. Mungkin perbuatan Mas Akbar benar-benar membuat mereka murka.
Mas Akbar pias, sepertinya ia mulai menyadari bahwa tindakannya keliru. Justru hal ini membuatnya semakin malu.
Ia beringsut mundur, lalu berjalan melewati kerumunan para warga yang didominan oleh para ibu-ibu.
"Eh, mau kemana, Mas Akbar? Malu, ya? Nggak jadi ngelabrak saya?" teriak Bu Watu dari terasnya.
Sedangkan para warga lainnya menyoraki Mas Akbar yang telah berlalu dengan muka merah padam menahan amarah.
"Kalian semua dengar! Akan aku tandai siapa saja yang sudah mengejekku kali ini maka suatu saat kalian akan meminta maaf padaku!" tandas Mas Akbar semakin tak punya rasa malu.
"Huuu dasar pezina!"
"Nggak punya malu!"
Sorak para warga lagi ketika Mas Akbar melewati mereka yang masih berkerumun.
Terbuat dari apa Mas hatimu itu? Seharusnya kejadian ini bisa menjadi pelajaran untukmu, tidak malah menjadikanmu merasa semakin sombong.
"Anisa! Pulang!" teriak Mas Akbar ketika ia sampai di depan pagar rumah kami.
Tak kusangka, ia masih bersikap semena-mena denganku setelah kejadian ini. Apa kejadian ini belum cukup membuatnya sadar? Jika memang iya, akan aku lakukan sampai ia merasa sangat menyesal.
"Mbak Anisa, saya ikut prihatin atas semua yang terjadi semalam. Kami yakin Mbak Anisa pasti kuat," tutur salah seorang ibu-ibu padaku dengan diikuti anggukan kepala oleh beberapa teman lainnya.
Aku hanya tersenyum tipis, membalas perkataan mereka yang begitu tulus memberiku semangat. Tak kusangka, yang awalnya kukira aku pun akan ikut dikucilkan nyatanya mereka malah sangat prihatin kepadaku.
Mereka pun lantas membubarkan diri saat Mas Akbar telah benar-benar masuk ke dalam rumah kami lagi dan tak berani keluar. Namun, aku yang juga hendak meninggalkan rumah Bu Watu tiba-tiba saja terhenti saat sang pemilik rumah memanggilku.
"Ya, ada apa, Bu Wati?"
"Sini dulu, Mbak. Kita ngobrol sebentar," ucapnya dengan mengayunkan sebelah tangannya agar aku mendekat.
Terpaksa, aku pun menurutinya dengan mendekat kearahnya yang masih berdiri di teras.
Dahiku berkerut, apa yang mau Bu Wati bicarakan. Biasanya dia selalu membuat keonaran di lingkungan ini.
Aku dan Kekasih SuamikuPart 28Satu tahun kemudian ...."Sarapannya sudah siap, Mas," ucapku pada Mas Chandra ketika aku baru saja menyiapkan dua lembar roti tawar dengan selai kacang di atasnya, juga susu hangat di samping piringnya."Iya, sebentar," jawabnya dari kamar.Aku tersenyum tipis, lalu melanjutkan menyiapkan sayuran yang hendak kumasak untuk makan siang. Namun, sebelum itu aku mengelus lembut perutku yang mulai menyembul.Ya, tepat bulan ini usia kandunganku sudah memasuki bulan ke tujuh, rencananya sepulang dari kantor Mas Chandra akan mengantarkanku pergi ke dokter untuk kontrol bulanan.Tak berselang lama, Mas Chandra menghampiriku dengan melingkarkan tangannya di perut buncitku. Dia menciumi pipiku brutal hingga aku meletakkan pisau yang kugunakan untuk mengupas bawang."Ini masih pagi, Mas," ledekku, membuatnya terkekeh kecil lalu melepaskanku."Kamu cantik banget hari ini," ujarnya.Aku mendengus, lalu mundur darinya. "Jadi aku cantiknya hari ini saja?"Dia tak han
Aku dan Kekasih Suamiku (27)“Kamu sudah tahu kalau Lusi kecelakaan?” tanya ibu ketika aku baru saja pulang bekerja.Aku memicingkan mata, “dari mana Ibu tahu?”Wanita yang telah melahirkanku itu tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arahku. “Apa kamu pikir gara-gara Ibu tidak perna bertanya padamu mengenai masalahmu lantas Ibu tidak tahu?”Sampai ibu berkata demikian pun aku masih belum paham mengenai apa yang beliau maksud. Memang selama ini aku sangat jarang sekali menceritakan masalah pribadiku pada ibu maupun bapak karena aku takut jika apa yang kuceritakan akan menganggu pikirannya.“Bu ….”“Sayang … selama ini Ibu dan Bapak hanya diam, tapi diamnya kami bukan karena tidak perduli melainkan kami memilih mengawasimu seperti sebelumnya,” kata ibu lagi memotong pembicaraanku.“Selama ini Ibu pun kesana kemari mencari informasi tentangmu dan semua yang berhubungan denganmu. Semua itu kulakukan karena semata-mata kami tidak ingin ada yang menyakiti hatimu, Nak.”Kedua mataku berkaca-k
Aku dan Kekasih Suamiku (26).Untuk beberapa saat kedua orang yang baru saja kubongkar rahasianya itu terdiam, terlebih dihadapan Lusi. Mana mungkin mereka akan mengakui kebobrokan masalalunya di hadapan anaknya?"Pa, Ma. Kenapa diam? Katakan apa yang sebenarnya terjadi."Aku tersenyum kecut, melihat orang yang hendak menghancurkan rumah tanggaku nyatanya justru akan hancur dengan sendirinya. Mungkin ini yang dinamakan 'karma'."Pak Akbar, Bu Hanum. Kenapa? Lebih baik jujur, bukan?""Lancang kamu!" bentak perempuan yang duduk di atas kursi roda itu.Bukan aku ingin menjadi wanita yang jahat, hanya saja mereka sudah lebih dulu menjahatiku. Mungkin dulu ibuku diam, dan menerima semuanya. Namun, aku tak terima. Mereka harus mendapatkan sanki atas apa yang sudah dilakukannya.Kulihat Pak Akbar menarik rambutnya kasar, lalu menatapku dan Lusi secara bergantian. Bisa kulihat jelas bahwa dia tengah tertekan dengan keadaan saat ini.
Aku dan Kekasih Suamiku (25).“Dari mana kamu yakin bahwa orang tuaku lah yang telah membuat hidup mamamu menjadi seperti ini? Dan juga, bagaimana kamu bisa yakin bahwa orang tuaku pula telah merebut semua milik mamamu?” tanyaku ketika telah duduk berhadapan dengan Lusi di meja nomor 8.Dia tampak santai, raut tenang tergambar jelas di wajahnya. Semua ini terlihat berbanding terbalik dengan apa yang biasa dia tunjukkan padaku. Jika biasanya dia selalu saja terlihat menjengkelkan tapi kali ini dia terlihat jauh lebih tenang.“Kamu tau hanya dari ucapan mamamu, kan?”“Mana mungkin aku bisa mempercayai orang lain, sedang aku yakin Mama tidak akan pernah berbohong kepadaku,” tandasnya begitu percaya dengan mamanya.Memang, kuakui bahwa di dunia ini tidak ada orang yang patut kita percayai selain perempuan yang telah melahirkan kita. Namun, bukankah seharusnya kitak boleh menelan kebenaran itu secara mentah-me
Aku dan Kekasih Suamiku (24).Aku masih tertegun setelah mendengar penuturan Mas Chandra mengenai alasannya mengenai foto itu. Rasanya kini untuk percaya dengannya terlihat sangat lah sulit, karena aku pernah dikecewakan olehnya."Hanan, kamu percaya, kan?" ucapnya lagi ketika aku masih terdiam.Jika dilihat dari gerak-gerik dan mimik wajahnya, dia terlihat seperti benar-benar tidak berbohong. Namun, bukankah tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengannya?"Terserah, sekarang kamu kamu percaya atau tidak denganmu. Namun, yang pasti aku telah mengatakan semua kejujuran ini padamu."Hatiku bimbang, sejujurnya aku sangat ingin percaya padanya. Aku juga tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena wanita seperti Lusi."Baik, aku percaya. Tapi jangan memaksaku untuk bersikap baik seperti dulu lagi," tuturku setelah beberapa saat memikirkan mengenai hal ini.Mas Chandra tersenyum, sepertinya dia memang menunggu jawaban ini dar
Aku dan Kekasih Suamiku (23).Pak Akbar masih menatapku heran, ketika dengan sengaja aku mengatakan tentang hubungan saudara antara diriku dan juga Lusi. Hatiku sudah terlanjur panas, terlebih setelah aku mengetahui semua kebenaran yang terjadi antara mama, papa dan juga Pak Akbar."Apa maksud kamu?"Aku memutar bola mata malas, lalu berdiri dan berjalan sedikit menjauh darinya. Bagaimana bisa, aku berbaik hati pada orang yang telah berbuat buruk pada mamaku. Bahkan dia juga tidak berniat mengakuiku sebagai anaknya."Tentunya Anda ingat bukan dengan Anisa dan Oki Wijaya? Sudah lah, aku lelah dengan sandiwara ini, Pak. Lebih baik, jika Anda dan istri Anda masih memiliki dendam pada kedua orang tuaku, jangan bawa-bawa aku dan Mas Chandra. Setidaknya aku hanya ingin rumah tanggaku ini baik-baik saja. Terlepas bahwa ternyata Anda adalah ayah kandungku, itu sudah bukan menjadi prioritasku lagi karena bagiku ayahku cuma satu, yaitu Papa Oki Wijaya."