Mata Sansan melebar, sedangkan Raqib mengangguk meyakinkan.
"Lo kenal di mana?" tanya Sansan.
"Dia ini bos di tempat gue kerja," jawab Raqib santai.
"Hah, bos?"
"Iya. Pak Zidan Leonli. Cowok yang diidam-idamkan karyawan kantor. Untung gue nggak. Sayangnya dia udah punya pacar."
Dahi Sansan mengkerut. Pria itu sudah memiliki kekasih dan masih saja ke club? Sansan semakin membenci lelaki seperti itu.
"Emang kenapa? Lo punya utang sama dia?"
Sansan berdecak pelan. Ia menggeleng menjawab pertanyaan Raqib.
"Tujuan lo apaan, sih, San?" tanya Atid.
"Udah, deh. Kalian gak usah kepo, ya. Gue mau balik dulu. Bye!"
Sansan menarik tasnya, lalu berjalan ke dapur. Ia akan berpamitan dulu dengan Amira.
***
Zidan mengetuk meja di depannya beberapa kali. Menunggu memang membosankan, tetapi Zidan harus mempunyai kesabaran.
"Sorry, lama. Tadi macet." Itu merupakan alasan klasik yang selalu digunakan saat terlambat. Namun, Zidan hanya mengangguk tak ingin memperpanjang.
"Apa kabar?" tanya Zidan memulai obrolan mereka malam ini. Reni sudah duduk di depannya sekarang.
"Seperti yang kamu lihat."
"Doni kabarnya gimana?"
"Tanya sama Doni-nya, lah. Kenapa nanya sama aku?"
"Ya, kan, kamu pacarnya," sindir Zidan.
"Udah, deh. Kalau kamu mau berdebat sama masalah itu, aku pergi aja sekarang." Reni bangkit hendak beranjak dari situ, tetapi Zidan langsung menahan gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali.
"Aku nunggu kamu hampir dua jam, loh. Masa kamu main pergi aja."
"Ya udah cepat. Kamu mau ngomong apa?" tanya gadis berambut pendek dan beralis tipis itu.
"Kamu benar-benar ingin mengakhiri hubungan kita?" tanya Zidan serius.
"Sudah berulang kali, kan, aku bilang sama kamu. Aku gak mau nikah muda. Aku mau menikmati masa mudaku dulu, Mas!"
"Ya udah. Berarti, kamu rela, kan, aku menikah dengan orang lain?"
"Ya, terserah kamu. Aku nggak ada hubungan lagi sama kamu. Jadi, tolong urus diri kamu sendiri."
"Oke, jika itu yang kamu mau. Terima kasih untuk dua tahun ini."
"Tidak perlu berterima kasih, karena kemarin aku cuma mau main-main sama kamu. Aku sudah menyukai Doni sejak dulu," ucap Reni menusuk. Sakit? Tentu saja. Ternyata hanya Zidan yang tulus mencintai Reni.
"Jangan pernah temuin aku lagi," ucap Reni pergi meninggalkan Zidan di sana.
Zidan mengacak rambutnya frustrasi. Ia ingin menikah dengan wanita yang ia cintai dan Reni adalah wanita itu, tetapi tampaknya tidak ada lagi Zidan di hati Reni.
Reni keluar dari kafe itu dan langsung menuju mobil Doni.
"Udah, Sayang?" tanya Doni.
"Udah. Tapi, kamu serius, kan?"
"Serius, dong." Doni mendekati muka Reni, lalu mencium pipi gadis itu pelan.
"Aku nggak akan ninggalin kamu," ucap Doni tersenyum.
"Makasih, Sayang," ucap Reni mengusap pipi Doni.
"Ya udah, yuk! Kita bersenang-senang malam ini."
"Yuk!"
Doni merangkul pundak Reni masuk ke dalam mobilnya. Doni tersenyum miring, lalu masuk ke pintu pengemudi.
***
Satu minggu berlalu dengan cepat. Sejak kejadian itu, Sansan tidak lagi pergi ke club. Ia masih trauma dan tidak ingin terjadi hal yang sama untuk kedua kalinya.
Siang ini, Sansan mengantarkan Nuni ke rumah sakit untuk terapi kakinya. Dua tahun yang lalu, Nuni dan suaminya kecelakaan, menyebabkan kaki Nuni patah. Maka dari itu, sampai sekarang Nuni harus rajin terapi, agar kakinya bisa normal kembali.
"Nek, nanti kalau udah selesai terapinya, telepon aku aja, ya. Biar aku jemput, soalnya aku ada urusan sebentar."
"Baik, Nak."
"Ya udah. Aku tinggal sebentar ya, Nek," ucap Sansan. Nuni mengangguk saja.
Nuni duduk di ruang tunggu, untuk menunggu antrean namanya. Tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sebelah Nuni.
"Kamu beneran gak bisa jemput Mama?" tanya wanita di sebelah Nuni pada anak laki-lakinya.
"Nggak, Ma. Nanti Mama pulang sendiri aja, ya. Soalnya aku lembur sampai malam."
"Ya udah, deh."
"Yang penting, kan, aku udah nganterin Mama."
"Iya-iya. Ya udah, sana. Kembali lagi ke kantor."
"Iya, Ma."
Wanita itu tampaknya mendengkus saat anaknya sudah pergi meninggalkannya. Nuni hendak menyapa wanita yang seumuran dengan anaknya, tetapi namanya dipanggil untuk terapi. Nuni bangkit dan berjalan masuk ke ruangan.
Wanita yang duduk di samping Nuni menatap heran. Seperti kenal dengan nama itu.
***
Sansan mengambil uang di ATM. Ya, inilah alasan ia pergi meninggalkan Nuni tadi. Ia sudah tidak memiliki uang cash untuk membayar biaya terapi. Sisa uang di rekeningnya pun sudah menipis, karena Sansan tidak ke club lagi.
Saat mendorong pintu, mata Sansan beradu dengan seorang pria yang tak asing baginya. Sansan menatap mata itu tajam, dehaman laki-laki itu membuat Sansan tersadar dan langsung menundukkan pandangannya.
"Itu kan ...." Sansan sangat yakin jika pria itu adalah Zidan, tetapi pria itu tak mengetahui dirinya adalah Sansan. Apakah karena penampilan Sansan yang memakai baju panjang dan jilbab syari ini membuat Zidan tak mengingatnya?
Pintu ATM kembali terbuka dan Sansan masih di sana. Ia kembali menatap Zidan. Mencoba mengetes pria itu. Namun, Zidan hanya menaikkan satu alisnya. "Ada apa ya, Mbak?" tanya Zidan heran.
"Eh, ngg--nggak," jawab Sansan langsung menunduk.
Zidan hanya mengangkat bahu, ia merapikan jasnya, lalu melangkah meninggalkan Sansan di sana.
"Dia benar-benar nggak tahu siapa gue," ucap Sansan terkejut.
Dering telepon Sansan mengalihkan semuanya. Ia langsung menatap nomor tidak dikenal yang muncul di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang, Sansan langsung mengangkat telepon.
"Halo?"
"Assalammualaikum, Nak. Ini Nenek."
"Waalaikumsalam, Nek. Nenek pakai HP siapa, nih?" tanya Sansan terkejut.
"Oh, ini ... udah, nanti aja Nenek jelasin. Kamu kembali ke sini ya, Nak. Nenek udah selesai terapinya."
"Oke, Nek. Aku ke sana sekarang."
"Iya, Nak. Nenek tunggu, ya."
"Siap, Nek."
Sansan jadi penasaran, HP siapa yang dipakai oleh neneknya itu?
***
"Bagaimana, Bu?"
"Cucu saya mau ke sini jemput. Terima kasih, ya."
"Sama-sama, Bu."
Nuni mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. Nuni tidak bisa menelepon Sansan, karena kehabisan pulsa. Maka dari itu, Nuni hendak meminjam ponsel wanita yang duduk di sebelahnya. Ternyata, wanita itu adalah ... Wanti—mama Zidan.
Tiba-tiba Wanti menangis dan langsung memeluk Nuni yang membuat wanita tua itu terkejut.
"Ibu sama sekali tidak mengenaliku?" tanya Wanti terisak.
"Ma--maaf, namamu siapa?" tanya Nuni.
"Aku ... aku Wanti, Bu."
"Wanti?" Nuni terkejut dan langsung menutup mulutnya tidak percaya.
Wanti dan Nuni saling mengenal. Ada apa di antara keduanya?
***
Bersambung
***
Buat yang mau tahu apa yang terjadi, baca chapter selanjutnya, ya.
Terima kasih yang udah mau baca. Semoga suka:)
Salam hangat,
~Amalia Ulan
Sansan menatap Nuni yang sejak tadi tersenyum sambil menatap ke luar kaca mobil. Ya, Sansan memang memakai mobil untuk mengantarkan neneknya ke rumah sakit."Nek? Nenek ....""Eh, iya. Ada apa, Nak?""Nenek kenapa? Kok dari tadi senyum-senyum gitu?" tanya Sansan heran."Tidak apa-apa, Nak. Nenek cuma lihatin pemandangannya, bagus."Sansan semakin dibuat heran. Bagus apanya? Jika jalanan yang dilewati mereka hanyalah jejeran motor dan mobil yang berdempetan, karena sedang situasi macet.Sansan teringat dengan wanita yang duduk bersama neneknya di ruang tunggu tadi. Apakah ada kaitannya dengan wanita itu? batin Sansan."Oh ya, Nek. Aku boleh nanya, nggak?""Nanya apa, Nak?""Tante yang di sebelah Nenek tadi siapa? Nenek kenal sama dia?" tanya Sansan. Ia juga sedikit heran melihat tatapan ibu itu padanya."Emang kenapa, Nak?""Tante itu natap aku dalam banget, Nek. Aku pikir Nenek kenal sama dia.""Ya.
Hari itu tiba, di mana sang dua insan diperasatukan dalam status pernikahan. Dua pengantin yang akan menempuh hidup baru. Zidan sudah bersiap, jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya. Tangan Zidan dingin dan peluhnya sudah membasahi pelipis. "Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti dengan raut muka kecewa pada Zidan. "Tapi aku, kan, berhasil mendapatkan calon istri sendiri, Ma." "Bukan Reni yang Mama harapkan. Mama sudah menyiapkan calon istri yang baik untuk kamu, tapi sekarang kamu nggak jadi menikahi dia!" "Aku nggak tahu siapa gadis pilihan Mama, jadi nggak ada kewajiban bagi aku menikahi dia, Ma." "Intinya, Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti keluar dari kamar Zidan. Ia hanya bisa menghela napas gusar. Dering ponsel Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu. Nomor tidak dikena muncul di layar HP Zidan. Siapa, ya? tanya Zidan dala hati, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon. "Hallo?"
"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membuat jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya? "Saya tahu kau pun sama kagetnya dengan pernikahan dadakan ini, tapi kau tenang saja, saya akan menafkahimu dan memberikan semua kebutuhanmu." Dahi Sansan mengkerut saat Zidan berubah berbicara formal padanya. Ia jadi bingung untuk menjawab. "Terima kasih, Pak Zidan." Mata Zidan melotot saat wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu memanggilnya dengan sebutan Pak. Apa ia tak salah dengar? "Kau memanggilku Pak?" Sansan menunduk, menahan cekikikan yang akan keluar dari mulutnya. "Iya, karena aku tahu Pak Zidan tampak lebih dewasa. Sangat jauh dengan umurku yang masih belasan," ucap Sansan sopan, dengan suara yang lembut dan pelan. Zidan mengusap mukanya pelan. Baru mengetahui jika istrinya adalah seorang remaja. Apakah mamanya tak salah pilih? "Jadi,
"Zidny, kamu pikir saya mau bermain dengan anak kecil seperti kamu?"Sansan terdiam. Sedikit lega, karena ucapan Zidan bukanlah yang ia takutkan."Ambil selimut, tidur di sofa!" suruh Zidan."Kok di sofa, Pak? Kan kasurnya masih lapang," protes Sansan pelan."Jangan banyak protes. Cepat tidur di sana!" suruh Zidan. Sansan mengangguk saja, ia menarik selimut lalu membawanya ke sofa yang ada di kamar itu.Sansan langsung membaringkan badannya di sofa, walaupun sofa itu kecil, tetapi masih bisa menampung badan mungil Sansan.Zidan lalu mematikan lampu. Ia pun membaringkan badan di kasur, dengan keadaan gelap seperti ini, ia tak akan bisa melihat wajah anak kecil itu, pikir Zidan.Sedangkan Sansan, ia tak terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Sansan lebih suka tidur dengan lampu yang menyala. Setidaknya ada sedikit penerangan. Namun, sekarang semuanya gelap."Aku nggak bisa tidur kalau gini," ucap Sansan pelan. Ia lalu me
Tak terasa, matahari sudah berganti tugas dengan bulan yang menemani malam. Zidan berjalan mondar-mandir sembari menggigit ibu jarinya. Bagaimana jika wanita itu meminta pertanggungjawabannya? Zidan sudah menikah, bisa kacau semuanya. Sansan yang sejak tadi memperhatikan Zidan hanya menyunggingkan senyum sinis. Ia lalu memainkan ponsel di tangannya sebentar. Setelah itu, Sansan meletakkan ponselnya di nakas. Ia dan Zidan sama-sama di dalam kamar. Namun, Zidan tak menganggap ada Sansan di sana. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Bunyi notifikasi HP Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu, ia pun segera mengambil HP-nya yang tergeletak di kasur. Ada satu pesan belum terbaca. Zidan pun membuka pesan itu. 'Bagaimana? Jadi ketemuan sekarang, kan, Tuan Zidan Leonli Terhormat?' Zidan kembali mondar-mandir tak jelas sembari memegang ponselnya. "Ada apa denganmu, Pak?" tanya Sansan pura-pura tidak tahu.
Sansan masih terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Sansan kembali melihat Zidan yang menatapnya."Ya. Aku mencintaimu, Ren! Aku mencintaimu. Kenapa kamu tega selingkuhin aku, Ren? Kenapa kamu malah ...." Tiba-tiba Zidan memeluk badan Sansan membuat wanita itu terkejut.Sansan memutar bola matanya malas, sakit hati mendengar peruturan Zidan yang ternyata bukan mencintainya, tetapi dihantui bayang-bayang mantan. Sansan mendengkus pelan, ia pun mendorong badan Zidan melepaskan pelukannya. Namun, Zidan kembali memeluk Sansan.Akhirnya, wanita itu pasrah saja. Pasrah dianggap mantan Zidan yang amat ia cintai. Sansan jadi penasaran dengan mantan Zidan."Sayang, di sini dingin. Kita ke kamar, yuk!" ajak Sansan, karena sudah mengantuk. Zidan mengangguk saja. Lalu, Sansan membopong badan Zidan ke lantai dua, masuk kamar di mana mereka pertama bertemu.Sansan membantu Zidan berbaring di sana. Laki-laki itu menurut saja, ia sudah mabuk berat dan sulit t
"Hallo, Zid. Ini gue ... Alvian." Sansan terdiam sebentar. Apa tujuan sang mantan itu meneleponnya? "Zid. Gue mohon jangan ditutup teleponnya. Gue ada di belakang lo sekarang," ucap Alvian di seberang telepon. Mendengar kata di belakangnya, buru-buru Sansan menoleh, membalikkan sebagian badannya menatap pria yang sedang menelepon Sansan sekarang. Namun, Sansan kembali menatap depan, mengabaikan sosok Alvian yang berdiri di belakang. "Mau apa lo?" tanya Sansan cepat. "Gue ... gue ...." "Ish, cepetan. Mau apaan, ha?" "Gue kangen sama lo, Zid." Degh! Kenapa suara itu semakin mendekat? Sansan tak bisa mengelak, karena Alvian sudah berada di belakang punggungnya sekarang. Reni yang memperhatikan sejak tadi yakin, jika Sansan memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Tampak dari sorot mata Alvian yang sangat mencintai Sansan. "Ih, nggak usah pegang-pegang!" ucap Sansan melepaskan rangkulan
"Kamu telat lima puluh tujuh detik, artinya kamu harus dikasih hukuman." Suara Zidan yang baru saja masuk ke kamar langsung membuat Sansan terkejut, karena ia masih memasang sepatu. "Kan, tadi katanya kalau telat satu menit, Pak," protes Sansan. "Sama saja. Kamu tetap tidak on time. Hukumannya, buatkan saya kopi. Kita berangkat tiga puluh menit lagi," ucap Zidan dengan santainya, lalu berjalan ke kamar mandi. Sansan melebarkan matanya. Lalu, untuk apa tadi ia buru-buru jika tidak sekarang juga perginya? Argh, ingin rasanya Sansan mengetuk kepala Zidan. "Sabar, sabar. Huft," ucap Sansan mengelus dada pelan. Ia pun akhirnya keluar kamar pergi ke dapur untuk membuatkan suaminya itu segelas kopi. "Gini amat dapat suami," omel Sansan. "Loh, Zid. Nggak jadi pergi?" tanya Wanti yang berada di dapur. "Jadi kok, Ma. Pak--eh, Mas Zidan minta dibuatin kopi dulu katanya," jawab Sansan. "Oh. Ya udah. Zidan itu suka kopi manis, j