Share

RIVAL

Tapi, kesenangan itu menghilang begitu cepat setelah aku menyadari kelompok tahfidz ini hanya akan bertemu seminggu sekali, sama seperti ketika aku satu kelas ekskul bahasa inggris setahun yang lalu. Dan aku akan selalu menjadi pengagum setianya dari kejauhan. Sidiq menyadari apa yang sedang di pikirkan sahabatnya saat itu, ia pun mengeluarkan sebuah rencana baru.

“Gue yakin kok tahun ini lo bisa lebih deket sama Kintan.” ucapnya percaya diri.

“Karena?” Aku masih tidak yakin.

“Karena, lo kali ini sekelompok di kelompok tahfidz. bukan bahasa inggris pelajaran yang nggak lo suka kayak dulu.” Aku mengerti maksudnya.

Ada benarnya juga. Setidaknya aku lebih menyukai pelajaran tahfidz dari pada bahasa inggris, itupun karena orang tuaku selalu mendidik anak-anaknya dengan Al-Qur'an setiap hari setelah sholat maghrib dan subuh sehingga kesempatan menghafalku lebih banyak.

“Terus gimana caranya?”

“Gw punya ide. Pertama lo harus tambahin lima kali lipat waktu menghafal lo. setelah sholat subuh, dzuhur, ashar, maghrib dan isya’.” Kata Sidiq sambil menghitung menggunakan kelima jarinya.

Aku cukup terkejut. Memang ide yang gila. Dua kali sehari saja aku sudah sangat malas-malasan.

“Sanggup gak? tenang aja bro, gue bakal bantu lo menghafal,” lanjut Sidiq. “Demi Kintan.”

Ketika aku ingat kalau itu adalah untuk Kintan, akupun menyanggupinya.

Sidiq pun melanjutkan “Yang kedua, di pertemuan pertama nanti lo harus setor lebih awal, dan lo setorin semua hafalan yang udah lo hafalin sehari sebelumnya. sampai minimal nyamain hafalannya Kintan. Soalnya, gue denger-denger hafalannya yang paling banyak di angkatan kita.” Sidiq menjelaskan dengan menggebu-gebu “Ini bakal susah sih. Tapi gue yakin kok, lo pasti bisa.”

“Kintan udah sampai surah apa?”

“Gak tau. Gimana kalo tanya langsung aja, atau tanya temannya.” usul Sidiq.

“Temannya aja. Tuh si Salsa.” Salsa yang kukenal sebagai salah satu anggota geng Kintan kebetulan lewat di depan kami. “Lo aja yang nanya.” Aku mendorong Sidiq.

Sidiq pasrah. Aku sangat bersyukur punya teman yang sangat baik, setia dan selalu membantu seperti Sidiq. Walaupun kami juga masih sering bertengkar. Hanya pertengkaran kecil layaknya anak SD, seperti rebutan penghapus, tempat duduk, celana dalam (enggak deng) dan rebutan-rebutan lainnya.

Sidiq sudah selesai berbicara dengan Salsa dan kembali menghampiriku.

“Gimana-gimana?” Tanyaku segera.

“Al-Haqqoh.”

Aku cukup panik. Berarti aku harus menghafal satu surah Al-Ma’arij dalam waktu satu hari jika ingin membalap hafalannya. karena pertemuannya di mulai hari Jum’at besok. Tapi Sidiq lagi-lagi langsung menenangkan dan meyakinkanku kalau aku pasti bisa.

Di mulai dari saat itu, aku terus menghafalkan surah tersebut dan berulang kali menyetorkannya kepada Sidiq ayat demi ayat. Sampai aku pulang ke rumah pun aku tidak lepas dari Al-Qur'an, sepertinya kedua orang tuaku mengira kalau kepalaku baru saja terbentur sangat keras ketika aku di sekolah.

“Kalau mau di beliin sesuatu bilang aja kak...” sindir ibuku setelah sholat isya’, karena melihatku langsung mengambil Al-Qur'an lagi dengan terburu-buru.

“Enggak usah..” jawabku singkat dan kembali fokus mengahfal. Beliau semakin heran dengan tingkah anaknya hari ini dan hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Al-hasil rencana pagi itu untuk menyetorkan satu surah Al-Ma’arij berjalan lancar. Padahal kami hanya di sarankan menyetor lima ayat setiap minggunya.

Dan keajaiban demi keajaiban itu muncul, di mulai ketika pertemuan kedua seminggu kemudian.

Pagi itu setengah jam sebelum ustadzah Riri datang aku sedang fokus ke hafalanku untuk setoran nanti. Dan seorang perempuan datang memanggil namaku.

“Jundi.” panggil Kintan. Untuk pertama kalinya suara lembut nan indah itu menyebut namaku.

Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin, jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali seperti tabuhan drum-ban ketika upacara hari senin. Mataku masih terpaku kepadanya. Lidahku kelu, mulutku terkunci rapat, atau lebih tepatnya menganga. Aku tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun dan hanya menghasilkan suara seperti babi yang sedang meringkik. Tatapannya mencengkram hatiku.

“Jundi?” panggilnya lagi lebih pelan kali ini, sepertinya memastikan kalau aku tidak terkena serangan jantung barusan.

Kali ini aku bagaikan tersengat aliran listrik yang dahsyat sehingga membuatku tersadar.

“I...i..iya..” jawabku susah payah.

“Kamu udah sampai surah Al-Haqqoh?” Tanyanya.

“I..i.iya.”

“Wow hebat…” Kintan memujiku sambil tersenyum.

Aku berusaha mencerna apa yang baru saja aku dengar. Ya aku tidak salah dengar, dia baru saja memujiku. Aku terpana dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan seketika. Aku sudah tidak mempedulikan apa yang dikatakannya kemudian dan apa yang aku ucapkan setelah itu. Karena yang kuingat hari itu hanya senyuman dan pujiannya yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku.

Setelah pelajaran tahfidz selesai, Sidiq sudah duduk di kelas menungguku dengan kaki yang menyilang sambil bersandar layaknya seorang raja yang sangat bangga kepada perajurit tempurnya. Dia tertawa terbahak-bahak karena melihat eksperesiku ketika masuk kelas. Rencananya berjalan sempurna seperti biasa.

Semenjak saat itu Kintan menganggapku sebagai rival, dia selalu bertanya tentang hafalanku sebelum kami menyetorkannya kepada ustadzah Riri, begitu pula sebaliknya. Percakapan singkat itulah yang kutunggu-tunggu setiap hari Jum’at pagi seminggu sekali.

Dia akan menghampiriku dan bertanya “Jun, udah sampai ayat berapa?”

Kemudian aku menjawab pertanyaannya dan balik bertanya “Kalau kamu?” seperti itu seterusnya.

Setidaknya aku dapat menyaksikan senyuman paling indah sedunia selama sepuluh detik.

*

-Kintan.

Jundi yang kukenal sekarang dia adalah seorang siswa yang rajin. Entah mengapa setelah percakapan singkat dengannya setiap sebelum setoran itu membuatku selalu memperhatikan tingkahnya. Aku juga suka dengan caranya ketika menjawab pertanyaanku yang selalu terbata-bata, Lucu sekali. Menurutku dia bukanlah siswa yang genit dan selalu mencari perhatian kepada murid-murid cewek seperti siswa lainnya. Dia adalah murid yang pemalu dan pendiam.

Tapi, sepertinya Salsa beranggapan lain. Karena dia pernah satu kelas dengan Jundi di kelas tiga, “Jundi itu orangnya pemalas tau Kin. Dia juga suka melamun dan gak dengerin guru ketika di kelas.” Kata Salsa suatu hari. Aku hanya menyimak. Lagi pula aku tidak pernah satu kelas dengannya.

Suatu hari aku juga pernah mempergokinya ketika sedang melamun sendirian didepan koridor kelasnya saat jam istirahat, entah mengapa aku juga suka ketika melihat matanya yang sedang menatap kosong kedepan. Menurutku melamun bukanlah kebiasaan yang buruk, mungkin saja dia sedang memikirkan sesuatu. Karena, rata-rata orang yang suka melamun adalah orang yang kreatif, produktiv dan cerdas. Begitulah yang aku tahu dari sebuah blog yang tidak sengaja kubaca.

Kenyataannya Jundi memang anak yang cerdas, aku sudah membuktikannya di suatu pagi sebelum ustadzah Riri datang.

Aku menghampiri Jundi di tempat biasanya ia mengulang-ulang hafalan. Bedanya kali ini aku tidak langsung bertanya sudah sampai mana hafalannya, tapi yang kulakukan adalah duduk sila di depannya dengan Al-Qur'an sudah di tanganku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status