Share

Suka Tapi Tak Cinta
Suka Tapi Tak Cinta
Penulis: Jundana Al haq

PROLOG

-Jundi.

“Yaudah kalo gitu lo lupain aja Men. Mau sampai kapan Lo kayak gini terus?” ucap sahabatku Amir, pelan, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia kelihatan sudah sangat putus asa menasehatiku.

“Gue gak bisa Mir. Gue udah berusaha sebisa mungkin buat ngelupain dia, tapi tetep aja gak bisa.” Jawabku sambil terus memainkan sebatang rokok ditangan yang belum kunyalakan semenjak setengah jam yang lalu ketika aku duduk di warkop ini.

Kali ini Amir diam tidak menjawab, entah apa yang sedang dia pikirkan. “Ayo dong, yang gue butuh itu solusi bro.”

Amir masih diam. Aku mendorong bahunya untuk menyadarkannya dari lamunan. Tapi sedetik kemudian dia menggenggam tangan kiriku, sambil menatap tajam mataku. Perasaanku ga enak. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.

Aku panik dan berteriak “Dih apaan si lo!” Sambil menghindari wajah Amir yang sekarang jaraknya sudah tinggal satu jengkal. Aku gak tau kalau ternyata selama ini aku berteman dengan seorang gay.

“Jun,” ucapnya dramatis. ”Gue punya ide. Sini hp lo” ucapnya lagi, sambil merebut ponselku dengan cepat.

Aku diam tidak tahu harus berbuat apa. Karena, intinya aku lega mengetahui Amir bukanlah seorang gay seperti yang kupikirkan. Itulah Amir, orang yang sangat freak.

Jarang bahkan hampir tidak ada yang mau berteman dengan dia karena ke anehannya. Tapi ketahuilah, dia adalah anak yang genius. Mungkin beberapa orang tidak menyadari itu.

Beberapa saat kemudian dia mengembalikan ponselku. Aku mencari apa yang baru saja ia lakukan.

“Uhuuuk”. Aku tersedak lumayan dahsyat sampai air kopi keluar sedikit dari hidung.

Aku kaget bukan main mengetahui apa yang baru saja ia lakukan. Melebihi kagetku ketika mengira Amir adalah seorang gay.

Ternyata dia baru saja mengechat gebetanku di i*******m. Di sana tertulis, 'Besok malem kosong ga? Bisa ketemu di caffe upnormal, jam delapan?' Tulisnya singkat, padat dan jelas.

“Buset! Maksud lo apaan?!” Aku menatap ke arahnya untuk mencari jawaban. Tapi dia cuma cengengesan, memang orang yang aneh.

“Mir!” aku semakin marah melihat reaksinya.

“Yaudah, kalau lo ga setuju tinggal hapus aja.”

Ketika aku ingin menghapus chat tersebut. sedetik kemudian terdapat pemberitahuan di bawahnya ‘baru saja di lihat’. “Matilah gw.”

Ponselku tergeletak pasrah di atas meja.

Amir  melirik, “Ups” ucapnya santai, masih dengan senyumnya yang menyebalkan.

Kami memperhatikan dengan seksama apa yang akan terjadi di ponselku selanjutnya, seakan-akan ponsel itu akan meledak kapan saja. Detik demi detik berlalu. Tidak ada jawaban darinya. Aku semakin panik ketika berfikir apakah Kintan sedang merasa ilfil kepadaku. Sepertinya Amir juga berfikir demikian. Karena dia mengatakan sesuatu dengan sangat pelan, “Sorry..”

Hening.

Aku masih menahan nafas dengan pandangan tidak teralih dari ponselku, berharap ia menjawab apapun itu. Amir  menunduk dengan perasaan bersalah kali ini, ketika sebuah notif muncul dari layar ponselku ‘tutturuttut’.

Secercah harapan muncul kembali. Aku segera mengambil ponsel tersebut, terdapat notif baru bertuliskan 'Kuota anda tersisa 200mb, segera isi pulsa sekarang juga’ dari operator.

Untuk saat itu, aku sangat ingin membanting ponselku. Aku menutup muka dengan kedua tangan. Entah mau kutaruh di mana muka ini.

Amir merebut ponselku untuk mengetahui apa yang baru saja kulihat. Dilihat dari mukanya dia sangat tidak menyesal. Dia tersenyum.

“Apa yang lucu?!” tanyaku kesal.

Kemudian senyumnya berubah menjadi tawa sambil menunjukkan apa yang terdapat di bawah notif pemberitahuan kuota itu. Ya aku tidak salah lihat, disana bertuliskan “Oke” dari Kintan. Hanya ‘oke’.

Aku mematung. Sedangkan Amir meraih rokok yang ada di tanganku. Memasukkannya ke mulutku yang masih ternganga, kemudian menyalakannya dengan korek, sambil berbisik “congrat’s.”

“Trus gw harus gimana?” tanyaku yang sekarang ketakutan ketika membayangkan apa yang akan terjadi besok malam, dan menuntut Amir untuk bertanggung jawab karena dialah yang membuat ide gila ini.

“Gampang.” Amir bersiap-siap menjelaskan, “Pertama, lo harus datang setengah jam lebih awal.”

“Setengah delapan?”

“Yup. Yang kedua, lo harus ganti dulu outfit-lo. Mana mau dia ngeliat lo pake hoodie pengangguran kayak gitu.” Katanya sambil menarik jaket berwarna merah lusuh yang belum kucuci seminggu.

“Oke.. terserah lo deh, terus apa lagi?”

Aku pasrah dan akan mengikuti semua saran teman sekaligus dokter cinta di depanku ini. Amir terus menjelaskan semuanya dengan sangat detail. Dan aku terus mendengarkan ocehannya yang tanpa henti.

Jujur Amir sudah sangat-sangat membantu dalam kehidupanku dengan ide-ide gilanya. seperti saat kami telat masuk sekolah ketika sedang upacara hari senin. Atau, saat ingin melakukan presentase di depan kelas dengan teman sekelompoknya, yang akhirnya kami mendapatkan nilai A plus, padahal kami tidak mempersiapkannya sama sekali sampai pagi itu sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Itulah Amir yang sudah kukenal selama tiga tahun terakhir ini. Amir dengan tingkahnya yang ajaib.

Kata beberapa temanku, aku dan Amir adalah sahabat yang saling melengkapi. Dan aku juga berfikir demikian, karena memang begitulah kenyataannya.

Amir adalah orang yang analistis, detail dan teroganisir. Tak heran jika ia melakukan hal-hal dengan cara yang telah di rencanakan dengan baik. Sedangkan aku adalah orang yang lebih mengandalkan intuisiku daripada berpikir kritis. Atau lebih tepatnya kami bagaikan sepasang otak kiri dan kanan yang saling melengkapi. Mengingatkanku akan seorang sahabat yang sangat dekat denganku dulu, dan sekarang sudah tidak kuketahui bagaimana kabarnya.

*

-Kintan.

Kamarku terlihat cukup berantakan hari ini. Baju tidur yang kupakai semalam masih tergeletak di atas kasur. Di bawahnya ada remahan biskuit yang berceceran beserta bungkusnya yang belum sempat kubersihkan kemarin. Di atas meja belajarku tergeletak surat kelulusan dari pesantren semenjak dua hari lalu.

Seluruh kamarku dicat berwarna kuning cerah, tidak seperti perempuan pada umumnya yang identik dengan warna pink. Begitu juga kasurku dengan seprei bergambarkan pikachu yang tentunya juga berwarna kuning. Aku membaringkan tubuhku di atasnya, empuk dan terasa sangat nyaman.

Hampir saja aku terlelap ketika ponselku berderit menandakan chat i*******m masuk. Kubuka ponselku. Yang pertama kali kulihat di sana adalah jam sekarang menunjukkan pukul setengah empat sore. Kuklik icon i*******m. slide ke kiri. Ternyata chat dari teman SD ku, Jundi.

Aneh, ada suatu letupan kesenangan setiap kali aku membaca namanya. Tapi perasaan itu sudah lama hilang  semenjak tiga tahun yang lalu setelah aku masuk ke pondok pesantren.

Selama tiga tahun lebih aku menjaga perasaan itu. Perasaan itu lah yang menemani masa-masa SMP ku tanpa mengetahui bagaimana kabarnya dan apa yang sedang dia lakukan ketika aku memikirkannya. Hanya sosial media yang bisa menyatukan kami kembali di zaman era modern ini. Tapi tetap saja, Jika tersedianya teknologi tanpa adanya kepastian, sama saja seperti air hujan yang menetes tanpa dasarnya

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status