Share

KELOMPOK TAHFIDZ

-Kintan.

“Kak Kin… habis sholat, langsung di muroja’ah hafalannya.” Mamaku mengingatkan dari lantai bawah.

Entah kenapa orangtuaku selalu memanggilku dengan panggilan ‘kak’, padahal aku adalah anak semata wayang di keluarga kecil ini. Begitulah panggilanku dari kecil, aku juga tidak terlalu mempermasalhankannya. Bahkan mamaku juga suka memanggilku sebagai ‘tuan putri’.

Aku baru saja selesai sholat subuh dan segera menjalankan rutinitas seperti di pesantren kembali, yaitu memuraja’ah hafalan. Walaupun aku sudah lulus dari sana, bukan berarti aku akan meninggalkan semua yang telah mereka ajarkan kepadaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengamalkan dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.

Aku mulai memuraja’ah hafalan juz dua puluh sembilan. Ketika aku sampai pada surah Al-Haqqah, senyum tipis perlahan muncul di wajahku. Aku teringat saat menghafal surah ini di kelas lima SD. Ketika aku dan Jundi berlomba-lomba untuk menghafalkannya di aula sekolah.

*

“Kintan!” seseorang berteriak memanggilku. Itu adalah sahabatku Salsa, ia berlari ke arahku.

“Oi!” aku nyaut.

“Hafalan kamu udah sampai surah Al-Haqqoh?” tanya Salsa

“Iya, baru mau mulai.”

“Yah, berarti di kelompok ustadzah Riri ada dua orang yang punya hafalan tertinggi. Ayo Kin, jangan sampai ketinggalan sama dia, biar kelas kita dapat poin plus.” Salsa menyemangatiku.

“Satu lagi siapa?”

“Itu..” jawab Salsa pelan, sambil menunjuk kearah seorang anak laki-laki di pojok aula yang sedang serius membaca Al-Qur’an. Aku melirik ke arahnya dan langsung menepuk tangan Salsa ketika anak itu melihat kearah kami.

“Ssst...” ucapku lirih “Jundi?”

Aku hanya sedikit mengenalnya dari sosial media, karena tiba-tiba dia menge-like semua postinganku di I*******m setahun yang lalu. Ya, semuanya. Pada saat itu aku hanya berpikir Jundi hanyalah salah satu siswa genit dan selalu mencari perhatian seperti cowok-cowok lainnya.

“Iya..coba kamu tanya deh.” Salsa menyarankan.

“Ih nggak ah.” Aku menolak. Gengsi, Karena belum pernah berbicara dengannya.

“Loh kenapa? Biar kamu bisa tau dia udah sampai ayat berapa.” Salsa mendesakku.

Kemudian aku pun setuju dan menghampirinya.

“Jundi.” Sapaku.

“I..i..iya..” jawabnya sambil melihat ke arahku.

“kamu udah sampai surah Al-haqqoh?”

“I..Iya.”

“Ayat berapa?”

“Iya..eh..eee a..ayat sep..sep..sepuluh.” Jawabnya gugup, ntah kenapa.

Aku tersenyum tipis ketika melihatnya salah tingkah.

“Wow hebat! Cepet banget ngafalnya.” Pujiku.

Aku cukup kagum mengetahui ada murid laki-laki yang begitu giat menghafal. Ketika yang lainnya bermain-main sambil menunggu pembimbingnya datang, sedangkan dia sibuk mengulang-ulang hafalannya.

Setahuku seminggu yang lalu sebelum pertemuan kedua ini, hafalanku masih yang paling banyak. Kalau seperti ini, poin hafalan yang akan mewakili kelasku sendiri akan berada di bawah kelasnya.

Setelah percakapan singkat itu, aku segera mengambil Al-Qur’an dari tas dan fokus menghafal sebelum kusetorkan ke ustadzah Riri setengah jam lagi.

Sejak saat itu kami berlomba-lomba mengahfal. Dan tentu saja Jundi adalah satu-satunya sainganku. Aku cukup senang melakukannya, karenanya aku menjadi lebih giat menghafal lagi.

Ustadzah Riri juga pernah berkata kepada kami yaitu kelompoknya ketika selesai setoran. “Ayo di tambah lagi hafalannya. Yang semangat. Jangan mau kalah sama Jundi dan Kintan, karena Allah menganjurkan dalam surah Al-baqarah ayat 148, untuk fastabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan.”

Cukup aneh rasanya ketika memikirkan banyak orang yang tersentuh hatinya sampai meneteskan air mata ketika membaca surah ini, sedangkan aku malah tersenyum. Aku merasa sangat iri kepada orang-orang tersebut, “Astaghfirullahal’adzim.” Ucapku lirih.

Aku memang hampir melupakan seluruh kenangan yang mengingatkanku padanya. Tapi, terlalu banyak kenangan-kenangan itu untuk kulupakan satu persatu. Lagi pula saat ini aku sudah tidak menaruh perasaan lagi kepadanya.

*

-Jundi.

Kisahku dengan Kintan di kelas empat tidak begitu banyak. Hanya sekedar aku mengenalnya dan aku jatuh cinta padanya, pada pandangan pertama. Terlalu belia bagiku untuk mengenal yang namanya cinta di umurku sekarang.

Di kelas empat Sidiq juga menyuruhku untuk mengunduh aplikasi i*******m karena dia bilang Kintan selalu memposting foto dan story-nya di sana. Tapi, sayangnya aku belum boleh di izinkan oleh kedua orang tuaku untuk memegang handphone.

“Nanti kalo udah lulus.” Selalu seperti itu jawabannya. Menurut orang tuaku handphone memiliki pengaruh buruk bagi anak-anak. Sebagai anak yang baik, aku pun menurutinya.

Sidiq pun muncul dengan ide barunya. Dia mengajakku pergi ke warnet setelah pulang sekolah. Ini adalah pertama kalinya aku pergi ke warnet. Karena tentu saja orang tuaku juga melarang ini.

Sore itu aku nekat pergi dengan Sidiq menuju warnet hanya untuk membuat akun i*******m dan melihat-lihat i*******m milik Kintan. Sungguh, aku akan melakukan apa saja untuk semua yang berkaitan dengan-nya.

Tapi hingga saat ini, aku masih menjadi anak laki-laki di les bahasa inggris yang tidak berani mengungkapkan perasaannya. Jangankan untuk mengungkapkannya, menyapanya saja sudah membuatku keringat dingin.

*

Kelas empat berlalu begitu cepat. Kami naik ke kelas lima. Untuk pertama kalinya aku sangat menunggu-nunggu pembagian kelas di umumkan. Tentu saja aku berharap agar satu kelas dengan Kintan.

Tapi harapan itu pupus begitu saja ketika aku membaca daftar pembagian kelas di mading sekolah. Sudah berkali-kali aku mengulang membaca daftar nama-nama tersebut, tapi tetap saja namanya tidak tertulis di sana. Lagi-lagi aku tidak sekelas dengannya tahun ini.

Aku pun mengambil sikap yang sangat jantan setelah membaca mading tersebut. Percaya atau tidak aku menangis. Ya, kalian tidak salah baca, aku benar-benar menangis. Teman-temanku mengira aku menangis karena berpisah dengan mereka. “Udah jangan nangis Jun, kita masih satu sekolah ini kok..” ucapnya menenangkanku.

Ingin sekali aku berteriak kepadanya saat itu juga “GUA BUKAN NANGISIN LU!” Hanya Sidiq yang mengerti perasaanku saat ini.

Ya, setidaknya Sidiq masih sekelas denganku. Sidiq adalah sahabat pertamaku di sekolah ini. Kami selalu melakukan semuanya bersama-sama, dari pergi ke kantin sampai pulang sekolah. Di mana ada Sidiq disana ada aku dan begitu pula sebaliknya. Bahkan teman-teman sekelas sampai menyebut kami sebagai ‘biji’. yup, kalian mengerti kan maksudnya?.

Kami berdua bagaikan sepatu kiri dan kanan. Kami adalah ban motor depan dan belakang. Kami seperti kopi dan gula yang saling melengkapi satu sama lain, Sidiq kopi dan aku gulanya, bukan karena aku manis. Menurutku aku memang manis, tapi maksudku, aku hanyalah pemanis di setiap rencana yang Sidiq rencanakan. Seperti rencananya saat tahun ajaran baru di mulai.

“Jun! gue punya kabar bagus buat lo.” Sidiq menghampiriku dengan senyum lebar di wajahnya, ketika aku sedang membaca buku dongeng di perpustakaan sekolah.

“Apaan?” Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang kubaca.

“Nih baca!” dia mengeluarkan kertas dari kantong celananya.

Halaman depan kertas itu bertuliskan ‘Kelompok Tahfidz Ustadzah Riri’. dan benar saja, aku sangat senang mengetahui namaku dan orang yang kusuka tertulis di sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status