Share

SEBUAH JANJI

Keesokannya aku tiba di sekolah setengah jam lebih awal, padahal biasanya aku baru sampai ketika bel hampir berbunyi bahkan beberapa kali ketika gerbang sekolah sudah ditutup. Aku duduk di koridor depan kelas sendirian sambil memperhatikan semua murid yang baru saja datang. Berharap perempuan tersebut menunjukkan dirinya di tengah-tengah kerumunan.

Aku tidak perlu menunggu lebih lama, karena perempuan itu sudah tiba bersama lima orang temannya. Wajahnya yang berkulit putih dan bersinar bagaikan baru saja terkena air wudhu membuatnya terlihat paling mencolok di antara mereka. Melihat caranya tertawa yang lepas dan tidak tahu malu itu membuatku ingin tertawa juga bersamanya.

Aneh. Jika dipikir-pikir, kenapa aku baru bisa mengetahui kalau ternyata di sekolah ini ada perempuan secantik itu. Kemana aja aku selama empat tahun berada di sekolah ini.

“Jun, ngeliatin siapa?” tanya teman sekelasku Sidiq dengan senyuman di wajahnya, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.

“Enggak, lagi bengong aja.” Jawabku ngeles. Karena aku memang terkenal sebagai anak yang suka melamun di kelas.

“Boong lo, gue itu udah empat tahun kenal sama lo. Yang gue liat dari mata lo itu bukan lagi bengong, tapi sedang memperhatikan.” Ucap Sidiq sok tahu. Tapi memang benar kenyataannya begitu.

Aku dan Sidiq selalu sekelas dari kelas satu sampai sekarang. Entah kenapa guruku selalu menempatkan kami di satu kelas yang sama, padahal kami jarang berbicara dan juga tidak terlalu dekat walaupun selalu sekelas. Kami berbicara di saat-saat yang di perlukan saja, dan biasanya selalu Sidiq yang memulai pembicaraan, seperti sekarang contohnya.

Aku menoleh kearah Sidiq, sewot. “Dih sok tau.” Sidiq malah terkekeh. Orang yang aneh, pikirku. Mungkin karena inilah aku tidak bisa berteman dengannya. Sidiq orang yang sangat cerewet dan banyak bicara, sedangkan aku adalah anak yang pendiam di kelas.

Atau lebih tepatnya, Sidiq adalah murid yang rajin dan selalu duduk di kursi paling depan, dia juga tipe murid yang selalu mengingatkan guru ketika ada PR hari ini, tentu saja sifatnya itu membuat aku dan teman-teman sekelasnya kesal.

Sedangkan aku adalah tipe murid yang selalu duduk di kursi paling belakang, bukan karena aku anak yang nakal. Tapi aku adalah murid yang pemalas dan selalu mencoret-coret kertas atau meja ketika guru sendang menjelaskan, kecuali saat pelajaran yang kusukai yaitu SBK dan menggambar.

Sebetulnya ada kesamaan di antara kami, yaitu sama-sama tidak suka bergaul dan kami kutu buku. Bedanya Sidiq lebih suka membaca-baca buku pelajaran, sedangkan aku lebih suka membaca buku-buku fiksi seperti Harry Potter, Percy Jackson, Naruto dan semacamnya.

“Gue tau lo perhatiin siapa.” Katanya sambil meletakkan tangan di pundakku dan ikut memperhatikan perempuan tersebut.

Aku yang sudah tidak memiliki pertahanan untuk mengelak, mulai salah tingkah.

“Namanya Kintan, kelasnya yang paling pojok. Banyak yang suka sama dia. Dulu gue juga suka sama dia, tapi sekarang udah enggak.” Ucapnya terus terang.

“Kenapa udah enggak?” tanyaku penasaran.

“Tuh kan bener si Kintan ternyata.” ledeknya lagi karena sudah berhasil memojokkanku, “Hmm.. karena, udah banyak yang suka sama dia mungkin.”

“Yaa.. walaupun banyak yang suka, tapi kan pasti dia bakal pilih salah satu.” Kataku, seperti tidak terima dengan pemikirannya.

“Itu sih terserah lo. Kalo gue jujur udah ga suka sama dia, gue juga mikir mana mau dia sama gue. Coba lo pikir deh, dia itu cewek yang cukup populer di kelas, temennya banyak, orangnya rame, pinter, cantik, punya mobil juga. Sedangkan gue?” jeda, “Ciuman pertama gue aja waktu kelas dua di gelanggang samudra sama lumba-lumba.” Ucapnya dramatis.

“Iya juga sih.” Aku mengiyakan curhatannya, kemudian kembali memperhatikan perempuan yang ternyata bernama Kintan. Nama yang unik dan lucu ketika di dengar, sangat cocok dengan wajahnya.

“Apalagi sama lo. Mana mau dia sama si tukang bengong di kelas, pendek, introvert dan gak punya teman.” Lanjut Sidiq dengan santai sambil merapihkan rambutnya yang sebenarnya sudah rapih. Aku sadar kalau dia sedang mengejekku.

Aku cukup tersinggung dan berdiri menatap tajam ke arahnya, “Maksud lo apaan?!”.

“Ya lo kan emang tukang bengong, pendek, introvert dan gak punya teman.” dia mengulangi kata-katanya masih dengan wajah tidak bersalah.

Aku sewot dan berteriak ke mukanya, “LO KAN JUGA INTROVERT DAN GAK PUNYA TEMAN!”

“Lah kok lo jadi ngatain gue?!” Sidiq balik membentak, merasa tersinggung juga.

“Kan-lo-emang-introvert-dan-gak-punya-teman.” Balasku sambil membenarakan rambut, meniru gayanya.

“TAPI, GUE BUKAN TUKANG BENGONG KAYAK LO, GUE JUGA GA PENDEK!” Sidiq balas berteriak, gak mau kalah.

“GUE JUGA BUKAN ORANG YANG GAMPANG MENYERAH DAN PENGECUT KAYAK LO!.”

Chaos.

Emosiku semakin terpancing, dan mulai mengeluarkan semua kata-kata yang ada di pikiranku saat itu tanpa menyaringnya lagi.

“GUE BUKAN NYA NYERAH. TAPI GUE TAU DIRI. GAK KAYAK LO!”

“TERUS APA MASALAHNYA SAMA LO?”

“APA!”

“YA APA”

“APA”

“APA”

Kami saling melotot satu sama lain. Tanpa kami berdua sadari, ternyata semua murid yang ada di sana sudah mengerumuni kami, begitu juga dengan Kintan. Kami yang menyadari itu pun langsung terdiam. Hening seketika.

“Pukul! Pukul! Pukul!” salah satu murid berteriak memanas-manasi.

Tentu saja kami berdua tidak akan terpancing. Menjadi pusat perhatian seperti ini saja sudah membuat kami sangat malu. Aku beruntung karena bel masuk sekolah berbunyi tepat waktu dan para guru tiba, merekapun bubar dengan kecewa karena pertunjukkan kali ini tidak begitu seru. Begitulah yang akan terjadi saat sesama bocah culun dan kutu buku ketika bertengkar.

Terlepas dari rasa marahku kepada Sidiq. Aku lebih cemas memikirkan apa yang di pikirkan oleh Kintan terhadapku barusan. Apakah dia akan berfikir kalau aku adalah murid yang selalu membuat keributan, bagaimana kalau ia membenciku di saat pertama kali melihatku. Aku terus mencemaskannya selama pelajaran pagi itu, sampai bel istirahat berbunyi.

Kini hubunganku dengan Sidiq menjadi lebih jauh lagi, dan selama pelajaran tadi Sidiq jadi lebih pendiam. Tidak seperti biasanya yang selalu bertanya ketika ada sesuatu yang belum jelas baginya dan dia yang selalu pertama kali menjawab ketika di berikan pertanyaan. Aku jadi merasa bersalah atas kejadian tadi pagi, setelah di pikir-pikir, mengapa aku tadi harus marah ketika dia berkata yang sebenarnya tentangku.

Aku berniat untuk meminta maaf kepadanya, ketika seseorang berdiri di depan mejaku. Aku mendongak kearah orang tersebut. Sontak aku terkejut karena itu adalah Sidiq.

Sidiq mengulurkan tangannya dan berkata, “Maaf soal tadi. Gua janji bakal bantu lo, sampai lo dapetin dia. Gue yakin lo pasti bisa, gue tau lo bukan orang yang gampang menyerah dan pengecut kayak gue.” Aku balas menjabat tangannya dan sejak saat itu kami pun menjadi teman dekat.

...*...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status