Hilangnya Hana masih menjadi misteri. Banyak pihak yang mendesak Hadi untuk mengikhlaskan ketiadaannya. Hidupnya berantakan setelah ditinggal pergi wanita itu. Satu-satunya penyemangat hidup yang dia miliki.
Sungguh, Hadi bingung mana yang harus dia percayai. Sudah hampir sebulan Hana menghilang. Suami Sari pun belum juga kembali. Ini semakin menguatkan fitnah Sari bahwa Hana memang dibawa lari oleh suaminya. Risma pun terus mencecar anaknya bahwa Hana bukanlah menantu dan istri yang baik.
"Hadi, kamu baik-baik saja, Nak?"
Risma berseru dari luar kamar, beliau hendak menyuruh anaknya untuk makan. Sejak Hana menghilang, pria itu benar-benar tidak terurus, dia lebih sering melamun, malas bekerja, bahkan kurang menjaga kesehatan.
Hal itu membuat Risma kesal, seandainya dia membunuh Hana lebih awal, mungkin anaknya tidak akan menderita seperti ini. Sebagai ibu yang mencintai anaknya, dia tak rela anaknya terus-menerus menangisi kepergian Hana, menantu miskin yang dibencinya.
Sejak dulu, Risma adalah orang yang paling sibuk mengatur ingin calon menantu yang setara, yang pandai ini itu, yang sederajat, atau bahkan yang lebih tinggi untuk menaikkan pamor keluarga. Tapi, Hadi justru lebih memilih Hana.
Hana hanyalah perempuan biasa yang hidup berdua dengan neneknya sedari kecil, mereka hidup dengan mengandalkan upah dari hasil bekerja di kebun milik keluarga Hadi. Kadang-kadang Hana juga berjualan ikan di pasar, membantu sang nenek yang sudah sepuh.
Dia sudah lama memperhatikan gadis itu. Hadi kagum pada Hana karena dia termasuk perempuan yang ulet dan tekun. Mereka menjalin hubungan tanpa seorang pun tahu karena perempuan itu takut pada keluarga Hadi. Namun, Hadi selalu bilang bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah nenek Hana meninggal, Hadi berniat menikahinya. Tentu saja Risma kaget dan menentang keras keinginan anaknya. Risma heran kenapa Hadi ingin memperistri seorang buruh kebun seperti Hana, padahal masih banyak perempuan cantik, kaya, dan terhormat yang mau menjadi istrinya.
"Kang Hadi masih nggak mau bicara, Bu?" tanya Sarah, perempuan pilihan yang selalu dibangga-banggakan oleh bu Risma.
Tentu, perempuan berpendidikan tinggi dari keluarga terpandang seperti Sarah lah yang berhak menjadi istri Hadi, bukan Hana. Risma sempat marah karena Hadi menolak wanita pilihannya. Dan, alasannya hanya karena wanita kampungan itu.
Rencananya, Bu Risma akan menjodohkan kembali Hadi dengan Sarah, sekarang tidak ada yang bisa menghalanginya. Masa bodoh, Hana sudah tewas di tangan wanita itu. Semua warga desa pun percaya bahwa Hana sudah mengkhianati Hadi.
"Mungkin dia tidur. Ibu khawatir karena dia belum makan seharian ini."
Risma kembali mengetuk kamar Hadi, tetapi tak ada sahutan. Dia menekan daun pintu lalu mendorongnya, pintu tak terkunci. Kamarnya remang-remang, Hadi terduduk di ranjangnya. Melamun seperti orang linglung.
"Hadi, ayo makan dulu, Nak."
Risma mendekat, beliau mengusap rambut Hadi yang mulai memanjang karena tidak dipotong, jangankan mengurus diri sendiri. Keadaan dalam kamar yang berantakan pun tak dia pedulikan.
"Ibu benar-benar sedih kalau liat kamu terpuruk seperti ini. Sudahlah, Nak. Lupakan Hana, mungkin benar yang dikatakan orang-orang kalau istrimu itu lari bersama pria lain."
Bu Risma berusaha menenangkan Hadi, tapi kalimat itu sama sekali tidak membuatnya tenang, malah pria itu semakin terpukul.
"Kamu pria yang baik. Sayang sekali kamu mendapatkan istri seperti dia. Kalau saja dulu kamu mau nurut sama Ibu untuk menjodohkanmu sama Sarah, mungkin kamu tidak akan seperti ini. Kamu sekarang pasti sudah punya anak yang lucu-lucu."
Mendengar kata-kata ibunya, Hadi mendongak. Pria itu ingin marah, tapi tidak punya cukup tenaga. Setiap hari Hadi hanya meratap, mencari, dan menanti. Berharap Hana kembali ke pelukannya dalam keadaan sehat dan membantah anggapan orang-orang yang berbicara buruk tentangnya.
Tubuh Hadi sudah benar-benar lemas. Risma memekik saat melihat cairan merah pekat dan kental keluar dari hidung putranya.
"Hadi, kamu mimisan!"
***
Hilangnya Hana dan gunjingan tentangnya masih menjadi topik utama. Hana yang terkenal sebagai wanita santun dan cerdas dikabarkan sudah pernah berzina dengan suami Sari. Para warga mulai percaya dengan tuduhan itu.
Lilis semakin jumawa saja karena tidak ada seorang pun yang membantah atau mengklarifikasi kabar burung tersebut.
Akibat dari fitnahan itu, setiap kali orang mengingat nama Hana tak ada kesan baik tentangnya. Lilis terus menambah-nambahkan cerita. Warga semakin terhasut dan ikut percaya akan berita tentang Hana yang buruk itu.
Hadi pun dilarikan ke rumah sakit akibat keadaannya yang terus memburuk. Segala kabar burung tentang Hana membuat Hadi menderita. Risma kesal anaknya sakit karena terlalu memikirkan perempuan itu.
Sejak dulu sampai sekarang, Hana memang selalu jelek di mata Ibu mertuanya. Selalu ada hal yang dijadikan bahan kemarahannya pada Hana. Padahal Hadi sendiri tidak pernah mempermasalahkannya.
"Bu Risma." Salah satu pembantunya tergopoh-gopoh mendatangi Risma yang berada di kamarnya. "Bu, ada pak Gunawan di luar, katanya ingin bicara sama ibu."
Mata Risma membulat ketika mendengar nama itu, bergegas dia meninggalkan kamarnya tanpa banyak bicara, pergi ke ruang tengah di mana tangan kanannya itu tengah menunggu.
Rumah besar milik keluarga Hadi itu tak jauh dari tempat Awan. Hanya melewati dua bentang ladang, ada jalan besar yang telah dilapisi aspal. Dia ingin membicarakan sesuatu dengan majikannya terkait Hana yang terkubur di hutan malam itu.
Risma membiarkan Awan membicarakan duduk permasalahannya, wanita itu sudah was-was duluan. Khawatir kalau kedatangan Awan ke rumahnya adalah untuk mengabarkan bahwa mayat Hana ditemukan. Tidak boleh, tidak ada seorang pun yang boleh menemukan jasad menantunya.
"Sudah beberapa hari ini saya dihantui perasaan bersalah, Bu. Bahkan saya takut ke luar rumah." Hanya itu yang Awan ucapkan. "Apalagi Hana dulunya adalah tetangga saya."
Bu Risma manggut-manggut mendengar keluh kesah pria itu. Syukurlah bukan kabar buruk seperti yang dia takutkan. Risma pun menyunggingkan senyum dingin.
"Asih," seru Bu Risma.
"Ya, Bu."
"Salah satu hasil kebun kita tolong berikan pada Awan. Dan anggap semua hutang-hutangnya padaku lunas," katanya pada Asih yang merupakan orang kepercayaan di rumahnya. "Dengan ini kamu senang kan, Awan?"
Kepala Awan merunduk dalam. Dia tak berani menatap sang majikan. Dia juga tidak sanggup melanggar perintah. Awan tidak berani, kejadian yang menimpa Hana membawa ketakutan tersendiri baginya. Namun, dia tak berani melawan karena dirinya hanya orang biasa dan tak memiliki kuasa.
***
"Lis, apa kau merasakan suatu keanehan dalam beberapa hari ini?" Tanya Risma pelan. Lilis mengernyit tidak mengerti akan pertanyaan sang ibu.
"Tidak ada yang aneh, kecuali Mas Surya yang semakin hari semakin mengesalkan, dia tidak menyerah mencari Hana, bahkan ikut mencari bersama warga yang lain." Lilis berdecak kesal. Mengingat Surya yang masih sulit dikendalikan dan terus mencari Hana membuat suasana hatinya semakin buruk.
Surya semakin parah semenjak tersiarnya berita Hana menghilang. Pria itu sudah menebak Lilis lah dalang di balik hilangnya Hana karena diliputi rasa cemburu. Surya sangat tahu bagaimana buruknya perlakuan keluarga Hadi pada perempuan itu.
Sejak itulah pertengkaran demi pertengkaran terus berlangsung dalam hubungan mereka. Surya tidak lagi menghubungi Lilis, dia seolah menjauh dari gadis itu. Meski Surya sudah beberapa kali menekan kekasihnya agar jujur, Lilis selalu berdalih kalau dia tidak menyembunyikan Hana.
Surya semakin membenci Lilis, hubungan mereka merenggang karena tuduhan-tuduhan pria itu. Dan semua ini karena Hana. Ya, Lilis semakin membenci kakak iparnya itu.
Risma menghela napas lelah. Sepertinya hanya ia yang selalu mendapat mimpi aneh yang tidak ia mengerti. Sesungguhnya ia tidak percaya dengan keberadaan hantu, roh gentayangan atau semacamnya.
"Memangnya kenapa, Bu? Ibu tampak cemas. Apakah ada orang yang mengetahui kejahatan kita?"
Bu Risma menggeleng, sampai saat ini tidak ada satu pun manusia yang tahu keberadaan Hana, kecuali dirinya, Lilis, dan Awan. Tentu saja pria itu sudah diancam oleh Risma agar tetap tutup mulut. Seandainya Awan mulai nekat dan membocorkan rahasia tersebut kepada warga. Risma tidak akan tinggal diam.
"Lis, ayo ikut ibu. Kita pergi ke rumah Nyai Dasimah."
Bu Risma terlihat tergesa-gesa. Padahal di luar sana langit mulai mendung pertanda hujan sebentar lagi akan turun. Namun, Risma tidak peduli dan meminta Lilis bersiap-siap.
Melihat sang ibu tak ingin menunda waktu, Lilis segera mengikuti Risma. Tak lama kemudian, mobil hitam itu melaju membelah malam menuju rumah kecil yang berada di bawah bukit.
Rumah berbilik anyaman bambu mulai terlihat ketika Risma dan Lilis terus melangkahkan kakinya, menyibak setiap ilalang yang menghalangi jalan. Berbekal cahaya senter ponsel. Keduanya bergegas menuju rumah Nyai Dasimah.
Di sinilah mereka sekarang. Risma dan Lilis berdiri dengan tubuh sekaku patung batu. Mereka berdebar di hadapan Nyai Dasimah. Wanita tua dengan wajah setengah rusak itu melotot membuat mereka nyaris kehilangan kata-kata.
"Nyai," kata Risma menghaturkan sembah.
Nyai Dasimah terkekeh, membuat Lilis merinding. Wanita tua itu mempersilakan kedua tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Meskipun diselimuti rasa takut, Lilis dan Risma menurut dan mengikuti langkah Nyai Dasimah menuju ke dalam.
Aroma dupa dan kemenyan menyambut indra penciuman. Bahkan Lilis harus membungkam hidung dan mulutnya.
Kedua manik Lilis mengekspos interior gubuk tua itu. Rumah selebar lima meter itu hanya memiliki kursi bambu panjang dan meja kayu, serta beberapa ruangan tertutup. Lilis dan Dita diajak masuk ke salah satu ruangan yang dipenuhi kelambu hitam.
Di ruangan itu terdapat beberapa barang kuno seperti keris, kendi, pisau dan lainnya. Di sekelilingnya diletakkan sajen, bunga-bunga, dan kemenyan. Ada juga kerangka tengkorak di dekat perapian.
Lilis dan Risma duduk hanya di atas gelaran tikar hitam. Sebenarnya ia merasa jijik dengan semua hal yang ada di rumah nenek tua itu, tapi ia tahan egonya. Semua ini ia lakukan dengan maksud tertentu.
"Apakah ada sesuatu yang mengganggumu lagi?" kata Nyai Dasimah seolah bisa membaca keresahan Risma.
"Nyai, beberapa hari ini saya selalu mimpi buruk tentang si Hana. Dia selalu masuk ke dalam mimpi. Saya takut, apakah dia benar-benar sudah mati?"
"Hana" sebut Nyai Dasimah. Kemudian dukun itu terkekeh pelan, Lilis merasa ngeri saat melihat giginya yang menghitam.
"Kang, akhirnya pulang."Susi langsung tersenyum semringah ketika melihat Awan pulang ke rumah. Wanita itu sedang menyiapkan makan malam, menu makanan mereka tidak lagi telor ceplok dan sayur bening, setelah Gunawan menjadi tangan kanan Bu Risma, kehidupan ekonomi pasangan suami istri itu lumayan membaik.Mareka tidak lagi harus berhutang ke warung demi seliter beras untuk makan setiap hari. Rumah yang dulunya berdinding anyaman bambu jauh dari kata layak pun pelan-pelan berubah menjadi rumah gedongan."Apa kata Bu Risma, Kang? Apa yang beliau katakan?" Susi langsung menghujani suaminya dengan banyak pertanyaan.Awan memilih untuk duduk di sofa terlebih dahulu, sebenarnya hatinya sedikit cemas. Antara takut ketahuan oleh warga dan juga rasa bersalah karena sudah ikut andil dalam pembunuhan istri majikannya. 
"Rumah milik Mas Hadi yang di kota buat aku saja. Aku sama mas Surya kan tidak lama lagi akan menikah." Lilis berkata santai seolah tanpa beban. "Lagipula rumah itu tidak jadi dihuni, kan? Mbak Hana juga gak kunjung ditemukan." Hadi yang saat itu hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menusuk punggung tangan tidak punya daya untuk sekadar menjawab. Dia bahkan tidak memikirkan harta benda milik Hana yang perlahan dialih tangankan. Keadaan Hadi saat ini cukup mengkhawatirkan. Tubuhnya yang dulu berisi dan gagah--tipikal idola kaum hawa--langsung berubah menjadi kurus. Pipinya semakin tirus, Hadi seolah kehilangan dirinya sendiri. Dia linglung bahkan jarang menjawab setiap kali diajak ibunya bicara. Pria itu sering menjerit seperti kesetanan, berkali-kali Lilis dan Risma berusaha menenangkan. Namun, selalu berakhir dengan pria itu yang mengamuk. Risma pun terpaksa meminta bantuan dukun ke
Hadi berbaring di ranjang rumah sakit. Jarum infus menjadi teman di dalamnya saat ini. Sejak sakit bayang-bayang Hana selalu muncul, penyesalan terbesarnya setahun lalu di tempat ini.Saat itu, Hadi sempat memekik memanggil nama Hana sebelum akhirnya tubuh sang istri-benar jatuh menghantam lantai. Dia tidak sempat menyambutnya karena Hadi juga agak kaget melihat darah mengalir di sepanjang kaki istrinya."Pasien sebelumnya mengalami pendarahan hebat. Saya menebak, pasien pernah mengalami hal ini, kan? Karena dari hasil USG yang kami tadi, janin dalam kandungannya tidak berkembang dengan baik. U
"Belum, Lis. Aku belum mati."Lilis terbelalak. Dia berteriak seraya mundur menjauh, gadis itu masih tidak percaya dengan sosok yang berada di hadapannya. Bagaimana mungkin Hana masih hidup?"Pergi kau, pergi! Kau sudah mati!" Lilis berusaha menyadarkan diri.Sosok Hana terus mendekat, akhirnya mereka berdua saling berhadapan. "Lilis... aku masih hidup."
Risma terus mondar-mandir di ruang tengah, hatinya dilingkupi kecemasan. Bagaimana dia tidak cemas, malam itu Lilis pulang dengan keadaan mengenaskan, tubuhnya gemetar hebat, kepalanya berdarah, dia jatuh pingsan begitu keluar dari mobil. Risma langsung memekik melihat kejadian itu.Esok harinya Lilis terbangun dengan sorot mata ketakutan. Entah apa yang telah gadis itu lihat sampai begitu histeris. Risma sampai pusing mendengar teriakannya. Seolah-olah gadis itu baru saja melihat hantu."Bu, bagaimana ini. Hana masih hidup, Bu. Dia akan datang ke rumah ini. Tamatlah kita!" Lilis yang tengah duduk di sofa kembali gemetar, dia panik, sang ibu berusaha untuk menenangkan."Sudahlah, ini pasti cuma halusinasi kamu. Ibu kan udah bilang wanita itu sudah mati!""Tapi aku melihatnya, Bu." Lilis tetap ngotot. "Dia mencekik leherku kemudian membantingku ke tanah. Lihat ini." Lilis memperlihatkan bekas merah di
"Han-Hana ...."Tubuh Risma langsung gemetar melihat sosok yang ada di depannya. Wanita itu masih tidak percaya kalau yang berada di hadapannya saat ini adalah Hana.Dia bisa melihat sorot kebencian dari mata coklat keemasan itu, sorot dendam yang berkilat seolah ingin menghabisi ipar dan mertuanya. Dia bukan lagi Hana yang mereka kenal, wanita lemah itu sudah berubah menjadi begitu kuat sekarang."Apa yang kau lakukan di sini? Setelah berselingkuh dari Hadi, kau masih berani menginjakkan kaki di desa ini?!" tantang Bu Risma mencoba berani. Dia yakin Hana yang ada di depannya masihlah sesosok manusia. "Dasar wanita tak tahu malu!"Ah, bahkan ibu mertuanya masih saja belum berubah. Kasar dan arogan. Apakah Risma tidak takut tulangnya dipatahkan menjadi dua bagian oleh Hana?"Ini desa kelahiranku, Bu. Aku bisa pulang kapan saja." Hana menjawab dengan tenang."Pezina sepertimu tidak diterima di desa ini. Kembalikan suamiku, dasar wa
Duk! Duk! Duk! Duk!Saat sedang sibuk memikirkan segala kemungkinan, telinga Lilis mulai terusik oleh suara benda tumpul yang dipukulkan secara pelan pada papan kayu berulang-ulang. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Di luar sana langit sudah menggelap akibat mendung, tanda hujan sebentar lagi akan turun. Suara pukulan itu membuat tubuh Lilis menjadi tegang seketika.Suaranya ketukan benda tumpul itu berhenti pada ketukan ke lima. Sesaat hilang kemudian muncul kembali. Apakah itu ulah bu Risma yang terus mencoba membujuknya untuk keluar dari kamar?"Ibu, kaukah itu?" teriak Lilis lantang.Lama tak terdengar kembali suara ketukan benda tumpul dari arah pintu. Senyap. Nyaris tak terdengar suara apa pun. Bahkan suara para pembantu di rumah itu sama sekali tak terdengar di telinganya.Lilis mencoba memberanikan diri untuk mengecek keadaan. Dia tidak suka ditakuti, mana mungkin hantu Hana berani datang ke rumahnya? Perasaan
Mata gadis itu yang semula terpejam langsung terbuka. Pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah langit-langit kamarnya yang berwarna putih, sedangkan itu di sisi ranjang tampak sang ibu dengan sabar menunggunya sejak beberapa saat yang lalu."Lilis, kamu sadar." Risma mengelap air matanya dan segera mendekati tubuh Lilis yang terbaring di atas ranjang. Saat Lilis memaksakan untuk bangun dari kasur, kepalanya mendadak nyeri sampai-sampai harus dibantu oleh sang ibu."Bu, apa yang terjadi?" Dia berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi kepadanya beberapa saat yang lalu sampai bisa berada di tempat tidur seperti ini.Risma menghela napas kemudian menjawab. "Ibu juga tidak tahu, ibu sudah berkali-kali mengetuk pintu kamarmu, tapi tak ada jawaban. Saat kamu melihat ibu, kamu malah ketakutan dan jatuh pingsan."Lilis tersentak ketika sang ibu mengatakan hal itu, tubuhnya kembali bergetar hebat, dia mulai teringat kejadian sebelu