Share

Hana Bangkit Kembali

"Kang, akhirnya pulang." 

Susi langsung tersenyum semringah ketika melihat Awan pulang ke rumah. Wanita itu sedang menyiapkan makan malam, menu makanan mereka tidak lagi telor ceplok dan sayur bening, setelah Gunawan menjadi tangan kanan Bu Risma, kehidupan ekonomi pasangan suami istri itu lumayan membaik.

Mareka tidak lagi harus berhutang ke warung demi seliter beras untuk makan setiap hari. Rumah yang dulunya berdinding anyaman bambu jauh dari kata layak pun pelan-pelan berubah menjadi rumah gedongan.

"Apa kata Bu Risma, Kang? Apa yang beliau katakan?" Susi langsung menghujani suaminya dengan banyak pertanyaan. 

Awan memilih untuk duduk di sofa terlebih dahulu, sebenarnya hatinya sedikit cemas. Antara takut ketahuan oleh warga dan juga rasa bersalah karena sudah ikut andil dalam pembunuhan istri majikannya.

Saat itu Awan tidak punya pilihan, keadaan ekonomi yang sulit mendorongnya untuk menerima tawaran tersebut. Mungkin benar uang bukan segalanya, tapi tanpa uang, mustahil mereka bisa bertahan. Apalagi pekerjaan pria itu yang hanya seorang buruh serabutan. Penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri, hanya cukup untuk makan saja.

"Bu Risma ngasih kita separo dari hasil ladangnya," kata Awan tanpa semangat. "Akang bingung, Si. Apa Akang lapor aja ke polisi, ya?" Pria itu bimbang, dia menatap istrinya mencari keyakinan di sana.

"Akang berani ngelawan Bu Risma? Apa Akang gak takut kalo berani melawan, kita bakalan jadi korban selanjutnya?"

Susi tidak setuju dengan usul suaminya. Dia sudah bisa bernapas lega karena hidup serba berkecukupan. Susi tidak mau kembali jatuh miskin hanya karena tindakan bodoh sang suami. Lagipula mereka tak berani melawan orang-orang di balik keluarga Kusuma yang terkenal kejam itu. 

"Kamu gak takut kalo suatu saat si Hana balas dendam sama kita?" 

Susi menghela napas, wanita itu sebenarnya tidak percaya dengan hantu. Dia juga kaget ketika suaminya bilang telah membantu Bu Risma menguburkan Hana hidup-hidup. Bahkan sekarang sudah sebulan Hana menghilang, tapi wanita itu tidak juga ditemukan.

Tetangga-tetangga tak ada yang berempati sedikit pun, mereka semua telanjur terhasut oleh kabar buruk tentang Hana yang simpang siur. Semua orang yang dulunya kagum karena kesederhanaannya berbalik membenci bahkan tidak sudi kembali mengingatnya. 

"Sudahlah, Kang. Gak usah ikut campur sama keluarga si Hana. Pikirin aja gimana caranya kita bisa terus hidup. Syukur-syukur kalau ada orang baik yang menemukan si Hana di hutan, lalu merawatnya."

Susi berusaha meyakinkan sang suami, siapa pun yang berurusan dengan Bu Risma, jangan berani membela, selain celaka, mereka bisa kehilangan mata pencahariannya. Berurusan dengan orang kaya memang sebuah momok yang paling mematikan.

Hal itu pula yang membuat Susi dan Awan tak berani melaporkan kejadian pembunuhan Hana kepada polisi. Ketika Awan berniat melaporkan kasus itu pada pihak berwajib, utusan keluarga Kusuma datang dan memberi perhitungan dengan mereka.

Di samping letak kampung Cileuwi memang jauh dari kantor polisi, jalanan dan kendaraan yang tidak memadai pun menjadi kendala. Butuh beberapa jam untuk sampai ke kecamatan.

Pada akhirnya, Hana meninggal tanpa mendapat keadilan. Mereka yang takut masa depannya terancam memilih untuk bungkam dan tidak mencari gara-gara dengan keluarga Kusuma.

"Apa menurutmu tindakan kita udah bener, Si?"

"Kang!" Bentakan wanita itu membuat Awan seketika mendongak.

Susi berkacak pinggang sambil memelototi suaminya. "Aku sudah lelah hidup miskin. Kalau akang mau menghadapi Bu Risma, sana pergi sendiri! Tapi kalau Akang kenapa-kenapa jangan bawa-bawa aku!"

Memang, berurusan dengan keluarga Kusuma bukanlah perkara mudah. Apalagi mereka menikmati semua fasilitas yang orang kaya itu beri. Tentu, posisinya sekarang ini pasti akan goyah jika melawan Risma secara langsung.

"Baiklah kalau begitu, Akang tidak akan melakukannya. Akang minta maaf." Awan mengalah dan memilih untuk menyudahi perdebatan.

"Udah, ya. Jangan dipikirin. Susi belum siap kehilangan Akang, si Usman juga baru kelas 2 SD, masa akang mau tega bikin kita hidup melarat lagi?"

Gunawan menyadari hal itu. Benar, mungkin sebaiknya dia tutup mulut saja jika ingin hidup tenang. Lagipula sekarang kehidupannya sudah lebih dari cukup. Dia hanya tidak tega pada Hadi yang sakit keras akibat hilangnya sang istri.

Hana tidaklah seburuk yang orang tuduhkan. Hanya saja, nasibnya memiliki keluarga yang buruk, membuat perempuan itu harus meregang nyawa secara mengenaskan.

***

Pagi itu Lilis tengah bercermin di kamarnya. Dia menatap pantulan dirinya dengan penuh rasa percaya diri. Kulit putih, mata sipit, siapa yang tidak terpesona dengan kecantikan Lilis? Belum lagi dia berasal dari keluarga terpandang di desa Cileuwi.

Kehidupannya membaik. Rencana ibunya benar-benar mengubah suasana hati Lilis, bisa menyingkirkan Hana dari rumah memang merupakan sebuah keberuntungan. Tidak ada lagi yang bisa merebut Surya darinya. Lilis kembali dijuluki sebagai satu-satunya kembang desa.

Selesai menyisir rambut panjangnya dia  memasang jepit rambut berbentuk pita berwarna pink muda. Jepit itu dia ambil dari kotak perhiasan milik Hana. 

Barang-barang yang berada di kamar Hana sebagian dipindahkan ke kamarnya, perhiasan, baju bagus, sepatu, bahkan semua aksesoris mahal yang dibelikan Hadi semua diambil olehnya. Tak ada yang menghalangi niatnya karena sang kakak jatuh sakit dan tidak sadarkan diri di rumah sakit. Hal itu membuat Lilis leluasa untuk berbuat semaunya.

"Lilis Pridayanti, kamu adalah anak bungsu keluarga Kusuma yang paling cantik. Tidak ada yang bisa mengalahkanmu, bahkan ipar sialan itu." Dia berkata jumawa di depan cermin.

Tidak berapa lama, dia menghidu aroma anyir darah dari dalam kamar. Lilis menutup hidungnya seketika. "Bau apa ini? Apakah ada hewan mati di kamarku?"

Lilis berusaha mencari asal-usul bau amis darah tersebut. Baunya cukup menyengat sampai membuat perutnya bergolak menahan mual yang mendera. Padahal sejak tadi semua tampak baik-baik saja, tidak ada yang aneh dari kamarnya.

Saat Lilis berbalik ke hadapan cermin besar, di sana terdapat bayangan seseorang tengah mematung di sudut kamar. Lilis mengucek matanya demi menjernihkan penglihatan. Saat dia kembali membuka mata, bayangan sosok itu sudah menghilang.

"A-apa itu?" Lilis mulai gugup. "Apakah aku cuma salah lihat?"

Batinnya dilanda rasa takut. Namun, dia berusaha untuk tetap berpikir rasional. Hantu itu tidak ada. Lilis beralasan bahwa dia mungkin hanya salah lihat, menyangka baju yang tergantung di sudut kamar adalah bayangan sesosok manusia.

"Tidak ada apa pun di sini," katanya berani.

Tiba-tiba degub jantung Lilis semakin cepat, ketika tatapannya tertuju ke arah ranjang yang tertutup kain putih. Di bagian tengah, muncul noda merah yang semakin lama semakin melebar.

Bersamaan dengan munculnya noda darah tersebut, tercium bau kapur barus dan bau anyir darah.

Pelan, Lilis melangkah mundur. Matanya masih berfokus pada noda darah di atas ranjang yang semakin melebar saat itu.

Sungguh kejadian aneh yang tidak pernah Lilis lihat sebelumnya, bahkan noda darah itu perlahan mulai meneteskan darah ke arah lantai, hingga menimbulkan genangan darah kecil.

"AAAA!"

Suara teriakan menggema di kamar Lilis, ketika tanpa dia sadari kain putih penutup ranjang itu sudah menyembul ke atas. Seolah di dalam kain lebar dengan noda merah darah itu ada sosok tubuh manusia di baliknya.

"Bu ... Ibuuu!" Lilis menjerit, dia menutupi wajahnya sambil terus menjerit memanggil ibunya.

"Lilis, ada apa, Nak?"

"Bu ... Bu ...." Lilis langsung memeluk Risma, gadis itu gemetar ketakutan. Dia bahkan menangis.

"Apa yang terjadi?"

"Hantu ...." Lilis sesenggukan hingga perkataannya tak jelas. "Di atas kasur ada hantu, Bu. Hantunya penuh darah!"

Risma mengernyit. Dia memindai sekeliling kamar, juga tempat tidur yang ditunjuk oleh Lilis, tidak ada apa pun di sana. Bahkan selimut itu bersih tanpa noda tidak seperti yang Lilis katakan.

"Tak ada apa pun di sini."

Mendem hal itu Lilis langsung mendongak, dia melirik ke arah ranjang. Ibunya benar, tidak ada apa pun di sana, tapi yang tadi dia lihat seperti kenyataan. "Bu. Apa mungkin Hana menjadi hantu dan mau membalaskan dendamnya pada kita?

"Lis, jangan sembarangan bicara. Jangan sampai orang lain tahu apa yang kita lakukan padanya waktu itu." Risma memberi ancaman. "Seandainya hal ini bocor kepada Hadi, ibu yakin. Dia tidak akan memberi kita ampun."

Lilis menggeleng perlahan-lahan. Dia menunduk dan menggigit bibirnya. Hadi memang terkenal sebagai pria yang tegas. Dia tidak akan segan-segan menghukum siapa pun yang bersalah dan berada di balik kematian istrinya

"Tak ada Hana di sini, dia sudah mati. Dia terkubur di hutan angker, tak ada seorang pun yang berani memasuki hutan itu," kata Risma optimis.

Lilis mengangguk, dia menuruti ucapan ibunya dan menganggap apa yang tadi dia lihat hanyalah halusinasi semata. Sementara itu di luar jendela, tampak seorang perempuan dengan kepala ditutupi selendang merah marun memandangi ibu dan anak tersebut, sorot matanya tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status