Share

Bab 6. Rumah Sakit Ini Adalah Tanah Sengketa?

 'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'

Ehhh!

Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya.

"Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. 

"Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?"

"Boleh minta nggak?"

Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"

Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."

Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.

Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. 

"Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. 

Romi mengangguk. 

"Rom, apa kamu pernah dipaksa tanda tangan sesuatu oleh ibu tiri kamu dan menyimpan stempel keluarga?" tanyaku hati-hati.

Mendadak wajah Romi yang riang berubah menjadi merah padam dan memandangku dengan tatapan nyalang.

Tangannya yang masih menggenggam sendok bahkan mencengkeramnya erat-erat sampai buku-buku tangannya memutih. Dan Romi langsung menggeram.

Astaga! Dia langsung memberikan respon agresif jika mendengar tentang persoalan tanda tangan itu.

Aku menghela nafas dan tersenyum. "Romi, maaf ya kalau menyinggung perasaan kamu. Kalau kamu tidak mau cerita tidak apa-apa. Dan kamu harus ingat, saya hanya ingin menolong kamu. Dan berbeda dengan mereka yang hanya mendekatimu dengan modus. Saya percaya, kamu tidak mengalami gangguan jiwa. Saya ada di pihak kamu! Baiklah, saya pergi dulu."

Romi terdiam tapi raut di wajahnya masih seram.

Aku segera beranjak. 'Oke mari kita kumpulkan petunjuknya. Om Andri, Dimas, dan Bu Riana berkaitan dengan kumatnya Romi. Dan pencetusnya adalah tanda tangan dan stempel keluarga. Baiklah, aku simpan dulu petunjuk yang ada.'

***

Aku baru saja pulang dari rumah sakit, saat terlihat seseorang berambut cepak duduk menonton tivi bersama Anita, anak bungsu om Andri yang berumur 17 tahun.

"Hei Roy! Lama nggak jumpa loh. Aku datang ke sini saat kamu sedang dinas kan?" sapaku sambil meletakkan bungkusan bakso di meja makan. 

Lelaki yang kusapa itu menoleh. "Mbak Yulia! Tambah cantik saja. Sini Mbak, ngobrol bareng sama aku dan Anita!" Roy tampak excited menyapaku.

Aku tersenyum dan mendekat seraya bersalaman dengan sepupuku yang lebih tua dari segi umur tapi harus memanggilku 'mbak' karena aku anak bungsu dari budenya Roy.

"Cie mas Roy, akhirnya ketemu mbak Yulia!" seru Anita tertawa. Dan Roy langsung nendelik pada adiknya.

"Hahaha, itu kan guyonan masa kecil yang kita main manten-mantenan dulu, Nit. Sekarang beda lah!"

"Oh iya. Silakan ngobrol saja. Aku mau istirahat dulu. Kejadian hari ini agak melelahkan."

"Kamu perlu cerita sama aku?" tanya Roy.

Aku menggeleng. "Aku hanya butuh istirahat sebentar. Aku ke kamar dulu ya." 

Aku tersenyum dan tanpa menunggu jawaban Roy, aku masuk ke dalam kamar. 

***

Aku terbangun saat pintu kamarku diketuk. 

"Mbak, mbak Yulia, bangun."

Aku menggeliat dan mengucek mata, melirik jam yang menempel di tembok, ternyata sudah jam 6 malam. 

Aku bangun dari ranjang dan menuju ke arah pintu. "Lama amat tidurnya. Makan yuk."

Aku mengangguk. "Iya. Aku mandi dulu." Akupun melenggang melewati Roy yang berdiri di tengah pintu kamar. 

***

"Yulia kerasan di Lampung?" tanya tante Ambar, istri Om Andri saat makan malam. 

Aku mengangguk. "Alhamdulillah kerasan. Pasiennya unik-unik dan kawan-kawan sesama tenaga medis juga kooperatif dan menyenangkan," tukasku tersenyum

"Jangan lupa dengan umur. Keasyikan bekerja membuat orang lupa mencari pendamping hidup, seperti Roy." 

Tante Ambar melirik Roy yang tiba-tiba tersedak sehingga terbatuk-batuk. Aku tertawa.

"Tante, sebenarnya ada pasien unik di tempat kerja yang tampak waras tapi saat didatangi oleh keluarganya, dia kum ...,"

"Yulia, kalau makan jangan sama bicara. Nanti tersedak seperti Roy. Dan jangan bawa-bawa urusan pekerjaan ke rumah. Nanti bisa menghilangkan selera makan."

Om Andri memotong kalimatku. Aku tersenyum. "Iya Om. Maaf. Oh ya Roy, kamu libur berapa hari?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Sepuluh hari. Tentara kalau pulang dari ditugaskan ke daerah konflik, liburnya lama. Minimal enam hari."

Aku manggut-manggut. "Oh. Coba kalau pas liburan main-main kemana gitu Roy biar dapat jodoh," tukasku.

Roy terbatuk-batuk lagi lalu perlahan dia meraih segelas air putih dan meminumnya.

Roy menghela nafas dan menjawab. "Aku menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan cinta pada seseorang dari pulau Jawa."

Kini giliran aku yang terbatuk-batuk. Ada apa sih dengan laki-laki di sini. Hobinya menggombal semua.

***

Aku baru saja memberikan obat oral pada pasien saat melihat seseorang berambut cepak, berkulit sawo matang dan berbadan tegap berdiri di tengah taman bunga Bougenville.

"Roy! Kamu kok kesini?" tanyaku seraya berlari ke arah adik sepupuku yang berumur lebih tua dariku itu.

Roy menoleh dan tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat.. "Iya. Aku mengantar berkas papa yang ketinggalan."

"Sudah ketemu Om, belum?" tanyaku.

"Sudah. Tapi aku memang sengaja nggak ingin pulang. Mau lihat-lihat rumah sakit ini dulu. Kok beda banget sama kondisi 6 bulan yang lalu," jawab Roy sambil membelai bunga Bougenville di hadapan kami. 

"Sekarang semakin rapi, bersih, dan cantik. Seperti kamu, Mbak," sambung Roy lagi. 

Aku tertawa. "Emang di Mako kamu juga diajari nggombal?!"

Roy merengut dan menggeleng. "Tentu saja tidak. Itu murni dari hati kok. Aku emang nggak romantis. Tapi aku bukan pembohong. Seorang prajurit tidak akan pernah berbohong dan tidak akan pernah ingkar janji."

Aku tersenyum. "Iya wes iya. Ya sudah, aku mau kerja lagi," ujarku mulai melangkahkan kaki saat perkataan Roy menghentikanku.

"Kamu betah kerja di sini ya?" tanya Roy memandangiku.

Aku menoleh. "Alhamdulillah, bisa mengamalkan ilmu di sini, Roy."

Roy mengerutkan kening. "Padahal tanah di rumah sakit ini dalam proses semgketa loh. Papa nggak cerita sama kamu?"

Aku menggeleng. Wah, petunjuk baru! "Kok bisa sengketa Roy?"

Aku pun berusaha mengorek keterangan dari saudara sepupu dari pihak ibuku tersebut.

"Bisalah! Ceritanya panjang. Bahkan yang mempunyai sertifikat tanah ini adalah salah satu pasien yang dirawat di sini. Papa pernah cerita kalau namanya Romi."

Aku terbengong. "Kamu yakin?"

"Yakinlah. Papa pernah cerita kok."

"Sus ...!"

Romi tiba-tiba berdiri di belakangku.

Aku dan Roy berdiri bersamaan. "Siapa dia, Sus?" tanya Romi memandangi Roy.

"Sepupuku. Namanya Roy."

Romi cengengesan. "Tapi aku tetap percaya diri kalau suster Yuli ini jodohku."

"Kok bisa Rom?" tanyaku antusias. Sementara Roy terlihat terkejut. 

"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status