Home / Romansa / Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa / Bab 6. Rumah Sakit Ini Adalah Tanah Sengketa?

Share

Bab 6. Rumah Sakit Ini Adalah Tanah Sengketa?

Author: Ananda Zhia
last update Huling Na-update: 2022-08-16 06:06:21

 'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'

Ehhh!

Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya.

"Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. 

"Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?"

"Boleh minta nggak?"

Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"

Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."

Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.

Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. 

"Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. 

Romi mengangguk. 

"Rom, apa kamu pernah dipaksa tanda tangan sesuatu oleh ibu tiri kamu dan menyimpan stempel keluarga?" tanyaku hati-hati.

Mendadak wajah Romi yang riang berubah menjadi merah padam dan memandangku dengan tatapan nyalang.

Tangannya yang masih menggenggam sendok bahkan mencengkeramnya erat-erat sampai buku-buku tangannya memutih. Dan Romi langsung menggeram.

Astaga! Dia langsung memberikan respon agresif jika mendengar tentang persoalan tanda tangan itu.

Aku menghela nafas dan tersenyum. "Romi, maaf ya kalau menyinggung perasaan kamu. Kalau kamu tidak mau cerita tidak apa-apa. Dan kamu harus ingat, saya hanya ingin menolong kamu. Dan berbeda dengan mereka yang hanya mendekatimu dengan modus. Saya percaya, kamu tidak mengalami gangguan jiwa. Saya ada di pihak kamu! Baiklah, saya pergi dulu."

Romi terdiam tapi raut di wajahnya masih seram.

Aku segera beranjak. 'Oke mari kita kumpulkan petunjuknya. Om Andri, Dimas, dan Bu Riana berkaitan dengan kumatnya Romi. Dan pencetusnya adalah tanda tangan dan stempel keluarga. Baiklah, aku simpan dulu petunjuk yang ada.'

***

Aku baru saja pulang dari rumah sakit, saat terlihat seseorang berambut cepak duduk menonton tivi bersama Anita, anak bungsu om Andri yang berumur 17 tahun.

"Hei Roy! Lama nggak jumpa loh. Aku datang ke sini saat kamu sedang dinas kan?" sapaku sambil meletakkan bungkusan bakso di meja makan. 

Lelaki yang kusapa itu menoleh. "Mbak Yulia! Tambah cantik saja. Sini Mbak, ngobrol bareng sama aku dan Anita!" Roy tampak excited menyapaku.

Aku tersenyum dan mendekat seraya bersalaman dengan sepupuku yang lebih tua dari segi umur tapi harus memanggilku 'mbak' karena aku anak bungsu dari budenya Roy.

"Cie mas Roy, akhirnya ketemu mbak Yulia!" seru Anita tertawa. Dan Roy langsung nendelik pada adiknya.

"Hahaha, itu kan guyonan masa kecil yang kita main manten-mantenan dulu, Nit. Sekarang beda lah!"

"Oh iya. Silakan ngobrol saja. Aku mau istirahat dulu. Kejadian hari ini agak melelahkan."

"Kamu perlu cerita sama aku?" tanya Roy.

Aku menggeleng. "Aku hanya butuh istirahat sebentar. Aku ke kamar dulu ya." 

Aku tersenyum dan tanpa menunggu jawaban Roy, aku masuk ke dalam kamar. 

***

Aku terbangun saat pintu kamarku diketuk. 

"Mbak, mbak Yulia, bangun."

Aku menggeliat dan mengucek mata, melirik jam yang menempel di tembok, ternyata sudah jam 6 malam. 

Aku bangun dari ranjang dan menuju ke arah pintu. "Lama amat tidurnya. Makan yuk."

Aku mengangguk. "Iya. Aku mandi dulu." Akupun melenggang melewati Roy yang berdiri di tengah pintu kamar. 

***

"Yulia kerasan di Lampung?" tanya tante Ambar, istri Om Andri saat makan malam. 

Aku mengangguk. "Alhamdulillah kerasan. Pasiennya unik-unik dan kawan-kawan sesama tenaga medis juga kooperatif dan menyenangkan," tukasku tersenyum

"Jangan lupa dengan umur. Keasyikan bekerja membuat orang lupa mencari pendamping hidup, seperti Roy." 

Tante Ambar melirik Roy yang tiba-tiba tersedak sehingga terbatuk-batuk. Aku tertawa.

"Tante, sebenarnya ada pasien unik di tempat kerja yang tampak waras tapi saat didatangi oleh keluarganya, dia kum ...,"

"Yulia, kalau makan jangan sama bicara. Nanti tersedak seperti Roy. Dan jangan bawa-bawa urusan pekerjaan ke rumah. Nanti bisa menghilangkan selera makan."

Om Andri memotong kalimatku. Aku tersenyum. "Iya Om. Maaf. Oh ya Roy, kamu libur berapa hari?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Sepuluh hari. Tentara kalau pulang dari ditugaskan ke daerah konflik, liburnya lama. Minimal enam hari."

Aku manggut-manggut. "Oh. Coba kalau pas liburan main-main kemana gitu Roy biar dapat jodoh," tukasku.

Roy terbatuk-batuk lagi lalu perlahan dia meraih segelas air putih dan meminumnya.

Roy menghela nafas dan menjawab. "Aku menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan cinta pada seseorang dari pulau Jawa."

Kini giliran aku yang terbatuk-batuk. Ada apa sih dengan laki-laki di sini. Hobinya menggombal semua.

***

Aku baru saja memberikan obat oral pada pasien saat melihat seseorang berambut cepak, berkulit sawo matang dan berbadan tegap berdiri di tengah taman bunga Bougenville.

"Roy! Kamu kok kesini?" tanyaku seraya berlari ke arah adik sepupuku yang berumur lebih tua dariku itu.

Roy menoleh dan tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat.. "Iya. Aku mengantar berkas papa yang ketinggalan."

"Sudah ketemu Om, belum?" tanyaku.

"Sudah. Tapi aku memang sengaja nggak ingin pulang. Mau lihat-lihat rumah sakit ini dulu. Kok beda banget sama kondisi 6 bulan yang lalu," jawab Roy sambil membelai bunga Bougenville di hadapan kami. 

"Sekarang semakin rapi, bersih, dan cantik. Seperti kamu, Mbak," sambung Roy lagi. 

Aku tertawa. "Emang di Mako kamu juga diajari nggombal?!"

Roy merengut dan menggeleng. "Tentu saja tidak. Itu murni dari hati kok. Aku emang nggak romantis. Tapi aku bukan pembohong. Seorang prajurit tidak akan pernah berbohong dan tidak akan pernah ingkar janji."

Aku tersenyum. "Iya wes iya. Ya sudah, aku mau kerja lagi," ujarku mulai melangkahkan kaki saat perkataan Roy menghentikanku.

"Kamu betah kerja di sini ya?" tanya Roy memandangiku.

Aku menoleh. "Alhamdulillah, bisa mengamalkan ilmu di sini, Roy."

Roy mengerutkan kening. "Padahal tanah di rumah sakit ini dalam proses semgketa loh. Papa nggak cerita sama kamu?"

Aku menggeleng. Wah, petunjuk baru! "Kok bisa sengketa Roy?"

Aku pun berusaha mengorek keterangan dari saudara sepupu dari pihak ibuku tersebut.

"Bisalah! Ceritanya panjang. Bahkan yang mempunyai sertifikat tanah ini adalah salah satu pasien yang dirawat di sini. Papa pernah cerita kalau namanya Romi."

Aku terbengong. "Kamu yakin?"

"Yakinlah. Papa pernah cerita kok."

"Sus ...!"

Romi tiba-tiba berdiri di belakangku.

Aku dan Roy berdiri bersamaan. "Siapa dia, Sus?" tanya Romi memandangi Roy.

"Sepupuku. Namanya Roy."

Romi cengengesan. "Tapi aku tetap percaya diri kalau suster Yuli ini jodohku."

"Kok bisa Rom?" tanyaku antusias. Sementara Roy terlihat terkejut. 

"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa    83. Berakhirnya Angkara Murka (Tamat)

    Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj

  • Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa    82. Pencarian terhadap Romi

    Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i

  • Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa    81. Nyaris Terbunuh

    Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!

  • Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa    80. Romi Tertangkap

    Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan

  • Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa    79. Jebakan dari Konsumen

    Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id

  • Surat dari Pasien Rumah Sakit Jiwa    78. Pesaing Restoran Baru

    "Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status