Share

Bab 7. Dinner

"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!

"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"

Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh.

"Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.

Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" 

"Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."

Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. 

"Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"

Aku mengangguk.

"Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."

Roy melangkah maju. "Roy, please. Tunggu. Dia itu agresif kalau ditanya soal tanda tangan, sertifikat, atau sesuatu yang berbau seperti itu. Jadi tolong untuk kesehatan jiwanya jangan terburu-buru."

Roy memicingkan mata. "Dia? Si bule itu gangguan jiwa? Gak mungkin! Dia terlihat sangat sehat dan sangat bersih. Dia pasti pura-pura gila entah karena alasan apa."

"Roy, tadinya aku pikir dia gak bermasalah. Namun saat dia mengalami pencetus, dia itu bisa kumat dan mencelakai diri sendiri maupun orang lain. Jadi jangan gegabah menanyakan apapun yang berbau harta pada Romi."

Roy berbalik dan benar-benar menghadapku. "Mbak, kayaknya perhatian banget sama dia. Jangan bilang mbak jatuh cinta sama dia?!"

Aku tertawa. "Kamu jangan bercanda Roy! Aku melindunginya karena tak lebih dari posisiku sebagai perawat spesialis kejiwaan. Bukan karena aku ada perasaan khusus padanya."

Roy tersenyum. "Benarkah Mbak gak ada perasaan apapun padanya?"

"Sure! He is not my type."

Sejenak Roy menghela nafas. Mungkin menghembuskan nafas lega.

"Tapi aku harus menanyakan dimana sertifikatnya sebelum Romi waras dan menjual tanah ini, lalu kemana semua pasien pergi?"

Aku terkejut. 'Ternyata masalah Romi tidak sesederhana yang kupikirkan.'

"Wah seserius itu ya? Tapi tenang saja. Sepertinya Romi tidak akan tega membiarkan pasien di sini telantar, Roy."

"Darimana kamu yakin?" tanya Roy ragu.

"Hatiku yang mengatakannya."

"Pppftt! Jaman sekarang tuh dipikir pakai logika, Mbak. Jangan karena orangnya good looking semua perbuatannya terlihat baik."

Aku memandang Roy. "Tenang saja. Aku juga takkan membiarkan hal itu terjadi. By the way, aku kerja lagi ya," pamitku pada Roy. 

"Hm, iya."

Aku mulai melangkahkan kaki menjauh dari Roy saat tiba-tiba teringat sesuatu. 

"Roy, apa boleh aku bertanya tentang apa saja yang telah dikatakan Om padamu tentang rumah sakit ini?" 

Roy memandangiku dengan dahi berkerut. 

"Boleh. Tapi syaratnya diner dulu. Bagaimana? Bisa kan?"

Aku tertawa. "Kamu yakin mau diner denganku? Aku kan kakak sepupumu?"

Roy mencebik. "Memang kenapa kalau diner dengan kakak sepupu? Perasaan kan memang tidak bisa dibohongi?!" jawab Roy mantap. 

Kali ini aku yang mengerutkan dahi. Pak tentara kali ini aneh. Tapi demi mendapat keterangan tentang rumah sakit ini dan Romi, aku akan melakukan apapun.

"Sure. Jam berapa?"

"Jam 7 malam."

"Deal! Aku kerja lagi Roy," pamitku melambaikan tangan dan menjauh menuju kamar pasien di ruang Bougenville.

Romi tampak sedang tertawa sambil menumpuk batu-batu di antara rumpun Bougenville bersama beberapa pasien yang lain, saat aku mendekat.

"Sus, aku punya harta karun," lapornya dengan mata berbinar. 

"Wah, benarkah?" tanyaku ikut berlutut diantara para pasien. 

"Mana coba harta karunnya?" tanyaku tersenyum pada empat pasien yang sedang berkerumun di situ.

"Ini."

Romi memberikan sebuah batu berukuran segenggam telapak tangan padaku. 

Aku terkejut saat mendapati sebuah kertas tertempel di sana. Sepertinya Romi menggunakan nasi untuk melekatkannya ke batu.

"Baca saat sendiri," bisiknya di telingaku sambil cengengesan.

Aku mengangguk dan melepaskan secarik kertas itu dan langsung memasukkannya ke dalam saku seragam.

"Sus, tahu nggak bedanya suster sama harta karun?" tanya Romi sambil menatapku tajam.  

"Enggak tahu Rom. Emang apaan sih?" 

"Kalau harta karun bisa dimiliki dengan cara digali. Kalau Suster bisa dimiliki dengan cara dinikahi."

"Eaaaa ... Eaaaa ...." 

Pasien lain otomatis tertawa-tawa melihat kami sambil bertepuk tangan. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

 'Ah elah, serunya. Tapi aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Terlalu sering digombali pasien ODGJ ganteng tuh rasanya nano-nano. Ditolak tapi baper. Tapi kalau diterima, kok rasanya nggak mungkin. Dahlah. Aku baca surat ini saja."

"Main yang baik-baik ya. Jangan lupa yang hari ini keluarganya datang berkunjung, agar siap-siap di kamar masing-masing," tukasku dan mereka hanya tersenyum saja. 

"Suster kembali ke ruang perawat dulu ya," sambungku lagi sambil melambaikan tangan kiri pada mereka. Karena tangan kananku kumasukkan ke saku untuk memegang kertas pemberian Romi. 

"Tunggu Sus."

Aku membalikkan badan ke arah Romi. "Ya Rom?"

"Suster kidal ya?" tanya Romi dengan wajah polos.

"Enggak. Emang kenapa?"

"Kirain kidal, Sus. Soalnya Suster selalu pakai tangan kiri. Kiri-man Tuhan untukku."

Dan kali ini, pipiku benar-benar bersemu merah. Duh Gusti!!!

***

Aku ke kamar mandi dan membuka secarik kertas. Kertas itu berukuran mungil dan hanya terdapat sepotong tulisan alamat. 

"Tolong ke rumahku. Ini alamatnya."

Sebuah alamat tertera dengan jelas di bawah tulisan itu. 

Hanya itu saja yang ada di kertasnya. Seolah-olah dia tidak bisa bercerita panjang lebar tentang kondisinya di sini karena ada yang mengawasinya.

Aku menghela nafas. "Baiklah. Mari kira ke rumah Romi nanti setelah makan malam dengan Roy. Aku akan lihat ada apa di rumah Romi.

***

"Cantik amat, Mbak. Mau kemana?" tanya Anita saat aku keluar dari kamar. 

Aku memakai gaun lengan pendek selutut, warna ungu muda dan rambut sebahuku yang tebal kubentuk cepol ala Korea. Dan merias wajahku dengan foundation dan bedak tipis, maskara, dan lipgloss. Untuk eyeshadow dan pemerah pipi, aku masih belum terlalu bisa mengaplikasikannya. 

"Sudah siap?" tanya Roy keluar dari kamarnya. 

Roy tampak sangat tampan dan gagah dengan kaus semi sweater lengan panjang warna navi dengan celana bahan drill warna hitam. 

Kurasakan Roy dan aku sama-sama saling melotot. "Kamu keren kek Mas Iko Uwa*s," pujiku tulus.

Tak kusangka pipi Roy menjadi semerah tomat. 

"Mbak juga cantik. Mirip Jessica milla. Tapi mode gahar," kata Roy tertawa. 

"Asem."

"Dih, kalian mau kondangan ya. Ajakin aku dong. Gimana sih, kok aku ditinggal sendirian cuma sama satpam depan rumah. Mama dan papa ke kondangan juga." protes Anita.

"Kita mau jadi detektif." "Kencan!"

Tak kusangka aku dan Roy menjawab bersamaan.

Anita tertawa lebar. "Cie, detektif kencan! Semoga sukses ya," tukas Anita.

Roy mencubit pipi Anita dengan gemas. "Ya sudah, aku berangkat dulu, Dek," pamit Roy. 

***

Kafe dan resto dengan konsep indoor dan outdoor yang kami datangi terasa romantis. Dikelilingi pagar berupa tanaman mawar merah dengan lampu taman yang menyala indah. Dan di sepanjang jalan masuk dari gapura yang terbuat dari bunga merambat, dipenuhi oleh deretan payung yang terbuka dan digantung menyerupai atap rumah.

"Meja reservasi atas nama Roy?" sapa Roy pada resepsionis.

Perempuan muda berambut panjang itu tersenyum pada kami. "Silakan, nomor 23. Dan ini menunya."

Resepsionis itu mengulurkan buku menu pada kami.

"Ayo Mbak," ajak Roy setelah meraih buku menu tersebut sambil berjalan mendahuluiku. 

"Kamu sudah sering datang ke tempat ini?" tanyaku sambil memandang berkeliling kafe dan resto ini. 

Roy mengangguk. 

"Cie, sama cewek ya?!" tanyaku kepo

"Sama teman-teman, waktu ngerjain tugas sekolah. Kadang juga waktu reuni," jawab Roy sambil menulis menu di atas selembar kertas.

"Mbak, aku pesen gurami bakar, kentang goreng dan hot cappucino satu. Mbak pesan apa?" tanya Roy sambil memberikan buku menu.

Aku membolak balik buku menu. Dan memilih sate padang dan sup buah.

Roy mengangkat tangannya dan memanggil pramusaji kafe saat aku melihat seorang laki-laki dan perempuan yang baru saja masuk melalui gapura dari bunga. 

Aku mendelik. Mereka terlihat mesra sekali. Keduanya tampak saling ngobrol dan sesekali mereka tertawa bersama.

Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. 

"Wah, ada hubungan apa mereka?!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nurhayati Nur
tambah seru ...
goodnovel comment avatar
Panca Saktiyani
bikin penasaran, jadi ngikutin ceritanya terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status