Aku membuka mata perlahan, kepala masih terasa pusing, saat Mencoba mengiat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku.
Handphone-ku? Aku panik ketika otakku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku dibekap tadi.
Aku bangun dari tempat tidur dan mencari benda pipih itu. Pintu terbuka menampilkan tubuh tegap mas Juan dengan wajah datar. Rahangnya mengeras seolah ia tengah menahan amarah.
Perasaanku mulai tak enak, aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk.
Mas Juan melangkah perlahan mendekat padaku dan seketika kedua tangan kekarnya menarik lenganku kuat. Sehingga membuat diriku meringis kesakitan.
“Apa yang sudah kau lakukan dengan pria itu. Hah!” Teriaknya, tepat di depan wajahku. Tatapannya begitu tajam menusuk ke dalam mataku.
“Ini, yang kamu cari. Hah!” mas Juan menunjukkan gawai milikku di tangannya.
Saat hendak meraihnya, mas Juan menarik tangannya—menjauhkan benda pipih itu dari hadapanku.
“Mas, sini Mas. Aku akan memberitahukan sesuatu tentang Ma_”
“Diam! Jangan kamu menuduh adikku sembarangan. Sementara kamu sendiri menutupi hubunganmu dengan pria itu dariku!” tuduhnya, membuatku kaget seketika. Hubungan apa, dengan siapa.
“Selingkuh? apa maksudnya?” tanyaku bingung.
Mas Juan tertawa mengejek.
“Masih menyangkal, Hah.”
“Sungguh Mas, aku tidak mengerti?”
“Ini, lihat ini!” Mas Juan menunjukkan foto dari Handphone-ku. Di sana terlihat aku tengah dipeluk oleh seorang pria yang tak terlihat wajahnya.
“Tidak! Mas ini bohong Mas, aku di fitnah.” Kuraih tangan suamiku memohon agar ia percaya padaku. “Aku dijebak Mas.”
Mas Juan mengangkat sebelah tangannya menginterupsi jika ia tak mau mendengar penjelasanku lagi. Kemudian ia menarik tangannya paksa dariku.
Masih dengan wajah penuh amarah mas Juan keluar meninggalkanku yang berteriak memanggil namanya dengan berurai air mata.
“Aduh, kasihan banget sih, nasibmu, Mbak.” Mala datang setelah kepergian mas Juan. Ia sengaja mengejekku.” Jadi enggak sabar, lihat Mas Juan ceraikan kamu,” lanjutnya, membuatku melotot tajam padanya.
“Kejahatan tidak akan pernah bertahan lama, dan pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang. Ingat Mala, Allah maha tahu siapa yang benar dan salah. Kelak kebusukanmu itu akan terbongkar. Ingat itu!” tekanku tajam.
“Oh ho ... Aku takut,” ucapnya tergelak. Kemudian ia berlalu sambil melambaikan tangannya.
-
Sedari tadi mondar-mandir dalam kamar tak juga aku menemukan cara untuk membuktikan jika apa yang dituduhkan mas Juan kemarin itu tidak benar. Hanya rekaman itu yang bisa jadi bukti kejahatan Mala.
Namun, sepertinya rekaman itu sudah dihapus oleh Mala, dan berganti menjadi fotoku dengan pria yang bersamanya kemarin. Kenapa juga aku bisa lengah. Coba saja aku lebih berhati-hati pasti hari ini perempuan licik itu sudah diusir dari rumah.
Aku harus memikirkan cara lain untuk mendapatkan bukti baru. Tiba-tiba aku teringat pada bik Imah, ia pasti tahu apa yang terjadi kemarin.
Gegas aku pergi menuju dapur mencari keberadaan asisten rumah tanggaku. Namun, saat menemukan wanita bertubuh gempal itu, ia malah menyodorkan sebuah amplop ke hadapanku.
“Bu, saya mau mengundurkan diri. Ini uang bulan ini setengahnya yang sudah ibu bayar.” Wanita itu menunduk.
“Kenapa Bik? Kok, tiba-tiba mau mengundurkan diri?” tanyaku bingung.
“Maaf Bu, saya enggak bisa bantu Ibu lagi. Saya di ancam sama non Mala, kalau berani angkat suara tentang kejahatannya. Keluarga saya akan dibunuh,” ungkapnya takut-takut.
Keterlaluan perempuan itu. Dia juga mengancam pembantuku.
“Bik Imah enggak usah berhenti tetap di sini. Lagi pula Mas Juan juga enggak akan mengizinkan Bibi berhenti,” ucapku meyakinkan. Walau bagaimana pun. Suatu saat aku membutuhkannya untuk mengungkap kejahatan Mala.
“Enggak Bu, saya takut kalau masih di sini anak saya di kampung mau di bunuh sama laki-laki itu.”
“Laki-laki?”
“Iya Bu. Laki-laki yang bersama non Mala tadi siang.”
Aneh, dari mana laki-laki itu tahu keberadaan keluarga Bik Imah? Mala saja tak tahu. Ini pasti hanya gertakkan mereka saja untuk menakuti wanita paru baya di hadapanku ini.
“Bik Imah enggak usah khawatir, saya jamin keluarga Bibi akan baik-baik saja, saya yang akan bertanggung jawab, sekarang Bibi kembali simpan lagi barang-barangnya.” Aku berusaha meyakinkannya. Lantas ia pun mengangguk patuh.
-
“Mas, makan dulu. Aku sudah menyiapkan makanan kesukaan kamu malam ini?” tawarku pada mas Juan yang baru keluar dari kamar mandi.
“Enggak perlu, aku sudah makan di kantor!” Jawabnya ketus. Lantas berbaring di atas kasur.
Aku menghela napas pelan, berusaha menghalau rasa sedih, karena di tolak oleh suamiku sendiri.
Terdengar pintu di ketuk dari luar, aku bergegas membukanya dan wajah perempuan sok polos kini berdiri di hadapanku.
“Ada apa?” tanyaku ketus.
“Mau bicara sama Mas Juan,” jawabnya enteng.
“Mas Juan sudah tidur, lain kali saja.” Aku langsung menutup pintu kembali. Namun, ditahan oleh tangannya.
Ia tersenyum mengejek lalu hendak menerobos masuk ke dalam kamarku. Aku berusaha mencegahnya dan terjadilah keributan di antara kami.
Aku terus bersikukuh menghadang ia agar tak masuk ke dalam. Sampai suara mas Juan menginterupsi di belakangku.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan nada tinggi. Lalu ia beranjak keluar dan menatap kami yang diam terpaku.
“Ini Mas, aku hanya mencegah Mala agar enggak ganggu Mas istirahat.” Aku menjelaskan padanya. Ia menatapku kemudian beralih menatap Mala seolah bertanya ada perlu apa mencarinya.
“Mala hanya ingin mengajak Mas makan, Mala lapar baru balik dari kampus. Mas Juan juga baru balik kerja kan? pasti belum makan?” tebaknya sok manja.
Terlihat mas Juan seperti sedang menimbang. Aku harap ia menolaknya, tapi sayang jawabannya tidak sesuai harapanku.
“Ayo!” jawab Mas Juan. Lalu aku mencegahnya.
“Mas, bukannya tadi kamu bilang sudah makan?” tanyaku. Namun, tak dijawab olehnya.
Mas Juan melangkah begitu saja dengan Mala mengekor di belakang. Meninggalkanku dengan hati yang kecewa.
***
Entahlah, sudah yang ke berapa kalinya aku mengubah posisi tubuh di atas tempat tidur. Satu jam sudah setelah kepergian mas Juan yang menemani Mala makan. Namun, sampai saat ini mereka belum kembali.
Tiba-tiba kepalaku berdenyut nyeri. Aku baru ingat belum makan dari tadi siang, badan juga terasa tak enak. Apa mungkin karena aku stres memikirkan masalah ini.
Kudengar pintu diketuk dari luar membuyarkan lamunanku.
“Iya, sebentar.” Aku bergegas membuka pintu. Bik Imah terlihat panik.
“Ada apa Bik?” tanyaku.
“Anu Bu, I_itu, ada ... ada pria jahat.” Beritahunya masih tersengal-sengal. Aku mengerutkan kening bingung tak mengerti dengan maksud wanita bertubuh gempal itu.
Ia terus menunjukkan jari telunjuknya ke lantai bawah. Sepertinya bik Imah ketakutan. Untuk memastikan aku bergegas turun ke bawah.
Alangkah kagetnya saat netraku menemukan sosok pria yang tadi siang menjebakku.
“Mau apa kamu kemari?” semburku.
“Mana Mala?” pria itu balik bertanya.
“Perempuan itu tak ada di rumah.” Aku menjawab ketus. Memperhatikan gerak-gerik pria itu yang bisa saja melakukan hal yang tidak di inginkan.
“Sialan! Perempuan itu belum juga memberiku uang.” Ia terlihat kesal.
“Kau butuh uang?” tanyaku.
“Tentu saja. Aku terlilit hutang rentenir, aku butuh uang saat ini juga untuk melunasinya,” jelas pria yang belum diketahui namanya itu.
“Aku bisa memberimu uang, tapi ada syaratnya.” Aku beranjak dan duduk di sofa, mencoba bernegosiasi dengannya.
“Apa syaratnya?”
“Aku akan memberimu uang, asal kau jelaskan pada suamiku. Jika foto-foto yang kau buat adalah rekayasa kalian berdua.” Ia terlihat sedang berpikir, menimbang perkataanku.
“Aku tidak mau. Suamimu bisa saja menjebloskanku ke penjara jika aku mengakui hal itu,” ungkapnya.
“Hai, bodoh. Bukan hanya suamiku yang akan melaporkan kalian berdua pada pihak yang berwajib. Namun, aku juga akan melaporkannya!” Terangku penuh emosi.
Pria itu menyeringai dan mulai mendekat duduk di sofa berhadapan denganku. Hal itu membuat nyaliku sedikit menciut. Tapi, segera kutepis rasa takut. Tak boleh terlihat lemah di depan musuh.
“Kau mengancamku?” ucapnya menampilkan smrinknya.
“Aku tidak akan melaporkanmu jika kau melakukan apa yang aku mau,” balasku.
“Apa jaminannya?” tanyanya.
“Kita bisa buat surat perjanjian,” jawabku. Membuatnya tertawa nyaring, lalu ia kembali menyeringai.
“Aku tak sebodoh yang kau pikirkan Nona.” Ia berdiri dan hendak meraihku. Aku berkelit dan mencoba menghindar darinya Namun, kepalaku kembali berdenyut dan mulai kehilangan keseimbangan.
Aku terjatuh di lantai sedikit menyenggol meja. Rasa pusing di sertai mual yang bergejolak hebat. Aku berteriak meminta pertolongan.
Bik Imah tergopoh-gopoh mengejarku. Namun, langkahnya terhenti di cegah oleh pria jahat itu. Tangannya mengacungkan sebuah pisau lipat tepat di wajah asistenku.
Ia menarik kasar wanita paruh baya itu dan membawanya ke belakang. Entah apa yang akan dilakukan oleh pria jahat itu pada Bik Imah.
Tak lama pria itu kembali dengan membawa tali. Berjalan di hadapanku, dan menarik lenganku dengan kasar.
“Sepertinya aku lebih suka merampok di dalam rumah ini,” ucapnya di sertai tawa yang menggelegar.
Kemudian ia hendak membawaku. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya. Tanpa kata pria yang kudengar suaranya mirip suamiku itu langsung menghajarnya dan seketika pria jahat itu tumbang.
Aku terhuyung ke lantai dengan kesadaran yang timbul tenggelam. Samar terdengar teriakan serta kegaduhan, dan setelah itu aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Apa kau masih ingat roti bakar mang Tono?” David membuka suara.Aku menoleh padanya. “Ah, iya aku masih ingat, dia salah satu penjual roti bakar terenak di kantin.David tersenyum menampakkan gigi-gigi rapi dan putihnya itu. Jika diperhatikan pria ini tampan dan manis. Hanya saja mungkin ia terlalu kaku, jadi tak membuatku luluh dengan perjuangannya dulu.“Cepatlah selesaikan urusanmu, ini bukan acara reunian.” Mas Juan menyela tiba-tiba.“Ah, maaf, saya hanya teringat saja, masa-masa SMA kami dulu.”“Dan itu tidak penting!” sergah mas Juan, “cepat apa yang kau ingin sampaikan pada istriku, kalau tidak aku bisa menghajar hidungmu kembali.”Raut wajah David terlihat panik dan takut saat mas Juan melontarkan ancamannya. “Mas!” aku melotot ke arah mas Juan, memperingatinya agar bisa menahan emosi.Namun, mas Juan seolah tak peduli, pelototan dariku sama sekali tak membuatnya untuk berhenti mengintimidasi David.Pria berkulit putih itu memang sukses mengubah penampilannya, akan tetapi s
“Kau sedang tidak berpikir untuk kabur dan menemui David, kan?” ujar mas Juan tiba-tiba. Sementara matanya tetap fokus menatap ke depan.Aku menoleh, mengerutkan kening pura-pura tak mengerti dengan apa yang barusan ia katakan, padahal aku mengerti arah perkataannya ke mana. “Maksudnya?”“Dengan melarang bunda untuk tidak ikut denganmu itu hanya akal-akalanmu saja, yang sebenarnya ingin menemui pria culun itu!” Sindirnya masih menatap ke depan.“Ih, suuzhon!” sambarku.“Awas saja kalau kau berani menemuinya, aku tidak pernah bercanda dengan ancamanku waktu itu, Laras.” Lagi mas Juan mengingatkanku dengan ancaman yang dulu ia pernah katakan padaku.“Enggak enak kan rasanya lihat pasangan sendiri dekat sama pria lain.” Aku menyindirnya balik. Sengaja agar mas Juan tahu bagaimana rasanya dulu aku hampir setiap hari terbakar cemburu.“Itu berbeda, Mala adikku sementara pria itu bukan saudaramu!”Aku berdecih. “Adik macam apa yang dengan sengaja ingin melakukan perbuatan tak senonoh denga
“Mas?” panggilku untuk ke sekian kalinya, tapi tak juga mas Juan menyahut. Ia masih marah padaku, setelah mendengar cerita bunda mengenai aku yang ingin menemui David tadi sore. Padahal aku sudah menjelaskan alasan ingin bertemu teman lamaku itu.Namun, Mas Juan tak menerima alasan apa pun. Ia mengomel, bahkan mengulangi ancamannya yang pernah dikatakan padaku waktu itu. Tentu saja membuatku bergidik. Kasihan David jika harus jadi pengangguran seumur hidupnya.Beruntung saat mas Juan marah, ayah juga pulang dari kantor. Dan pria tua yang sangat kusayangi itu pun memperingatinya agar tidak memarahiku berlebihan.“Kamu boleh memarahi, menegur, Laras jika memang dia salah. Tapi tolong liat kondisinya juga. Laras tengah hamil. Kondisi Sikis-nya juga perlu dijaga.” Kemudian ayah menepuk pundak mas Juan. “Lelaki sejati adalah yang bisa mengontrol emosinya!” peringat ayah, lantas berlalu pergi dengan diikuti Bunda dari belakang.Peringatan ayah benar-benar menyelamatkanku dari kemarahan mas
Sedari pagi mulutku tak berhenti mengomel pada mas Juan. Suamiku itu benar-benar membuatku jengah. Ia memerintahkan bawahannya Rico mengirimkan bodyguard untuk menjagaku. Seperti saat ini, mau beli roti bakar di si Abang yang biasa lewat depan rumah bunda saja harus di antar bodyguard, kan malu.Si Abang tukang roti bakar sedari tadi hanya menahan senyum melihat bodyguard berbaju hitam lengkap dengan kaca mata hitam. Keduanya berdiri di sampingku."Ini Neng sudah jadi rotinya.” Si abang menyodorkan roti bakar isi selai cokelat dan nanas. "Si Masnya berdua enggak sekalian," lanjutnya sembari menahan senyum.Aku melirik kedua pria itu bergantian. Namun, dari ekspresi mereka kulihat sepertinya tak berminat."Enggak, Bang. Mereka enggak makan roti, tapi makan orang," bisikku, sembari memicingkan mata serius. Seketika si Abang tukang roti wajahnya berubah pucat. Lantas ia segera mendorong gerobaknya menjauh dari hadapanku.Aku tertawa melihat ekspresi pria paru baya itu. Namun, tawaku te
Setelah berhasil menenangkan Laras, aku mengajaknya kembali ke rumah bunda. Sepanjang perjalanan ia hanya diam saja. Tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulut cerdasnya itu yang biasa menentang ucapanku.“Beli bubur ayam dulu, yuk?” tawarku.Satu detik, dua detik. Tak ada jawaban sama sekali dari mulutnya. Laras hanya fokus menatap ke luar jendela.Akhirnya aku menepikan mobil di dekat gerobak penjual bubur ayam. Kemudian turun sendiri dan memesan dua porsi makanan bertekstur lembek itu. Wangi kaldu mengguar begitu nikmat, perutku jadi tambah keroncongan yang belum terisi sama sekali. Tadi di restoran, setelah kucium Laras menangis keras. Karena malu jadi perhatian banyak orang aku pun segera membawanya keluar dan mengajaknya pulang. Jadi tak sempat untuk sarapan. Kutinggalkan uang untuk membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan.Lima menit selesai membeli dua bubur ayam, aku bergegas kembali ke mobil. Membuka satu sterofon yang berisi bubur dengan ayam suwir. Dan satu