Share

Bab 4 Beraksi

Aku terbangun saat mendengar suara mas Juan berbicara dengan seseorang di telepon.

“Iya Mas segera ke sana,” ucapnya lalu menutup gawainya dan meletakkannya di atas nakas.

“Siapa Mas?” tanyaku.

“Mala. Dia bilang katanya minta di temani sebentar. Sepertinya ia mulai ketakutan lagi,” jelas mas Juan.

“Mas tunggu!” panggilku. Mas Juan menghentikan langkahnya dan menoleh padaku heran.

“Ada apa?” tanyanya yang masih berdiri di depan pintu.

“Biar aku saja yang menemani Mala, Mas lanjut tidur lagi.” Aku menawarkan diri. Mas Juan terlihat menimbang dan akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah.” Kembali ia merebahkan diri di kasur.

Aku tersenyum menyeringai. Lihat saja Mala, akan kubuat kau menyesal.

Aku mengetuk pintu bercat cokelat itu perlahan dan tak lama pintu terbuka. Ah, cepat sekali dia. Sepertinya memang ia sudah siap menggoda suamiku.

Matanya membelalak saat menemukanku berdiri di hadapannya. Wajah sok polosnya terlihat kecewa saat tahu bukanlah mas Juan yang datang.

“Hai adik ipar?” sapaku tersenyum.

“Mana Mas Juan?” tanyanya ketus.

Apa? Mas Juan katanya, enak saja dia menanyakan suamiku. Dasar perempuan sinting!

Aku mendorong tubuhnya masuk. Ia yang tak siap terjengkang ke belakang, dan bokongnya mendarat paksa di lantai. Ia mengasuh kesakitan.

 Mala mencoba berteriak. Namun, dengan cepat aku menyumpal mulutnya dengan sandal rumahan yang kukenakan.

Kupelintir tangannya ke belakang sehingga posisi tubuhnya berubah membelakangiku. Terdengar rintihan dari mulutnya sambil meronta-ronta kesakitan.

“Jangan coba-coba kamu menggoda suamiku. Paham!” ancamku, lalu melepaskan tangannya dengan sedikit mendorong tubuhnya.

Buru-buru ia mengambil sandal dari mulutnya dan melemparkannya balik padaku. Namun, dengan sigap aku menghindar.

Aku tersenyum mengejek dan dengan langkah cepat keluar dari kamar, lalu  meninggalkan Mala yang tengah marah.

Di luar aku berpapasan dengan mas Juan, sepertinya ia hendak menyusulku atau mungkin ingin melihat Mala.

Walau pun ia sudah menjelaskan jika ia hanya cinta padaku, tetap saja aku tak percaya. Mana mungkin cinta itu hilang begitu saja sementara mas Juan masih sangat perhatian pada perempuan itu.

“Eh, Mas. Kok, di sini?” tanyaku agak sedikit gugup.

“Iya, aku ingin lihat keadaan Mala,” jawabnya.

“Oh, Mas enggak usah khawatir. Mala sudah baik-baik saja, kok.” Aku berbohong. Kemudian segera mengapit lengan mas Juan dan menariknya kembali masuk ke dalam kamar.

“Laras, benarkah Mala sudah lebih baik?” tanyanya saat kami sudah bersiap untuk kembali tidur.

Aku menghela napas dan mengeluarkannya perlahan, aku harus sabar agar tidak mudah tersulut emosi.

“Mas, enggak percaya sama aku?” tanyaku sembari meletakkan kedua tanganku di pundaknya.

Ia menatapku penuh selidik. “Aku percaya.”

Syukurlah, mas Juan percaya. Entah, apalagi yang akan Mala lakukan setelah ini.

-

Selesai dengan rutinitas olah raga di pagi hari. Aku beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri dari bau keringat.

Lima belas menit aku membuka lemari dan mengenakan baju rumahan. Suara notifikasi pesan dari gawaiku mengalihkan perhatian. Kuraih dan membukanya. Satu kiriman sebuah foto membuat netraku terbelalak. Di mana Mala duduk di samping mas Juan. Dari keadaan yang terlihat dari foto itu sepertinya mereka sedang makan siang di sebuah restoran.

Tak lama muncul kembali sebuah pesan yang membuatku geram.

Ratu Drama

“Mungkin di rumah aku tak bisa bersama mas Juan, tapi di luar aku bisa bebas bersamanya.”

Pesannya di sertai dengan gambar emoticon tertawa.

Keterlaluan perempuan itu, tak terpikir olehku Mala akan memanfaatkan kebersamaannya di luar bersama Mas Juan. Kenapa aku bisa lupa, jika jarak kampus Mala dan kantor suamiku tidak terlalu jauh.

Kutekan tombol panggil pada nomor mas Juan. Tersambung dan tak lama diangkat.

“Assalamualaikum, ada apa Ras?” tanyanya di seberang sana. Baru hendak berbicara aku sudah mendengar suara perempuan sinting itu.

“Mas, mau udang atau cumi?” ucapnya sok perhatian. Benar-benar membuatku muak. Malas untuk melanjutkan obrolan dengan mas Juan, kutekan tombol merah dilayar dengan kasar.

Perempuan itu rupanya mengajak perang denganku lihat saja siapa yang akan tertawa belakangan.

“Bu, Ibu!” suara bik Imah di luar menyadarkanku.

Aku buka pintu dan menemukan wanita paruh baya itu menggenggam sebuah amplop warna cokelat ditangannya.

“Apa itu Bik?” tanyaku heran.

“Ini Bu, tadi ada orang suruh saya kasih ini ke non Mala,” jelasnya sambil menyodorkan amplop cokelat di hadapanku.

Aku meraihnya dan mengucapkan terima kasih pada asisten rumah tanggaku itu.

Tadinya aku tak berani membuka, karena menurutku itu tak sopan. Namun, rasa penasaran dan kecurigaanku memaksa untuk melihat isinya.

Kubuka benda berukuran persegi panjang itu, dan isinya seketika membuat mulut ini menganga, sebuah foto Mala sedang menganiayai seseorang yang sangat kukenal.

Aku tak percaya dengan apa yang kulihat dalam foto ini. Di sana Mala tengah menarik lengan Mama dengan mimik garang. Seolah perempuan itu marah dan kesal terhadap mertuaku.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah selama ini kasih sayang Mala yang selalu ia tunjukkan di depanku dan mas Juan itu semua palsu? apa jangan-jangan meninggalnya mamah juga ada sangkut pautnya dengan dia?

Ah, tidak. Aku tidak boleh berspekulasi seperti itu dulu, khawatir fitnah, tapi foto ini apa harus aku simpan dan berikan pada mas Juan agar ia juga melihatnya.

Aku memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop, karena terburu-buru aku menjatuhkan selembar kertas kecil di dekat kaki.

 “Transfer sekarang uangnya, atau foto-foto ini akan langsung aku berikan pada kakak tercintamu itu.”

Sepertinya si pengirim ini mencoba memeras Mala menggunakan foto-foto ini. Segera kusimpan dalam laci kamar. Lalu beranjak ke dapur menemui bik Imah, untuk tidak menceritakan pada adik iparku itu, mengenai kiriman foto ini.

“Baik, Bu.” Ucapnya patuh.

“Bagus, dan jika nanti ada kiriman lagi untuk Mala, berikan pada saya, dan juga Bibi awasi gerak-gerik Mala di rumah ini. Laporkan apa saja yang ia lakukan.”

“Baik, Bu. Saya mengerti.” Bik Imah kembali mengangguk patuh. Lantas wanita beranak empat itu undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Mulai hari ini aku harus benar-benar waspada. Jika analisisku benar mengenai apa yang terlihat pada foto itu, bisa saja Mala juga berniat melukaiku, karena obsesinya ingin memiliki mas Juan.

Aku menghela napas kasar, sungguh tak bisa dipercaya. Gadis yang pertama kali kukenal itu terlihat sopan dan manis. Ternyata, memiliki sisi lain yang tak dapat dipercaya.

Mas Juan harus tahu siapa sebenarnya Mala, tapi bagaimana cara aku memberitahunya, sementara suamiku itu tak pernah percaya.

Kepalaku mendadak pening memikirkan hal ini. Sebaiknya aku beristirahat. Mengenai masalah memberitahu mas Juan biar kupikirkan nanti.

-

Keesokan harinya sepulang dari Supermarket aku menemukan sebuah mobil terparkir sembarang di halaman rumah. Kuperhatikan dengan saksama bukan mobil mas Juan.

Dari luar aku mendengar teriakkan Mala. Perempuan itu sepertinya tengah bertengkar dengan seseorang.

Gegas aku mendekat pada pintu depan yang tidak tertutup rapat. Ada sedikit celah di sana.

Mala terlihat tengah memarahi seorang pria yang berdiri di hadapannya dengan posisi membelakangi pintu keluar, sehingga aku tak dapat mengenali wajah pria itu.

Kuletakan plastik belanjaan di bawah dekat kaki. Mengeluarkan Handphone dalam tas. Aku berniat  merekam keduanya, siapa tahu ini bisa jadi bukti untuk aku berikan pada mas Juan. Ia harus tahu siapa Mala sebenarnya.

“Mana uang yang kau janjikan padaku, jika aku berhasil membantumu menghabisi nenek tua itu!” teriak pria yang tak kukenal itu.

 Nenek tua, dihabisi, apa itu mama?

Aku menutup mulutku, karena kaget dengan apa yang kudengar barusan.

“Sabar sedikit, aku pasti transfer. Hanya saja saat ini aku tidak bisa merayu mas Juan. Selalu ada mbak Laras yang menghalangi!” bentak Mala kasar. Sepertinya perempuan itu begitu frustrasi.

“Pokoknya besok kamu harus sudah transfer. Kalau belum? Bukti foto-fotomu saat menganiaya orang tua angkatmu itu, akan kuberikan langsung pada kakakmu!” ancamnya. Membuat Mala ketakutan. Lantas perempuan itu memohon dan meminta waktu untuk mendapatkan uang dari mas Juan.

“B_baiklah, akan aku usahakan besok. Tapi aku mohon jangan coba-coba kamu berikan foto-foto itu pada mas Juan.”

“Aku tunggu sampai besok siang, jika rekeningku masih kosong, maka siang itu juga, kakakmu itu akan mendapat kiriman foto perbuatan jahatmu sendiri.” Suara pria itu terdengar mengerikan.

Sepuluh menit aku rasa cukup untuk merekam percakapan keduanya sebagai bukti kuat nanti yang akan kuberikan pada mas Juan. Sebentar lagi belangmu akan ketahuan Mala. Aku tersenyum menyeringai.

Aku segera menjauh dari pintu, sebelum ketahuan oleh keduanya. Baru hendak melangkah, tiba-tiba kakiku tersandung bungkusan belanjaan yang tadi kuletakkan di bawah.

Kemudian gawaiku terjatuh menimbulkan bunyi yang cukup keras.

“Siapa itu!” teriak Mala, dan terdengar suara langkah kaki berjalan cepat. Aku bergegas mengambil Handphone yang terjatuh tadi, beruntung tidak hancur, jadi masih bisa kugunakan untuk menghubungi mas Juan meminta pertolongan.

Aku berlari menuju gerbang. Namun, belum sampai aku meraihnya, tanganku sudah di tarik seseorang dari belakang lalu mulutku di bekap menggunakan sapu tangan. Bau minyak yang sangat menyengat membuat kepalaku pusing dan gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status