Aku menghembuskan napas kasar. Meletakkan handphone ke atas nakas, lantas membaringkan tubuhku di atas kasur. Baru saja aku melakukan panggilan pada David. Namun, pria itu tak mengangkatnya sepertinya ia memang sedang sibuk.Sayup telingaku mendengar percakapan seseorang dari luar kamar. Dari suaranya aku bisa menebak dan yakin itu adalah suara mas Juan dan bunda yang tengah mengobrol.Aku bangun dari ranjang, lantas berjalan menuju pintu kamar. Membuka sedikit celah dan mengintip. Terlihat bunda dan mas Juan di ruang tengah. Apa yang tengah mereka bicarakan? Batinku.“Beritahu Laras dari sekarang, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Bunda menatap mas Juan serius.“Belum saatnya, Bun.” Mas Juan mengurut keningnya. Tergambar raut lelah di wajahnya. Pasti di kantor tadi ia sangat sibuk sekali.“Laras sudah mencurigai bunda, jelaskan saja padanya, kau tahu bagaimana Laras jika sudah ingin tahu, dia akan nekat mencari tahu sendiri.” Lagi bunda berkata tegas agar mas Juan menjelaskan se
“Jaga ucapanmu, Mbak!” tangan perempuan berkutek itu hendak mendarat di pipiku. Namun, dengan sigap aku menghindar. Lantas tubuhnya tersungkur menabrak meja ruang tamu dan merintih kesakitan.Mala berusaha bangun dan mencoba untuk menyerangku kembali, tapi langkahnya terhenti saat terdengar suara deruman mobil di depan teras.Kulihat perempuan berkaus merah itu mengacak-acak rambut dan mencakar-cakar seluruh badannya. Tak hanya itu ia pun menampar berkali-kali pipi tirusnya hingga sudut bibir berwarnapinkitu mengeluarkan darah.Tak mengerti dengan apa yang ia lakukan, aku pun berniat untuk mencegahnya. Namun, belum sempat meraih tangannya. Tiba-tiba Mala begitu saja menjatuhkan tubuh ke lantai tepat di hadapan Mas Juan.“Mala!” seru mas Juan khawatir, lalu membantunya berdiri. “Apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.“Mbak Laras, Mas!” Mala menjawab sembari
Setelah puas menangis karena kecewa atas sikap mas Juan tadi pagi, aku keluar menuju halaman belakang duduk bersandar di bawah gazebo. Sambil menikmati pemandangan tanaman hias yang memanjakan mata.Di sana ada beberapa jenis tanamanAlgonemapemberian mama mertuaku saat pertama kali aku dan mas Juan menempati rumah ini.Ibu dari suamiku itu sangat baik dan perhatian terhadapku. Ia sering memberi nasihat tentang karakter mas Juan yang memang sangat dingin dan pemarah.“Juan anak baik dan sayang pada kedua orang tuanya. Karakternya sangat mirip dengan mendiang papanya. Bukan hanya rupanya saja, tapi semuanya.” ungkap Mama kala itu. Tangannya bergerak kembali menyiram bibit DonaCarmendan lipstik di depannya yang baru saja berpindah pot. “Anak itu memang tidak banyak bicara, tidak suka basa-basi dan hal remeh temeh. Terkadang sikap dinginnya membuat orang di sampingnya jengah.” Mama tertawa, lalu kem
Kejadian semalam membuatku benar-bebar tak bisa tinggal diam. Aku menyalakan laptop. Memeriksa CCTV dan menunjukkannya pada mas Juan. Ia terlihat menahan marah agar tidak meledak.“Kamu sadar enggak sih. Perbuatan kamu itu hampir saja membuat mas Juan melakukan zina!” bentakku.“Maaf Mbak, Mas. Aku khilaf,” ucapnya terisak.“Apa? Khilaf katamu?” ucapku semakin geram mendengar penyesalannya yang di buat-buat.Mas Juan menyentuh pundakku mencoba menenangkan. Agar tak bertindak kasar pada adik angkatnya itu.“Mas benar-benar kecewa sama kamu Mala.” Mas Juan mulai angkat suara. “Sebaiknya kamu kembali ke rumah Mama,” putusnya.“Apa? Mas aku enggak mau kembali ke rumah itu. Apa Mas lupa, Mas janji akan selalu menjagaku sampai kapan pun,” protes Mala. “Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?” ungkapnya, membuatku terkejut.Apa? Cinta?
Aku terbangun saat mendengar suara mas Juan berbicara dengan seseorang di telepon.“Iya Mas segera ke sana,” ucapnya lalu menutup gawainya dan meletakkannya di atas nakas.“Siapa Mas?” tanyaku.“Mala. Dia bilang katanya minta di temani sebentar. Sepertinya ia mulai ketakutan lagi,” jelas mas Juan.“Mas tunggu!” panggilku. Mas Juan menghentikan langkahnya dan menoleh padaku heran.“Ada apa?” tanyanya yang masih berdiri di depan pintu.“Biar aku saja yang menemani Mala, Mas lanjut tidur lagi.” Aku menawarkan diri. Mas Juan terlihat menimbang dan akhirnya ia mengangguk.“Baiklah.” Kembali ia merebahkan diri di kasur.Aku tersenyum menyeringai. Lihat saja Mala, akan kubuat kau menyesal.Aku mengetuk pintu bercat cokelat itu perlahan dan tak lama pintu terbuka. Ah, cepat sekali dia. Sepertinya memang ia sudah siap menggoda suamiku.Mata
Aku membuka mata perlahan, kepala masih terasa pusing, saat Mencoba mengiat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku.Handphone-ku? Aku panik ketika otakku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku dibekap tadi.Aku bangun dari tempat tidur dan mencari benda pipih itu. Pintu terbuka menampilkan tubuh tegap mas Juan dengan wajah datar. Rahangnya mengeras seolah ia tengah menahan amarah.Perasaanku mulai tak enak, aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk.Mas Juan melangkah perlahan mendekat padaku dan seketika kedua tangan kekarnya menarik lenganku kuat. Sehingga membuat diriku meringis kesakitan.“Apa yang sudah kau lakukan dengan pria itu. Hah!” Teriaknya, tepat di depan wajahku. Tatapannya begitu tajam menusuk ke dalam mataku.“Ini, yang kamu cari. Hah!” mas Juan menunjukkan gawai milikku di tangannya.Saat hendak meraihnya, mas Juan menarik
Bau obat menyergap di penciumanku, saat aku tersadar dengan kepala yang masih terasa berdenyut nyeri.“Sudah sadar.” Aku menoleh pada sumber suara. Wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum ramah padaku.Melirik sebelah kiri mas Juan diam tanpa kata. Terlihat wajahnya seperti menahan amarah. Entahlah apa lagi yang terjadi, setelah aku pingsan tadi. Aku benar-benar sudah pasrah.“Selamat ya Bu. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu,” ucap dokter tersenyum ramah.Sungguh aku bahagia mendengar berita yang selama ini sangat dinantikan. Setahun lebih kami menunggu kehadiran sang buah hati, dan akhirnya Allah mengabulkannya.Tak terasa aku menitikkan air mata haru. Mengelus perut yang masih rata, sembari mengucapkan kalimat hamdalah.“Ayo kita pulang!” ucap mas Juan tiba-tiba dengan wajah datar. Apa dia tidak bahagia? Bukankah ia juga begitu mengharapkan anak selama ini.Aku mengangguk mengiyakan, lalu ia membantuku
Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan. Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini