Share

Bab 6: Haruskah Menyerah

Bau obat menyergap di penciumanku, saat aku tersadar dengan kepala yang masih terasa berdenyut nyeri.

“Sudah sadar.” Aku menoleh pada sumber suara. Wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum ramah padaku.

Melirik sebelah kiri mas Juan diam tanpa kata. Terlihat wajahnya seperti menahan amarah. Entahlah apa lagi yang terjadi, setelah aku pingsan tadi. Aku benar-benar sudah pasrah.

“Selamat ya Bu. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu,” ucap dokter tersenyum ramah.

Sungguh aku bahagia mendengar berita yang selama ini sangat dinantikan. Setahun lebih kami menunggu kehadiran sang buah hati, dan akhirnya Allah mengabulkannya.

Tak terasa aku menitikkan air mata haru. Mengelus perut yang masih rata, sembari mengucapkan kalimat hamdalah.

“Ayo kita pulang!” ucap mas Juan tiba-tiba dengan wajah datar. Apa dia tidak bahagia? Bukankah ia juga begitu mengharapkan anak selama ini.

Aku mengangguk mengiyakan, lalu ia membantuku turun dari brankar dengan lembut dan hati-hati, tapi berbeda dengan wajahnya yang sedari tadi terlihat masam.

Ada apalagi ini? Batinku.

“Jangan lupa makan, istirahat dan jangan stres. Biar ibu dan janinnya sehat terus,” pesan wanita berprofesi dokter itu.

“Baik, terima kasih Dok,” ucapku dengan senyum ramah padanya. Berbeda dengan mas Juan yang masih diam seribu bahasa. Entahlah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Semoga semua baik-baik saja.

Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ekspresinya masih tetap sama. Tak ada senyum yang terukir dari wajahnya.

“Mas kenapa?” tanyaku mengelus lengannya yang memegangi setir. Ia menoleh sekilas lalu kembali fokus ke depan.

Aku menghela napas pasrah. mungkin mas Juan belum siap untuk bicara, bisa jadi ia memang sedang ada masalah di kantor. Aku terus berusaha berpikir positif agar tak stres. Apalagi sekarang ada nyawa dalam perutku yang harus kujaga dengan baik.

Aku berharap dengan adanya kehadiran buah cinta kami, mas Juan jadi lebih care terhadapku dan menjauhi adiknya itu.

Sampai di rumah, mas Juan turun begitu saja tanpa membukakan pintu untukku. Dengan gerakan kasar ia menutup pintu, membuatku cukup kaget, karena perbuatannya.

“Mas!” panggilku. Membuat mas Juan menghentikan langkahnya tanpa menoleh padaku.

“Tolong, katakan sesuatu, setidaknya kau tersenyum bahagia untukku.” Aku berucap di belakangnya.

Ia menoleh masih dengan wajah datarnya.

“Tidak ada suami yang bahagia, ketika tahu istrinya mengandung anak dari pria lain,” ungkapnya menohok, tanpa peduli perasaanku.

“Apa? Maksudmu apa, Mas?” tanyaku mulai kesal. “Mas aku berani sumpah ini anak kamu Mas!” tegasku.

“Sudahlah, kamu mau mengelak apa lagi. Sudah jelas kamu berselingkuh dengan pria itu. Bahkan dia pun mengakui bahwa janin yang ada dalam perutmu itu, adalah hasil dari hubungan kalian!” teriaknya.

Aku tersentak kaget dengan apa yang ia ucapkan. Tak menyangka mas Juan ragu pada buah cintanya. Rasanya aku ingin menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar sudah tak tahan lagi.

“Apa kamu bilang Mas? semudah itu kamu percaya pada orang lain? semudah itu kamu ragu pada buah cinta kita? kamu jahat Mas. Kamu jahat!” suaraku bergetar menahan Isak. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkannya yang masih mematung di luar.

Mataku tak henti mengeluarkan cairan bening yang lolos di pipi, sambil tangan ini mengemasi pakaian ke dalam koper besar. Ucapan mas Juan sungguh menyayat hati, seenaknya saja ia beranggapan bahwa darah dagingnya sendiri adalah anak pria lain. Aku tak habis pikir bisa-bisanya ia percaya dengan apa yang dikatakan Mala dan teman prianya itu. Cukup sudah aku sudah tak tahan dengan semua ini.

Usai berkemas, aku bercermin merapikan penampilan yang sudah berantakan, mata sebab dan rambut acak-acakan. Kuraih hijab instanku  dan mengenakannya, lalu keluar sambil menggeret koper.

Sakit rasanya mengetahui kenyataan di mana suamiku tak mempercayai istrinya sendiri. Baiklah, mungkin nasib rumah tanggaku tak bisa di pertahankan lagi tanpa adanya kepercayaan di antara kami berdua.

Sampai di ruang tamu, langkahku terhenti melihat mas Juan duduk di sofa dengan di temani Mala. Kulihat Mala menyodorkan secangkir kopi yang baunya tercium hingga Indera penciumanku. Mas Juan meraihnya dan menyeruput minuman berwarna hitam itu.

Kuhela napas, mencoba menguatkan hati dan tak boleh mengeluarkan air mata. Aku tak ingin terlihat lemah di depan perempuan tukang drama itu.

Aku berjalan menuju di mana mas Juan berada. Wajahnya datar saja saat melihatku membawa koper besar bersamaku.

“Maaf Mas, aku izin pergi ke rumah Bunda,” ucapku. Walau bagaimana pun ia masih suamiku yang tetap harus dihormati.

Hening, tak ada jawaban keluar dari mulutnya. Sungguh aku sangat berharap ia mencegah diriku agar tidak pergi Namun, semua harus  Mas Juan berdiri dan pergi meninggalkanku tanpa menoleh.

 

“Waw, aku suka ini. Akhirnya kau kalah, Mbak.” Mala berucap sambil tergelak, membuat darah kumendidih seketika. Kalau aku tak ingat dengan janin dalam perut, sudah habis ratu drama itu. “Ada yang perlu di sampaikan lagi? Kalau tidak ada, silakan pintu keluar di sebelah sana,” ucapnya kembali dan melenggang pergi.

~

Dua hari sudah aku di rumah bunda, tapi tak ada tanda-tanda mas Juan akan menjemputku, bahkan sampai saat ini pun ia tak ada menghubungi untuk sekedar menanyakan kabar.

Apa jangan-jangan, mas Juan ingin menceraikanku, Bagaimana ini? Jujur aku masih sangat mencintainya. Ya Allah apa yang harus hamba lakukan agar semua itu tidak terjadi.

Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan. Menampilkan sosok wanita yang masih terlihat cantik di usia setengah abad. Ia berjalan ke arahku dengan membawa nampan berisi makanan dan segelas air, lalu meletakannya di atas nakas.

“Makan dulu!” Titahnya.

 

“Laras belum lapar.” Aku menjawab tanpa menoleh.

 

Terdengar helaan napas dari bunda, lalu ia duduk di sampingku. Tangannya mengusap lembut puncak kepalaku.

 

“Bunda tahu kamu sedang ada masalah dengan suamimu, tapi tolong pikirkan juga tentang bayimu. Aku menoleh padanya, bagaimana ia tahu jika aku sedang hamil. Padahal dari kemarin aku belum menceritakan tentang kehamilan ini.

 

Bunda tersenyum melihat ekspresi kagetku.

 

“Bunda juga wanita yang pernah merasakan hamil, mengalami morning sicknees tiap pagi, tak suka dengan aroma-aroma yang menyengat,” tuturnya menjawab kebingunganku. “Jadi, apakah kamu tidak ingin berbagi masalahmu dengan Bunda?” ucapnya. Lalu terdiam menatapku dengan tatapan menuntut sebuah jawaban.

 

Kupalingkan wajah darinya, menatap bayangan diri sendiri di cermin almari yang berada di depanku. Begitu menyedihkan keadaanku saat ini. Mungkin bunda benar, dengan berbagi  sedikit akan meringankan beban masalahku.

Kemudian aku menceritakan semua masalah yang tengah aku hadapi. Namun, beliau tak berani untuk ikut campur, ia hanya memberikan nasihat-nasihat yang baik padaku agar aku tak salah memutuskan sesuatu.

“Pikirkan baik-baik dengan kepala dingin dan sertakan Allah dalam setiap urusanmu.” Itulah pesan dari bunda, yang membuatku merasa lebih tenang saat ini.

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status