Li Yuxian membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, seolah setiap otot menolak bergerak. Cahaya biru keperakan dari pedang yang masih menggenggam tangannya perlahan meredup. Udara penuh dengan debu dan serpihan pohon yang beterbangan di sekeliling hutan purba.
Ia menatap ke sekeliling. Retakan di tanah telah melebar dan membentuk lembah kecil yang berkilau merah dan biru. Angin panas masih bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan sisa energi yang belum mereda. Xu Liang dan Gadis Tombak sudah berada di dekatnya, menahan napas, wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.
“Yuxian, kau masih hidup,” kata Xu Liang sambil menarik napas lega. “Aku pikir kau akan hancur terbakar energi itu.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Yuxian sambil menatap pedang di tangannya. “Tapi energi itu… berbeda. Lebih kuat dari yang kubayangkan.”
Gadis Tombak mendekat, memeriksa tanah yang retak di sekitar mereka.
“Gelombang energi itu masih tersisa di udara. Bahkan sedikit saja bisa membuat kita terseret jika tidak hati-hati.”
Yuxian mengangguk pelan. “Aku merasakannya. Pedang ini… seperti memiliki pikiran sendiri. Sepertinya ia merespons energi inti gelap itu.”
Xu Liang menatap sahabatnya dengan mata tajam. “Kalau begitu, kau harus berhati-hati. Kekuatan itu tidak hanya berbahaya bagi lawanmu. Ia bisa membakar siapa pun yang salah langkah.”
Yuxian menggenggam pedang lebih erat. Tubuhnya masih lelah, tetapi tatapannya tetap fokus. “Aku harus memahami energi ini. Tidak ada waktu untuk ragu.”
Mereka bertiga berjalan menyusuri tepian retakan. Setiap langkah di tanah yang retak terasa seperti berjalan di atas kaca. Cahaya merah dan biru menyala di permukaan retakan, membentuk pola seperti aliran sungai energi.
“Lihat itu,” kata Gadis Tombak sambil menunjuk pola cahaya. “Sepertinya ada jalur energi yang bisa kita ikuti. Jika kita teliti, mungkin kita bisa menemukan pusat energi yang sebenarnya.”
Yuxian menunduk, merasakan aliran energi itu dengan pedangnya. Setiap denyut cahaya seakan berbicara padanya, memberi arahan dan peringatan sekaligus.
“Kita harus berhati-hati. Jalur ini tidak hanya membawa kita ke pusat energi. Ia juga bisa memicu gelombang sekunder jika kita salah langkah.”
Xu Liang mengangguk. “Kau yang memimpin. Kami akan mengikuti langkahmu.”
Mereka melangkah perlahan. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke inti retakan. Debu, serpihan kayu, dan partikel energi beterbangan, menabrak kulit dan pakaian mereka. Pedang di tangan Yuxian berdenyut lebih kuat, seperti menyerap energi di sekelilingnya.
Tiba-tiba, tanah di dekat mereka bergetar hebat. Sebuah gelombang energi hitam dan merah melesat dari pusat retakan, menyerbu ke arah mereka. Xu Liang dan Gadis Tombak terseret mundur beberapa langkah.
“Cepat!” teriak Yuxian sambil menebas gelombang energi itu dengan pedangnya. Cahaya biru keperakan memotong udara, menahan serangan dengan presisi.
Gelombang energi itu memantul ke samping, menghantam pohon raksasa hingga patah dan terbakar. Namun Yuxian tetap berdiri tegap, pedangnya tetap menyala. Ia mengayunkan pedang ke udara, menciptakan lingkaran cahaya untuk menahan serangan gelombang kedua.
Xu Liang memusatkan energi tubuhnya untuk menstabilkan tanah di sekeliling mereka. Gadis Tombak menancapkan tombaknya ke tanah, menahan kekuatan sisa gelombang yang mencoba menyeret mereka ke retakan.
“Ini hanya permulaan,” bisik Yuxian pada dirinya sendiri. “Energi ini semakin liar. Aku harus lebih cepat memahami pola serangannya.”
Yuxian menutup mata sejenak. Ia merasakan setiap denyut energi di sekeliling retakan. Pedangnya bergetar mengikuti ritme energi, seolah ingin memberinya arahan. Ia membuka mata, dan seketika cahaya biru keperakan pedang itu berdenyut lebih terang, membentuk pola pelindung yang menyelimuti tubuhnya.
“Aku harus bergerak dengan tepat. Satu kesalahan bisa membuat kita semua hancur,” pikirnya.
Ia mulai menggerakkan pedang dengan ritme yang sinkron dengan aliran energi. Gelombang sisa yang sebelumnya liar, kini tampak seakan mengikuti gerakan pedangnya. Xu Liang dan Gadis Tombak terdiam, menyaksikan sahabat mereka yang kini bergerak dengan kepercayaan penuh pada pedang dan intuisi sendiri.
“Dia… seperti sudah menjadi satu dengan pedangnya,” gumam Gadis Tombak.
“Dan aku yakin dia baru saja mulai memahami energi itu,” tambah Xu Liang dengan mata membulat.
Tiba-tiba, dari inti retakan terdengar suara gemuruh yang lebih berat. Tanah bergetar hebat, dan cahaya merah di pusat retakan berkobar lebih kuat. Sebuah bentuk bayangan mulai muncul dari pusaran energi itu. Sosok besar, menyerupai manusia tapi tanpa wajah, dengan mata merah membara yang menembus malam.
Xu Liang menelan ludah. “Itu… lebih kuat dari gelombang sebelumnya.”
Gadis Tombak menegakkan tubuhnya, tombak siap menyerang.
“Energi ini… lebih dahsyat dari yang kubayangkan. Kita harus berhati-hati. Ini bukan lagi ujian biasa.”
Yuxian memandang bayangan itu tanpa takut. Tubuhnya tegap, pedang tetap menyala biru.
“Jika ini ujian takdirku, aku akan menaklukannya. Aku tidak akan mundur.”
Bayangan itu menatap Yuxian dengan intens. Suara dalam kepalanya terdengar lagi, lebih berat dan lebih jelas.
“Manusia pedang, apakah kau siap menanggung takdir yang menentukan nasib dunia? Jika kau gagal, bukan hanya dirimu yang hancur, tetapi semua yang kau cintai akan musnah.”
Angin berputar semakin kencang. Debu dan serpihan pohon beterbangan, menutupi cahaya biru dari pedang Yuxian. Bahkan udara terasa panas, bergetar seperti ingin meledak. Xu Liang dan Gadis Tombak menahan tubuh mereka agar tidak terseret.
Yuxian menatap bayangan itu dengan tatapan penuh tekad. “Kalau dunia ini menuntut seseorang untuk menghadapi takdirnya, aku akan menjadi orang itu.”
Pedang biru keperakan di tangannya bergetar lebih kuat, bersinar semakin terang. Bayangan di pusaran energi bergerak maju, membentuk lingkaran gelap yang siap menelan siapa pun yang mendekat.
Dan saat bayangan itu melangkah keluar dari inti retakan, suara gemuruh terdengar hingga ke seluruh hutan purba. Semua yang berada di sana menahan napas. Bahkan pohon-pohon raksasa tampak seolah menunduk menahan kekuatan yang mendekat.
Di detik itu, Li Yuxian tahu bahwa pertarungan sebenarnya baru saja dimulai, dan nasib dunia berada di ujung pedangnya.
Ledakan cahaya putih itu memekakkan telinga. Udara bergetar seperti ditarik dari segala arah, dan tanah di bawah kaki Li Yuxian pecah membentuk jurang kecil yang menyebar cepat. Xu Liang dan Gadis Tombak menutup wajah mereka dengan lengan, berusaha bertahan di tengah tekanan yang nyaris membuat paru-paru mereka berhenti bekerja.Yuxian berdiri di tengah pusaran, tubuhnya bergetar hebat. Pedang biru keperakan di tangannya bergetar seolah-olah sedang menahan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Dari bilah pedang itu, muncul percikan kecil cahaya biru yang melesat ke arah langit, menembus kabut tebal dan menggetarkan seluruh hutan purba.“Energi ini tidak sama seperti sebelumnya,” kata Xu Liang dengan suara gemetar. “Seolah ada sesuatu yang terbangun di dalamnya.”Gadis Tombak menatap ke arah pusat pusaran. “Bukan hanya terbangun. Energi itu sedang berevolusi.”Yuxian menggertakkan gigi, menahan arus kekuatan yang mulai menelan tubuhnya. Suara gemuruh memenuhi udara ketika pusaran
Li Yuxian berdiri di tengah reruntuhan hutan purba, pedang biru keperakan tergenggam erat di tangannya. Gelombang energi yang baru pecah menciptakan pusaran cahaya merah dan biru yang berputar liar, menimbulkan tekanan hebat yang mengguncang tanah. Pohon-pohon runtuh, tanah retak semakin melebar, dan udara dipenuhi debu serta serpihan kayu.Xu Liang dan Gadis Tombak menatap Yuxian dengan mata terbelalak. Tubuh mereka bergetar mengikuti setiap gelombang energi yang menghantam sekeliling mereka.“Yuxian, energi itu semakin liar!” teriak Xu Liang.“Aku tahu,” jawab Yuxian dengan napas berat. “Aku harus menyatu dengan pedang ini dan pusaran energi jika ingin selamat.”Gadis Tombak menunduk, tombaknya membentuk medan pelindung tipis untuk menahan serpihan yang beterbangan. “Kau satu-satunya yang bisa menahan gelombang itu. Aku tidak ingin kehilanganmu.”Yuxian menelan ludah, menatap inti pusaran yang berdenyut semakin cepat. Cahaya biru keperakan dari pedangnya memantul ke gelombang energi
Li Yuxian berdiri di tengah reruntuhan hutan purba, pedang biru keperakan menggenggam erat di tangannya. Cahaya dari pedang itu menembus debu dan serpihan pohon yang beterbangan. Pusaran energi di depan mereka telah pecah menjadi beberapa gelombang besar, masing-masing berdenyut merah dan biru, mengirimkan tekanan yang menghancurkan tanah dan memutar udara di sekeliling mereka.Xu Liang dan Gadis Tombak berdiri di belakangnya, tubuh mereka bergetar mengikuti getaran energi. Mata mereka menatap Yuxian dengan campuran kekaguman dan ketakutan.“Kita belum pernah menghadapi energi seperti ini sebelumnya,” desis Xu Liang. “Setiap gelombangnya bisa menghancurkan kita.”“Aku tahu,” jawab Yuxian. Napasnya berat, tubuhnya bergetar mengikuti denyut energi. “Aku harus menyatu dengan gelombang ini. Jika gagal, kita semua akan hancur.”Gadis Tombak menunduk, tombaknya membentuk medan tipis untuk menahan serpihan pohon yang beterbangan liar. “Kau satu-satunya yang bisa menghadapi ini. Aku tidak ing
Li Yuxian berdiri di tengah hutan purba yang hancur berantakan. Pedang biru keperakan di tangannya berdenyut lebih kuat dari sebelumnya. Angin berputar liar, serpihan pohon dan debu beterbangan memenuhi udara. Di pusat pusaran, sosok misterius yang bersinar merah dan biru bergerak perlahan, mengeluarkan gelombang energi yang menekan seluruh hutan.Xu Liang dan Gadis Tombak menatap dengan mata terbelalak. Mereka tidak pernah menyaksikan energi seperti ini sebelumnya. Tubuh mereka bergoyang akibat tekanan gelombang energi yang terus menghantam.“Yuxian, kau harus berhati-hati,” teriak Xu Liang. “Energi itu… jauh lebih kuat dari bayangan sebelumnya.”“Aku tahu,” jawab Yuxian. Suaranya tegas, napasnya berat. “Pedang ini dan aku harus menyatu dengan energi itu sekarang. Jika tidak, kita semua akan hancur.”Gadis Tombak menekuk lutut, tombaknya membentuk medan pelindung tipis. “Aku tidak ingin kehilanganmu,” gumamnya. “Tetapi kau satu-satunya yang bisa menghadapi ini langsung.”Yuxian menel
Li Yuxian berdiri di tengah hutan purba yang porak-poranda. Pedang biru keperakan di tangannya berdenyut lebih kuat daripada sebelumnya. Debu beterbangan, serpihan pohon terlempar ke udara, dan tanah retak menyebar seperti jaringan sungai yang membelah hutan. Udara terasa panas dan dingin sekaligus, seakan menandakan kekuatan baru yang sedang menunggu untuk dilepas.Xu Liang dan Gadis Tombak berdiri di belakangnya, tubuh mereka tegang. Mata mereka menatap pusaran energi merah dan biru yang berdenyut di pusat retakan.“Apa itu… energi baru?” desis Xu Liang sambil menahan tubuhnya agar tidak terseret gelombang energi.“Sepertinya energi ini bereaksi terhadap pedangmu,” jawab Yuxian. Suaranya mantap, tetapi napasnya terdengar berat. “Jika aku tidak segera mengimbangi ritmenya, kita semua akan hancur.”Gadis Tombak menatap sahabatnya dengan cemas. “Kau harus berhati-hati. Energi itu… jauh lebih liar daripada sebelumnya. Bahkan bayangan gelap yang sebelumnya menyerang kita tampaknya mengan
Li Yuxian terlempar ke udara, tubuhnya berputar beberapa kali sebelum mendarat di tanah yang retak. Debu dan serpihan pohon beterbangan di sekelilingnya. Pedang biru keperakan masih tergenggam erat di tangannya, bersinar terang menahan sebagian gelombang energi yang menelan hutan purba.Xu Liang dan Gadis Tombak berlari ke arahnya, langkah mereka berat karena tanah retak dan serpihan pohon yang berserakan. Wajah mereka dipenuhi kecemasan.“Yuxian, kau baik-baik saja!” teriak Xu Liang.“Aku masih hidup,” jawab Yuxian sambil menggelengkan kepala. “Tapi energi itu… lebih dahsyat dari yang kukira. Aku harus cepat menemukan ritmenya.”Gadis Tombak menatap sahabatnya dengan mata cemas. “Kalau kau gagal memahami energi itu sekarang, tidak ada yang bisa menolong kita.”“Aku tahu,” gumam Yuxian. “Aku harus menyesuaikan diri. Pedang ini dan energi itu harus sinkron, atau kita semua akan hancur.”Yuxian menutup mata sebentar, merasakan denyut energi yang tersisa di tanah, udara, dan inti retakan