“Di mana itu?”
“Yang jelas di tempat yang tidak akan kalian temukan jika kita terus duduk berbincang di sini”
“Berapa lama kah kami di sana?”
“Sampai urusan kalian selesai.. ”
“Tapi.....” Rukmana berusaha menahan kepanikannya, “Saya harus sekolah, membantu Ibu saya jualan.”
“Bagaimana Gusti?” Gama meminta kebijakan dari Patih Tarkas.
“Baiklah. Khusus untuk anak ini,” Patih Tarkas menunjuk Rukmana, “Kuperintahkan kau, Arni, untuk sedikit membuat ibunya sejenak melupakan anaknya, ya semacam menghapus ingatan seperti itu. Bisa?”
“Dengan senang hati, Gusti.”
Arni lalu mendekati Rukmana menyentuh ubun-ubun gadis remaja itu dengan telapak tangannya. Rukmana bingung sekaligus takut dengan apa yang dilakukan Arni namun ia hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, begitu pula dengan kedua sahabatnya. Arni memejamka
Rumah Tawanan Ramina, Kota Mandira, Negeri Danta, 2010 “Demi Tuhan, aku tak mengerti apa yang terjadi pada kita bertiga saat ini..” ucap Rukmana pagi itu. Tiga sahabat itu ditempatkan di sebuah rumah yang cukup besar di lingkungan istana, cukup nyaman. Mereka hampir bukan lagi sebagai tawanan. Yang membuat mereka dikenali sebagai tawanan adalah karena mereka diawasi ketat oleh beberapa pengawal yang berbaris di depan rumah itu. Apapun yang ingin atau mereka lakukan harus dilaporkan kepada pengawal itu. Sungguh suatu hal yang sangat menyebalkan, pikir mereka. Mereka yang terbiasa hidup bebas berkeliaran ke sana kemari, kini harus diawasi super ketat. Tak hanya ada mereka di tempat itu, ada pula seorang perempuan separuh baya yang bertugas memasak di tempat itu, dan seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang menjadi petugas kebersihan di rumah itu. Untungnya, dua orang itu begitu ramah kepada Bayu dan dua sahabatnya, setidaknya selam
“Paman, saya selalu mencoba menebak negeri apa ini?” tanya Bayu kepada Sandanu sesaat ketika mereka menikmati istirahat setelah membersihkan kolam ikan hias di samping tempat pemandian air panas yang sering digunakan para istri pejabat istana. Sandanu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bayu itu. Ia menuang air dari kendi sebesar topi besi perang ke dalam gelasnya dan gelas Bayu lalu mereguknya perlahan. “Saya mencoba mencarinya di buku yang ada di rumah yang kami tempati, namun saya tak menemukannya.” Sandanu menyodorkan segelas air kepada Bayu, ia sendiri langsung meminum air di gelasnya sendiri, “Aku tak pernah tahu pasti apa yang terjadi, namun kakekku pernah bercerita bahwa Dunia di balik kabut merupakan dunia tersembunyi yang diisi oleh masyarakat layaknya duniamu, Nak.” “Maksudmu alam gaib?” tanya Bayu antusias. “Sejenis dunia yang berisi hantu? Apakah wajahku semenyeramkan itu?” Sandanu tertawa,”Dunia ini tak ada bedanya
“Apa Paduka Ratu tidak ingin bertemu dengan para remaja tawanan kita itu?” tanya seorang dayangnya ketika sedang menyisir rambut indah Ayunda sore itu. Ayunda tidak menjawab, matanya melempar pandangan ke luar jendela kamarnya. Mencoba menerawang keagkuhan sore kala itu, mencoba membius udara sore yang kering. Angin kering. Beberapa ekor burung kecil berjejer terbang melintasi udara di luar kamar Ayunda yang memang berada di lantai atas istananya yang megah. Ayunda melempar senyum cantiknya pada barisan burung yang sedang menyapa angkasa itu, burung-burung tersebut berkicau mesra menyambut senyum sang Ratu. “Seluruh pelosok negeri tahu jika anda memiliki senyuman yang mampu membuat pohon yang kering kembali menuai bunganya, Paduka...” kata dayang tersebut seraya mengurai rambut Ayunda. Ayunda menoleh ke arah dayangnya sambil tersenyum, “Dan kau adalah sahabat terbaik yang aku miliki, Riani...” Riani, Dayang tersebut, melangkah pelan mengambil sebuah s
“Ikutilah apa kata Bibimu..” ujar Sandanu, “Ia sudah memasak makanan yang sangat lezat untuk kita malam ini..” Bayu dengan enggan akhirnya masuk ke kamarnya. Ia tampak sangat belum puas. Dicobanya merebahkan diri di dipan, berusaha serileks mungkin. Namun hal itu begitu sulit dilakukannya. Pikirannya melayang pada kalung Gajahsora, pada peperangan yang akan terjadi, dan pada dunia yang katanya tak kasat mata yang selama beberapa hari ini ia diami. Ia sendiri tak habis pikir, sebenarnya Bayu adalah orang yang sulit untuk membiasakan diri memperhatikan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengannya. Namun kali ini otaknya seakan memaksanya untuk larut dan turut serta memikirkan urusan dunia yang sebenarnya begitu asing baginya ini. Tak merasa nyaman berbaring, ia mencoba berjalan ke sebuah lemari buku di salah satu sisi kamar tersebut. Ketika baru datang, Bayu mencoba untuk tertarik pada buku-buku itu, namun sulit. Buku-buku itu begitu tebal dan nampak usang.
Panah-panah tersebut dengan cepat menghujani Bayu. Bayu dengan segala sisa kemampuannya mencoba menghindar sambil sesekali memekik antara ketakutan, panik, mengumpulkan keberanian, dan meminta pertolongan. Ada beberapa yang sempat menyerempet bagian tubuhnya, namun tak sampai membunuhnya. Bayu dengan penuh kesakitan berlari sambil terus memegangi panah yang menancap tubuhnya ke arah pintu. Ia berlari dengan gontai sambil memanggil Sandanu, Jumara, Rukmana, Sutha, bahkan siapa saja yang diharapnya mampu mendengarnya. Di tengah derita itu, ia sempat mendengar derap kaki panik mendekatinya. Sandanu memeluk tubuhnya dengan kepanikan. Di belakangnya ada Jumara, Sutha dan Rukmana dengan raut wajah tak kalah cemas. “Panggil pengawal segera!!!” pekik Sandanu dengan cemas. Ia memeluk tubuh Bayu yang basah kuyup dengan darah. Sutha segera berlari ke luar menemui pengawal yang nampaknya tak menyadari ada kejadian ini di kamar Bayu. “Jumara, bawa Rukmana ke tempa
Bayu terbangun dengan keringat mengucur deras dari dahinya. Ia seperti baru saja melakukan pertarungan yang begitu keras. Untuk beberapa saat ia merasa panadangannya nanar, semua yang ditangkap oleh kornea matanya hanya berupa visualisasi buram. Ia seperti melihat bayangan banyak benda pada air yang sedang bergejolak, perlahan dan perlahan sehingga kembali normal. Hal pertama yang ia sadari adalah ia merasakan nyeri yang begitu dalam pada sisi di bawah tulang iganya. Ia mengeluh tertahan. Kemudian ia menoleh ke sisi kananya, seorang perempuan tua sedang mengupas apel di situ. “Jangan terlalu banyak bergerak, Nak. Akan membuat lukamu semakin membesar...” ucap perempuan itu sambil terus mengupas apelnya. “Apa yang terjadi sebenarnya...?” Bayu berusaha mengumpulkan memorinya. “Kau terluka parah, hampir mati, dan sejak tadi malam kau terus-terusan mengerang kesakitan sambil memejamkan mata. Kau membuat murid-muridku, para perawat pemula itu menjadi panik.
“Kita akan aman di sini, Nak...” kata Ibunda Ratu itu menenangkan Bayu yang tampak pucat semenjak perjalanan tadi. “Belum pernah ada pasukan yang bisa menembus ruang bawah tanah kerajaan Danta.” sambungnya lagi sambil memanggil seorang pelayan. “Kau ingin anggur?” tawar perempuan simpatik itu kepada Bayu. Bayu menggeleng cepat. “Permentasi anggur ini akan menghangatkan tubuhmu dan tidak akan membahayakan lukamu...” Bayu sejenak memandang luka di bawah tulang iganya yang kini dibalut perban tebal. “Maaf, Paduka, bukan bermaksud lancang, tapi saya tak biasa minum anggur.” “Pelayan...” ibunda Ratu itu tersenyum mengerti, “Bawakan Bayu minuman hangat, selain anggur” “Terima kasih, Paduka..” Bayu menunduk hormat. Bayu lalu memandang ke sekeliling ruangan itu, mencoba mencari sesuatu. “Mencari siapa?” tanya ibunda sang Ratu. “Paman Sandanu, Bibi Jumara, dan teman-teman saya, Paduka...” “Mereka ak
Bayu perlahan berlari menuju area pertempuran, ia mencoba mengingat tiap jalan yang sempat dilaluinya menuju ruang bawah tanah tadi. Sayup sayup di dengarnya suara pedang beradu, teriakan, dan asap mengepul. Ia menyadari ia semakin dekat dengan tujuannya. Meski rasa gugup berpacu cepat dalam dadanya. Ia terus menyusuri jalan itu, berlindung di setiap tumbuhan, pohon, dinding yang ia temui. Tangannya memegang pedang yang berhasil ia curi dari salah satu pengawal di ruang bawah tanah, meski tidak begitu ringan, namun ia berusaha senyaman mungkin untuk membawanya. Ia tahu suatu saat dalam kondisi seperti ini pedang ini harus dapat ia gunakan. Bayu merasa beruntung pernah menjadi pencopet selama beberapa tahun. Ternyata pengalamannya itu berguna untuk mencuri sebilah pedang prajurit dan menyusup dalam diam meninggalkan ruang persembunyian itu. Tak ada satupun yang memperhatikannya saat itu. Namun kali ini ia harus lebih hati-hati. Apa yang akan dihadapinya mungkin akan l