“KEJAR DIA!”
Callista berlari di tengah-tengah keramaian. Dia begitu panik ketika beberapa pria mengejarnya. Tidak ada yang peduli dengan apa yang terjadi, orang-orang tampak sibuk sendiri tanpa memedulikan wanita itu. Napasnya terdengar terengah-engah dengan keringat yang membanjiri wajahnya.
Wanita itu pun membelokkan arah larinya ke gang kecil yang diapit oleh dinding bangunan. Sesekali dia menoleh, memastikan apakah para pengejar itu masih mengejar atau sudah jauh? Namun rupanya semakin lama, mereka semakin mendekat. Entah karena para pengejar yang lebih cepat atau langkah Callista yang mulai melemah. Tentu saja hal tersebut membuatnya semakin panik.
BRUK!
Tak sengaja dirinya menabrak seorang pria yang sedang berjalan berlawanan ke arah dia. Pria itu tampak memasang raut wajah kesal sembari melihat Callista yang kini berada di bawah. Dengan cepat Callista berdiri dan menatap orang yang ditabraknya itu.
“Maafkan aku!” kata Callista merasa bersalah.
Saat dia hendak berlari lagi, pria tadi pun menarik tangan Callista agar berhenti berlari. “Kau tampak kelelahan dan sepertinya sedang dikejar oleh seseorang. Siapa yang mengejarmu?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tak perlu ikut campur urusanku!” Dengan cepat, wanita tersebut menepis tangan pria yang menggenggam tangannya dan segera melarikan diri.
Lagi-lagi, pria tersebut tidak mau berhenti mengganggu. Dengan lancang, kedua tangannya memeluk tubuh Callista dari belakang. Tentu saja Callista dibuat terkejut oleh kelakuan kurang ajarnya. Dia pun memberontak serta memukuli tangan besar pria yang memeluknya itu.
Alih-alih melepaskan, pria tadi menarik tubuh Callista lalu menghadapkannya ke dinding. Kini tidak ada jarak di antara mereka. Pria itu juga mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Callista.
“Lepaskan aku!” teriaknya.
“Aku tak akan melepaskanmu sampai kau bertanggung jawab. Kau sudah menabrak tubuh berhargaku,” bisik pria itu sembari mendekatkan wajahnya ke leher Callista. Hal ini membuat Callista terdiam. Belum lagi, deru napas yang mendarat di lehernya terasa hangat.
“Ka-kau! Jauhkan mulutmu itu dari leherku!” pekik Callista saat merasakan lehernya mulai basah. Ya, pria itu menjilati leher Callista tanpa mengatakan apapun.
Agar Callista tidak terus mengoceh, tangan besar pria itu pun menutup mulutnya. Kini Callista hanya bisa berteriak dalam bekapan. Tangannya berusaha untuk melepaskan diri, tetapi pria yang mendekapnya dari belakang ini jauh lebih kuat daripada dirinya.
Tiba-tiba saja terdengar suara beberapa orang yang berlarian melewati dua orang ini. Salah satu dari mereka berhenti di dekat keduanya dan bertanya, “Hei, kau! Apakah kau melihat seorang wanita berambut panjang berlari kemari?”
“Jangan ganggu aku dengan kekasihku! Lebih baik kau pergi sebelum aku membunuhmu,” ancam pria itu.
“Aku bertanya kepadamu, Bodoh! Jika kau tidak tahu, tak perlu berkata seperti itu!” omelnya. Pria ini menoleh dan menatap tajam orang yang bertanya tadi. Melihat bagaimana tatapan mengerikan itu membuatnya memundurkan tubuh karena takut.
“Jika kau tidak pergi, aku akan benar-benar mencabik tubuhmu itu dan memisahkannya dari tubuhmu yang lain. Ku beri waktu tiga detik. Satu ... dua-“
Dengan langkah cepat, orang-orang itu pun pergi meninggalkan mereka. Setelah dirasa cukup jauh, pria ini melepaskan genggamannya dan menjauhi tubuh Callista. Tanpa berkata apapun, dia melangkah pergi.
“Tu-tunggu dulu!” Callista menahannya sembari berdiri di depan pria itu.
“Kau ... kau sudah menyelamatkan aku. Biarkan aku membelikanmu makan siang. Aku merasa kalau aku berutang budi kepadamu,” ucapnya kepada sang pria.
“Aku tidak semiskin itu hingga mengharapkan makan siangku dibayar oleh orang lain. Bagaimana kalau aku meminta hal lainnya sebagai syarat utang budimu terlunasi?” tawar pria itu membuat Callista menyerah dan mengangguk.
“Jadilah istriku!”
“HAH?”
***
Sebuah pernikahan diadakan di area taman terbuka. Semua orang tampak duduk di kursi seraya menunggu seseorang hadir di antara mereka. Di depan para tamu, seorang pria berdiri dengan gugup. Wajahnya terlihat tegang, walau begitu, dirinya sangat bahagia.
Sementara itu, Callista terlihat cantik mengenakan gaun panjang berwarna putih. Kecantikannya mampu membuat siapapun terpana melihatnya, termasuk seorang pria yang sedang berdiri di altar pernikahan. Dengan anggun, Callista berjalan mendekati pria itu bersama sang ayah yang mendampingi dia. Sesampainya di altar pernikahan, kedua insan ini saling berhadapan satu sama lain dan melemparkan senyuman manis.
Tak lama, janji pernikahan pun dilontarkan sampai mereka resmi menjadi sepasang suami dan istri. Tepuk tangan serta sorak-sorai terdengar riuh di taman ini. Senyuman bahagia pun terpancar dari semua orang yang hadir, termasuk Callista dan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Sorakan semakin meriah tatkala keduanya saling berciuman dengan mesra.
Seusai berciuman, Callista pun berbisik. “Aku mencintaimu, Fernando.”
“Aku juga mencintaimu, Callista. Terima kasih sudah bersedia menjadi istriku,” balas Fernando Foligno. Callista pun tersenyum senang. Fernando menarik istrinya ke dalam pelukan sembari membalas senyuman.
DOR!
Suara tembakan yang terdengar entah dari mana membuat semua orang panik, termasuk Callista. Dia terkejut karena beberapa cairan berwarna merah pekat mengenai wajahnya bersamaan dengan terjatuhnya Fernando setelah mereka melepaskan pelukan.
Callista melihat ke bawah. Dia langsung menjerit saat melihat bagaimana kondisi sang suami. “FERNANDO!” pekiknya.
“Fernando bangunlah! Aku mohon!” Callista mencoba untuk mengguncangkan tubuh Fernando yang sudah dipenuhi darah di bagian dada. Pria itu tampak kesulitan bernapas. Dengan cepat, Callista mencari arah penembakan. Namun dia tak melihat siapapun yang mencurigakan selain orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri.
“Ca-Callista, carilah si pelaku itu! Ba-balaskan dendamku,” pinta Fernando dengan terbata-bata.
“Jangan berbicara dulu, Fern! Ambulance akan datang, bertahanlah!” mohon wanita itu. Alih-alih membalas, Fernando hanya menyunggingkan senyumnya. Perlahan tangan pria itu terangkat, berusaha untuk menyentuh pipi Callista. Namun sayang, Fernando menghembuskan napas terakhir bersamaan dengan tangannya yang terjatuh.
“FERNANDOOO …,” teriak Callista histeris sembari menangis. Dia tak menyangka pria yang baru saja menjadi suaminya itu sudah tiada. Tubuhnya terus diguncangkan, berharap Fernando hanya bergurau. Dia terus meneriaki namanya sehingga beberapa orang yang masih ada di sana menolehkan kepala.
Kedua orang tuanya mencoba untuk menenangkan Callista, tapi wanita itu terus menjerit. Wanita ini tak mendengarkan ucapan-ucapan yang dilontarkan mereka. Dia hanya menangis tersedu-sedu dan tidak terima suaminya dibunuh oleh orang yang tidak dikenal. Bahkan keberadaan si pelaku tidak terlihat.
Tiba-tiba saja, Callista mendengar sebuah bisikan yang terdengar dari arah belakang. “Jika kau ingin membunuhku, maka carilah aku!”
Mendengar bisikan itu, Callista langsung berteriak dan meminta agar seseorang menunjukkan batang hidungnya. Namun tidak ada orang yang membisikkan sesuatu kepada dia. Sang ibu meyakinkan kalau Callista hanya berhalusinasi, tapi wanita ini cukup yakin kalau bisikan tersebut terdengar sangat nyata. Seakan-akan seseorang membisikkannya tepat di belakang dia.
Tidak lama kemudian, polisi dan para medis pun berdatangan, mereka langsung menghampiri korban. Callista dibawa ke kantor polisi serta para saksi lainnya untuk menjelaskan kronologi yang terjadi di taman tersebut. Setelah itu, barulah dia serta keluarga pun kembali ke rumah dan menyerahkan semuanya kepada pihak berwajib.
Dua minggu berlalu, Callista hanya bisa mengurung diri. Dia tak melakukan apapun selain terpuruk setelah kepergian Fernando. Rasa tidak terima dan sakit hati masih membekas di hatinya, apalagi dia menjadi kesal sendiri saat tahu si pelaku masih berkeliaran bebas di luar sana. Ditambah kepolisian masih menyelidiki dan belum mengalami kemajuan dalam menangani kasus tersebut.
“Aku akan balas dendam, Fern! Aku sudah tidak tahan terus seperti ini. Tolonglah beri aku kekuatan, dan saksikan pembalasanku atas kematianmu.” Seusai berkata begitu, Callista bangkit dari rebahannya lalu bercermin. Tanpa berkata apapun, dia mulai mengubah dirinya dan berusaha bangkit dari keterpurukan. Seusai itu, wanita ini pun memandangi wajahnya di pantulan cermin.
“Aku … Callista Austerlitz Zouch, akan melakukan balas dendam dan aku sendiri yang akan mencari tahu keberadaan si pelaku itu!”
Bersambung …
Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian penembakan itu, Callista belum berhasil menemukan pelaku penembakan yang sudah membunuh Fernando. Meski kepolisian masih menyelidikinya, tapi dia tak bisa berdiam diri dan menunggu. Ambisinya untuk melakukan balas dendam sudah tak bisa ditahan lagi. Sudah tiga minggu dirinya mencari-cari si pelaku dan hanya mendapatkan sedikit informasi dari orang lain.Callista tidak akan menyerah begitu saja dan harus menemukan si pelaku entah bagaimana caranya. Untuk sekarang, dia sudah berhasil mengetahui kalau ada seseorang yang mungkin bisa membantu. Menurut informasi yang dia dapatkan, seorang pria berkulit hitam memiliki akses lebih tentang aktivitas kriminal di kota ini. Tak mau kehilangan kesempatan, maka Callista harus mencari keberadaannya.Tepat di kawasan sudut kota, Callista berjalan seorang diri. Dia mencari keberadaan orang yang dimaksud oleh si pemberi informasi dan di tangannya terdapat sebuah foto yang menunjukkan wajah pria tersebut. Wanita
Ternyata yang memanggilnya adalah Fritz Ryker, seorang pria yang dikenal Callista dari suatu tempat. Pria tersebut tampak tersenyum, tapi Callista malah mendengkus kesal karena dia salah mengira kalau Fernando yang menyerukan namanya. Suara Fritz tak jauh berbeda dengan sang mantan suami.“Maaf! Aku kira Fernando,” kata Callista kepada pria itu.“Tak perlu meminta maaf. Kau sedang apa di sini? Tidak biasanya kau pergi ke bar.” Fritz tampak penasaran. Dia duduk di samping Callista.“Kebetulan aku lewat jalanan ini dan mampir sebentar. Kata orang ini, mereka menjual informasi, siapa tahu mereka bisa membantuku,” jawab Callista seraya menunjuk Richard lalu sedikit mengubah posisi duduknya agar Fritz bisa melihat pria di sampingnya itu.Alih-alih membalas, Fritz malah menunjukkan raut wajah terkejut. Kedua matanya membelalak dengan lebar. Hal ini membuat Callista mengernyitkan dahi karena kebingungan. Ada apa dengan pria ini? Tanyanya dalam hati.“Kenapa wajahmu tampak terkejut begitu?” t
Callista berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik menghadap ke arah Fritz. Dia sangat terkejut ketika mendengar ucapan pria itu. Dia kembali bertanya, “Apa kau bilang? Dia seorang bos mafia?”“Ya, dia berbahaya. Kau harus menjauhinya, Callista. Jika kau berurusan dengan dia, kemungkinan kau tidak akan dilepaskan olehnya. Ka-““Apakah kau memiliki bukti? Jika tidak ada bukti, jangan berbicara sembarangan! Dia hanyalah seorang CEO dari sebuah perusahaan, tidak mungkin seorang bos mafia. Terlihat dari wajahnya, tidak mungkin dia berbohong kepadaku,” tukas Callista tidak terima. Wanita ini tidak mengerti kenapa dirinya berkata begitu kepada Fritz. Padahal di dalam benaknya, dia ingin mempercayai ucapan temannya itu.“Kau tidak percaya kepadaku?” tanya Fritz dengan raut wajah menahan kesal.“Bukannya aku tidak percaya, aku hanya tidak mau kau berbicara sembarangan tentang orang lain,” jawab Callista.“Apakah kau membelanya setelah melihat wajah tampannya itu dalam jarak dekat?” sindir Fr
Callista berjalan seorang diri di sekitaran taman yang menjadi lokasi penembakan pada bulan lalu. Meski kenangan pahit itu kembali dia ingat, dirinya tidak ingin menyerah dan terus menelusuri kawasan itu. Siapa tahu ada sesuatu yang tertinggal, yang bisa menjadi petunjuk baginya. Padahal sudah berulang kali dia datang kemari, tetapi dia tidak menemukan apapun.Karena informasi yang dia dapatkan semalam cukup meyakinkan, makanya dia kembali ke sini untuk memastikannya sendiri. Kini dia berhenti di depan sebuah gang yang dimaksud oleh Fliora. Gang tersebut menjadi saksi kematian seorang pria yang dibunuh oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Ada kemungkinan si pelaku adalah orang yang sama, mengingat kalau pelaku itu pergi ke sini setelah kejadian penembakan di taman sekitaran kawasan ini.Callista menghampiri seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari rumahnya. Dia menanyakan tentang kejadian waktu itu. Menurut pria tersebut, sebelum para medis dan kepolisian datang
Dengan cepat Callista membalikkan arah jalannya lalu menarik kerah pakaian Letizia. Dia mengancam, “Jika kau tahu tentang si pelaku itu, katakan kepadaku! Kalau tidak, aku akan membunuhmu!”Secara perlahan, Letizia menarik tangan Callista. Wanita ini tertawa pelan. “Jangan terburu-buru, Senior! Aku tak akan memberikan informasi secara percuma. Sebagai anggota dari Foreszther, seharusnya kau tahu akan hal itu,” balasnya.“Aku bukan anggota mereka lagi dan tidak sudi bekerja sama denganmu! Ka-““Tidak masalah kalau kau bukan lagi anggota di sana, aku tak begitu memedulikannya, tapi kita harus bekerja sama. Kau ingin informasi itu, kan?” tukas Letizia membuat Callista berdecak. Dengan kasar, wanita itu menarik tangannya yang sedari tadi digenggam oleh Letizia lalu menjauh.Callista sangat kesal karena di saat dia ingin mendapatkan informasi tentang si pelaku penembakan, malah ada orang lain yang ingin memanfaatkannya, terutama orang asing seperti Letizia. Ditambah wanita itu adalah anggo
Pria di depan wanita ini terlihat tertawa pelan, membuat Callista menjadi kesal sendiri. Dengan perlahan, dia memegang senjata itu seraya menatap tajam mata Callista. Dirinya berkata, “Jangan seperti itu kepada bosmu sendiri, Zouch! Aku ingin kau kembali bergabung. Sebagai gantinya, aku akan menjawab semua keingintahuanmu tentang Fernando Foligno.”Alih-alih membalas, Callista hanya bergeming seraya menatapnya dengan tajam. Karena tak ada balasan, pria itu melanjutkan, “Silakan lubangi leherku! Alih-alih aku yang mati, malah kau yang tergeletak bersimbah darah akibat peluru anak buahku.”“Bagus, Bos Alberto! Dengan begitu kau kehilangan orang seperti aku.” Alberto langsung terdiam. Pria itu terlihat menahan emosinya setelah Callista berkata begitu. Melihat bagaimana reaksinya, Callista hanya mendesis.“Lebih baik kau beri tahu aku informasi tentang Fernando! Aku masih bisa sabar. Kalau tidak, aku akan benar-benar menghancurkan tempat ini meski harus kehilangan nyawaku sendiri!” ancam
Callista sudah membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan kelompok ini dan bekerja di bawah perintah Alberto. Dirinya terpaksa memutuskan hal tersebut demi menuntaskan balas dendam. Dia merasa hanya ini jalan satu-satunya. Kalau ada kesempatan besar, kenapa dia harus membuang kesempatan itu? Meski nyawa taruhannya dan memiliki risiko tinggi, Callista tak peduli.Mendengar keputusan yang disampaikan Callista membuat Alberto tertawa. Dia begitu senang karena wanita yang telah dia tunggu selama ini, kini bersedia bekerja sama. Tentu saja banyak rencana yang Alberto siapkan agar Callista tetap bergabung dan enggan untuk meninggalkan kelompok ini. Termasuk memasukkannya ke dalam tim yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum wanita di depannya itu datang ke hadapan dia.“Keputusan yang bagus, Zouch. Dengan begini kita sudah sepakat, bukan?” tanya pria itu. Callista menganggukkan kepalanya.“Ya, asalkan kau menepati janjimu. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk melakukan sesuatu kep
Teman-teman Vittoria terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Callista. Mereka sempat meminta wanita itu untuk melepaskan Vittoria. Namun dia enggan menjauh dan masih menatap tajam mata Vittoria yang kini terlihat membalas dengan tatapan tajam juga. Hal ini membuat Callista menjadi kesal kepadanya. “Vittoria, lebih baik kita tidak perlu tahu sampai sejauh itu. Kita bukanlah siapa-siapa baginya, apalagi baru kenal beberapa menit lalu.” Kini Justin menegur Vittoria. Wanita itu pun mendesis setelah Callista menjauhkan diri darinya. Terlihat jelas dia juga kesal dengan Justin. “Atas nama Vittoria, aku minta maaf, Zouch! Dia tidak bermaksud begitu,” katanya kepada Callista. “Katakan kepada anak buahmu itu untuk menutup mulutnya,” balas Callista tanpa menoleh. Justin menganggukkan kepala. Dia pun menyuruh mereka untuk duduk, termasuk Callista. Wanita ini menurut dan duduk kembali di sofa yang sebelumnya. Daripada membahas hal yang tak perlu dibicarakan, Justin memilih untuk memberitahukan