Kedua kaki Adelia mundur beberapa langkah. Jantungnya berdetak kencang karena terkejut mendengar suara itu.Adelia menatap sosok pria yang hanya diam menatapnya dengan ekspresi datar. Wajah yang asing, dan belum pernah ia lihat sebelumnya."Anda baik-baik saja?" tanya Demian singkat saat sosok di hadapannya hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata.Adelia mengangguk cepat, membuat kening Demian mengerut bingung.Pria itu menaikkan sebelah alisnya saat Adelia tiba-tiba berjongkok, memunguti satu persatu pecahan dari pot marmer itu.Apakah Kaisar akan menghukumnya?Pertanyaan itulah yang terlintas di benak Adelia. Tubuhnya gemetar saat mengingat wajah menyeramkan Kaisar yang menatapnya tajam.Adelia memekik tertahan saat tanpa sengaja jari tangannya terluka akibat tak berhati-hati.Darah segar terus mengalir dari luka kecil di jari Adelia. Dengan tergesa-gesa wanita itu membersihkan darah pada jari tangannya ke pakaian pelayan yang ia kenakan.Demian menghela napas pelan. Tiba-tiba berj
"Kakak."Kaisar menaikkan sebelah alisnya mendengar panggilan itu. Ia mendongak, menatap wajah Raila yang tengah duduk di atas brankar."Kenapa?" Kaisar beranjak dari duduknya menghampiri Raila, "apa ada sesuatu yang kau inginkan?"Gadis itu hanya diam menatap Sang Kakak yang kini duduk di kursi samping brankarnya."Kakak kenapa tidak pulang?" tanya Raila mengulurkan tangan mengusap kening Kaisar yang terlihat mengerut, menandakan jika Kakaknya itu tengah memikirkan sesuatu dengan keras.Kaisar hanya diam menikmati usapan tangan adiknya. Sesaat menghela napas pelan mendengar pertanyaan itu."Jika aku pulang, tidak ada yang menjagamu di sini. Aku tidak mungkin membiarkan adikku seorang diri di rumah sakit." ucap Kaisar.Raila mengerucutkan bibirnya. "Di rumah sakit ini bukan hanya ada aku seorang, kak. Ada banyak perawat dan orang lain, jangan lupa ada Uncle Lion juga."Kaisar terkekeh pelan. Rasa rindu ingin mendengar kembali suara adiknya, sekarang sudah terwujud. Beban dan perasaan
Adelia diam membisu di dalam kamar. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Jantungnya masih terus berpacu dengan begitu cepat karena hal yang terjadi beberapa menit sebelumnya.'Pria itu gila,' batin Adelia dengan keringat dingin mulai membanjiri keningnya.Bagaimana mungkin orang tak punya hati seperti pria itu, melakukan hal aneh seperti tadi?!'Di-dia benar-benar sudah tidak waras.' tubuh Adelia bergetar hebat. Ia menelan kasar ludahnya.'A-apa setelah ini, dia akan menyiksaku dengan cara lain?' batin Adelia. Tiba-tiba tubuhnya meremang, ia menggigit kukunya dengan perasaan takut.Adelia bangkit dari duduknya. Berjalan mondar-mandir bagai setrika sambil menggigit kuku tangannya.'Ba-bagaimana ini? Pria itu pasti sudah menyiapkan ruangan penyiksaan.' batin Adelia terus bertanya tanpa henti.Ia merinding kala membayangkan senyum menyeramkan di wajah Kaisar."Nona?"Sontak Adelia berbalik menatap Lora yang kini berada di ambang pintu. Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki ka
"Demian, bagaimana pendapatmu saat tinggal di sini?"Seketika Demian terdiam di tempat duduknya mendengar pertanyaan itu.Pagi ini, tiada angin tiada hujan tiba-tiba Ayahnya menanyakan hal seperti itu kepadanya.Ada apa ini?"Ya, lumayan." jawab Demian singkat. Ia merasa sedikit canggung mendengar pertanyaan itu.Logan menatap lama wajah putranya yang tetap datar, walau kini Logan tahu jika putra pertamanya itu mencoba menghindari kontak mata dengannya.Logan tersenyum kecil. Sesaat ia terdiam, kemudian menghela napas pelan mengingat percakapan antara dirinya dan Lion semalam."Apa ada sesuatu, Dad?" tanya Demian yang kini menatap Ayahnya.Meski orang-orang di luar sana menilai Demian adalah sosok yang tidak peduli pada sekitar karena eskpresi datarnya, tetapi nyatanya dia adalah orang yang paling sensitif dan tidak akan tinggal diam saat sesuatu terjadi pada keluarganya.Logan membalas tatapan mata putranya yang kini terlihat begitu serius."Bukan hal besar." jawab Logan singkat.Dem
Keadaan mulai kembali hening. Para pengunjung restoran kembali fokus pada santapan mereka, mengabaikan keributan yang sempat terjadi.Sedang Zeline menatap penuh kekhawatiran pada wanita yang duduk di hadapannya.Adelia berusaha menghentikan tangisnya. Ia terus mengusap kasar wajahnya saat air mata mulai turun membasahi kedua pipinya yang sedikit tirus.'Apa dia tidak makan dengan baik? Dia jadi terlihat lebih kurus dari terakhir kali.' batin Zeline menggigit bibirnya khawatir."Sudah mendingan, Sayang?" tanya Zeline meraih tisu di atas meja, lalu mengusap pelan pipi wanita yang hanya menganggukkan kepala kepadanya."Ada apa, Adelia? Apa mansion Kaisar terasa tidak nyaman? Dia memperlakukanmu dengan baik, 'kan?" tanya Zeline tanpa henti.Adelia menggigit bibir bawahnya. Ia takut mengatakan semuanya pada Zeline. Ancaman Kaisar terus terngiang di benaknya.Kening Zeline mengerut kala melihat Adelia meletakkan buku di atas meja, lalu mulai menulis sesuatu pada kertas putih itu."Aku baik
"Syukurlah kamu sudah siuman. Aunty sungguh takut kamu tidak akan pernah membuka mata," ucap Zara memeluk erat tubuh Raila.Gadis itu tersenyum membalas pelukan saudari Ayahnya itu."Tidak apa-apa, Aunty. Raila sudah siuman. Lihat, bahkan Raila sudah bisa berjalan-jalan dan keluar dari rumah sakit." ucap Raila terkekeh pelan.Beberapa orang di ruangan itu terlihat menggelengkan kepalanya. Terutama Revan yang tengah duduk di sofa bersama dengan dua iparnya."Kamu tidak berniat ke sana untuk memeluk Raila?" tanya Revan menatap sosok yang sejak tadi hanya diam dengan tatapan tertuju ke arah brankar.Louis mengalihkan pandangan menatap Revan. Menghela napas pelan sambil mengedikkan bahu acuh."Kau tidak lihat di sana sudah berkumpul tiga wanita? Kalau aku ikut bergabung, hanya akan terlihat aneh." jawab Louis mengedarkan pandangan hingga tanpa sengaja bertatapan dengan Logan."Apa lihat-lihat?!" sentak Louis tak suka.Revan menghela napas kasar. Dari dulu hingga kini, dua iparnya itu tak
Suara dentingan jarum jam memenuhi ruang tamu mansion mewah itu.Adelia duduk bersimpuh di lantai dengan tubuh gemetar. Kepalanya menunduk, tak berani mendongak menatap sosok pria yang tengah duduk di sofa tunggal. Menatapnya dengan tatapan elang, seolah mengawasi gerak-geriknya hingga membuat Adelia terus menelan kasar ludahnya tanpa henti.Sesaat suara sesuatu dilempar kasar ke atas meja terdengar memasuki indra pendengaran Adelia. Ia ragu untuk melihat hal apa itu."Tanda tangan." ucap Kaisar tak mengubah ekspresi datar pada wajahnya.Perlahan Adelia mendongak menatap Map berwarna hitam di atas meja. Kedua matanya mengerjap beberapa kali, tersentak kala tanpa sengaja bertatapan dengan Kaisar."Kenapa tidak bergerak untuk menandatanganinya? Kau ingin aku menyeretmu masuk ke dalam kamar, hah?"Seketika Adelia mendekati meja. Meraih pulpen di atas meja dengan tangan gemetar. Tanda tangan Adelia terbubuhi pada kertas tersebut, membuat seutas senyum kecil terbit di bibir Kaisar.Dengan
"Tuan, tunggu saya." ujar Bram dengan kaki berusaha mengikuti langkah Bosnya yang berjalan cepat memasuki kafe.Bram menghela napas pelan saat tiba-tiba Kaisar menghentikan langkahnya. Ia mencoba merapikan sedikit penampilannya yang berantakan.Mereka baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu rekan bisnis di restoran terdekat. Karena waktu makan siang telah tiba sesaat setelah mereka keluar dari Restoran, Kaisar melangkahkan kakinya ke kafe yang tidak jauh dari sana."Sepertinya akan bagus jika membeli makanan manis untuknya. Akhir-akhir ini makanan manis di sini cukup digemari oleh orang-orang. Mungkin sebaiknya aku membeli juga untuk Raila dan dia," gumam Kaisar menatap makanan manis yang tersusun baik di balik meja kaca.Sedang Bram mengerutkan keningnya mendengar gumaman Bosnya itu'Tuan Kaisar kerasukan jin dari mana ini?' batin Bram dengan wajah ngeri.Kaisar menghela napas pelan, mengalihkan pandangannya menatap sekretarisnya itu."Jangan memasang wajah menyebalkan se