“Kamu tidak menstruasi?”
Tatapan Alvaro berubah tidak lagi menatap penuh gairah, tetapi telah berubah menjadi penuh amarah. “Beraninya kamu!!” Dia menarik diri dan menatap langsung ke matanya, memastikan Elena tak punya ruang untuk mengelak. Terlihat jelas bahwa dia sangat membenci kebohongan yang dilakukan wanita di depannya. “T-tuan, saya…” “Diam !” potong Alvaro kencang. “T-tidak, Tuan. Saya hanya…” “Berhenti bicara!” Alvaro meraih kedua bahu Elena dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Berani mempermainkanku?” desisnya, setengah mengancam. “Kau lupa siapa aku?!” “Saya tidak berniat mempermainkan Anda, Tuan,” jawab Elena dengan suara gemetar. Namun, Alvaro tidak berhenti. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih syal yang tergeletak di kursi. Elena mencoba mundur, tetapi ruangnya terbatas. Sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, syal itu sudah melilit pergelangan tangannya. “Tuan, apa yang akan Anda lakukan? lepaskan saya!” jerit Elena, ketakutan.. Dengan satu tarikan kuat, Alvaro mengikat tangan Elena ke tiang tempat tidur. Kedua tangannya kini terkunci di atas kepalanya, membuat tubuhnya semakin tak bisa bergerak leluasa. Apalagi kini Alvaro sudah menindih tubuhnya. Alvaro mulai membuka kancing kemejanya dengan gerakan cepat, lalu melemparnya sembarangan. Kini dadanya yang bidang, terekspos secara jelas di depan Elena. Elena mendelik, panik, berusaha meronta. “Berhenti melawan!” katanya, mendekatkan wajahnya ke wajah Elena, nafasnya tersengal-sengal, jelas sekali menahan hasrat yang mulai naik. Wanita itu memalingkan wajahnya, menjauh. Alvaro mencengkeram dagu Elena dan mempermainkan jarinya di area bibir wanita itu, mengelus pelan, penuh tekanan dengan tatapan mata tajam terlihat seolah ingin sekali melumat bibir itu. “Terima hukuman,” bisik Alvaro, penuh tekanan di setiap kata-katanya. Dia mendekatkan wajahnya ke leher Elena. Mengecup, bahkan menyesap area itu dan meninggalkan jejak kemerahan di sana. Seringaian muncul di bibirnya, seolah menikmati maha karya yang sudah dibuatnya. Krak! Satu hentakan keras, gaun Elena sudah terbelah menjadi dua. Elena semakin panik, matanya memerah menahan tangis. Dia masih mencoba untuk melawan meski berakhir sia-sia. Kini, Bra hitam di kulit putih Elena terekspos jelas, menggoda mata Alvaro untuk menyentuhnya lebih jauh. Itu membuat sesuatu di balik celana Alvaro menegang. Dengan tak sabar, dia menarik Bra hitam itu, hingga sesuatu yang tersimpan di dalamnya menyembul keluar. Putih, kenyal, dan begitu indah. Membuat hasrat Alvaro semakin naik ke ubun-ubun. Tangannya mulai menjelajah area gundukan itu. Berlama-lama di sana, seolah sengaja mempermainkannya. Untuk menunjukkan siapa yang berkuasa atas tubuh itu. Membuat sang empunya menggelinjang. Alvaro mulai melumat bibir Elena dengan kasar, tak bisa memberontak, wanita itu menggigit bibir Alvaro hingga berdarah membuat pria itu menggeram dan melepas tautannya. Tetapi perlawanan Elena itu semakin mengobarkan hasrat Alvaro. “Berhenti menantangku,” desisnya. Matanya tajam mengancam. Elena tidak menjawab, menatapnya dengan campuran ketakutan dan keberanian Pria itu kembali meraih bibir Elena, melumatnya dengan kasar, perlahan dan semakin dalam. Bibirnya menguasai bibir Elena, seolah berusaha menegaskan bahwa dia tidak bisa dilawan. Bibirnya turun ke area leher dan kemudian berhenti di daerah dada. Tangannya kirinya tak pernah lepas meremas dan mempermainkan gundukan kenyal yang sedari tadi dia genggam. Sedang tangan satunya sibuk menjelajah area bawah tubuh Elena. “Tolong berhenti,” isak Elena tertahan, dia menggigit bibir, dengan air mata mulai mengalir dengan deras. Dibutakan oleh hasratnya yang sejak lama dia tahan pada Elena, membuat Alvaro terlihat rakus, meraup setiap inci tubuh Elena. Seolah tak ada yang bisa menghentikannya untuk menikmati tubuh yang sudah dibelinya dengan mahal itu. Hingga…dia merasakan tubuh Elena bergetar dengan hebat, Alvaro menghentikan aksinya. Dia menjauhkan diri dan tersentak, begitu melihat bekas luka di paha putih Elena. Luka itu tercetak jelas di sana, sorot mata Alvaro menjadi berubah. Ia menatap luka itu lekat-lekat. Tangannya terulur, seakan ingin menyentuhnya, tetapi ia berhenti. Sesuatu di hatinya, membuatnya tak sanggup menyentuh luka itu. Alvaro kemudian melihat wajah Elena, wanita itu menutup matanya rapat-rapat, air matanya semakin deras dengan tubuh yang masih gemetar dengan hebat. Kenangan buruk menyeruak di benak Elena. Wajah-wajah orang yang dulu menyakitinya, menari di pelupuk mata. Trauma masa lalu yang ia kubur dalam-dalam, kini muncul kembali. Membuat tubuhnya ketakutan. Alvaro menjadi gamang untuk melanjutkan aksinya. Ia menghela napas panjang, lalu tangannya dengan cepat melepaskan ikatan syal di pergelangan tangan Elena. Begitu bebas, Elena langsung memeluk tubuhnya sendiri, menggigil hebat. Ia tidak berani menatap Alvaro, meski Alvaro sudah melepas tangannya. Hidup hanya dengan ibunya, membuat Elena seringkali mendapatkan perlakuan buruk dari orang lain. Wajahnya yang cantik, tubuh yang bagus membuat banyak pria jahat berniat buruk padanya. Pernah dia dilecehkan dan hampir diperkosa, beruntung Vincent menyelamatkannya. Karena itulah, dia menganggap Vincent sebagai sosok pahlawan dalam hidupnya dan setuju saat Vincent menawarkan kesepakatan untuk menikah. Tetapi tak disangka dia malah menjualnya untuk membayar hutang dan berakhir menjadi tawanan Alvaro. Alvaro berdiri di tepi tempat tidur, menatap Elena sesaat sambil mengenakan kembali kemejanya. Dia melihat tubuh Elena, yang belum puas dijamahnya. Pria itu memilih untuk pergi, sebelum berubah pikiran kembali. “Istirahatlah, Sebelum kau pergi dari sini.” katanya akhirnya, suaranya begitu pelan. Mendengar itu, Elena tertegun. Ada perasaan lega, tetapi juga bingung. "Kenapa dia berhenti?" pikirnya. Tiba-tiba hatinya terasa kosong, Dia kembali terisak karena merasa hina, kotor dan tak berharga. Sementara itu, Alvaro berjalan menuju ruang kerjanya, menyalakan lampu dan langsung menuju meja besar di tengah ruangan. Ia duduk di kursinya, kedua tangannya menggenggam tepi meja, nafasnya masih berat. Shit! Pikirannya kacau. Bayangan Elena dengan air mata yang mengalir deras, wajahnya yang ketakutan, membuatnya tak tega dan kembali gagal melampiaskan hasratnya. Baru kali ini dalam sejarah, dia gagal saat melampiaskan hasratnya pada wanita, dua kali pula. Biasanya, para wanita berjajar dengan senang hati untuk ditidurinya dan justru dia yang tak berhasrat menyentuh mereka. Tetapi dengan Elena, Alvaro merasa berbeda. Berawal dari penasaran, hingga dia berani menukar Elena dengan harga yang sangat mahal. Hal ini benar-benar membuatnya frustasi. Ia mengambil segelas minuman dari meja, meneguknya dalam satu tarikan panjang. Tetapi alkohol itu tidak cukup untuk meredakan gejolak dalam dirinya. Dia meletakkan gelas itu di meja dengan kasar, lalu bangkit. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan menyiram kepalanya dengan air dingin untuk menghilangkan hasrat yang sudah terlanjur naik itu. Bayangan tubuh Elena yang sempat dia sentuh tadi, tak bisa lepas dari kepalanya. Kepalanya terasa semakin pening. “Aku pasti mendapatkanmu!” desisnya.Bab 89Elena terhenyak, melihat siapa yang kini berdiri dengan senyum memuakkan. Dia mundur beberapa langkah saat pria itu mulai mendekat. “Ka…kamu bagaimana bisa?”Suara tawa pria itu semakin keras, seolah pertanyaan yang keluar dari mulut Elena hanya cuitan yang tak berarti. “Apa kamu merindukanku?”Elena mundur, seiring langkah pria itu yang semakin dekat dengannya. Namun…sial!Tubuh Elena terbentur tembok di belakang, hingga tak bisa menghindar lagi. “Berhenti! Bukankah kamu harusnya di penjara. Bagaimana…kamu… bebas?”Pria itu menyeringai, dan berdiri dengan angkuh. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Matanya mulai menyusuri tubuh Elena dari atas hingga bawah. Tangannya mengusap bibirnya, seolah sedang menatap makanan yang menggugah selera.“Sepertinya…Bajingan itu memanjakanmu. Tubuhmu semakin berisi dan terlihat…seksi.”“Tutup mulutmu itu, Vincent!”Perut Elena seperti diaduk-aduk, melihat ekspresi mantan suaminya itu. Rasanya ingin muntah. “Jika Alvaro melihatmu, ka
Elena terkikik pelan, matanya berbinar penuh semangat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan impian.“Kalau begitu, siap-siap saja, dompetmu akan kurampok habis-habisan hari ini,” godanya dengan nada centil.Alvaro hanya mengangkat satu alis dan meliriknya sambil membuka pintu mobil. “Merampok dompetku?”Elena mengangguk, matanya menatap dalam Alvaro, menunggu reaksi pria itu. Alvaro mendekatkan wajahnya dan berhenti di sisi telinga Elena. “Mau yang lebih berharga?” tanya Alvaro pelan, hampir berbisik.“Apa?” Elena menatap Alvaro dengan serius. Mata Alvaro kemudian bergerak ke bawah. Memberikan isyarat ke bagian bawahnya. Elena nyaris tersedak saat melihat itu. Wajahnya merah padam. Ia mndelik. Tapi seperti biasa, Alvaro hanya memasang wajah datar. Seolah apa yang dia lakukan itu, hal biasa.“Dasar mesum!”Elena memukul dada Alvaro pelan, membuat pria itu meringis, dia segera bergegas masuk ke dalam mobil. Alvaro hanya tersenyum tipis dan kemudian duduk di samping Ele
Awan mendung menggantung rendah di atas area pemakaman. Rintik hujan tipis turun seolah turut merasakan duka yang membekap hati Elena. Di sisi liang lahat, Elena berdiri kaku, mengenakan pakaian serba hitam. Wajahnya pucat, matanya sembab, namun kali ini ia tak lagi menangis. Di sebelahnya, Alvaro menggenggam tangannya erat, tak melepaskan sedetik pun. Ia menjadi satu-satunya penopang Elena sekarang. Elena menatap nisan baru itu, bibirnya bergetar pelan. "Istirahatlah dengan tenang, Bu… Aku akan hidup lebih baik meski tanpamu." Setelah upacara selesai, Alvaro membawa Elena pulang. Sepanjang perjalanan, Elena bersandar di pundaknya dan terlihat hanya diam. Sesampainya di rumah, Alvaro mengajak Elena duduk di ruang tamu. Ia merogoh saku jas dalamnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru tua. “Ini…” ujarnya pelan, lalu menyerahkan kotak itu ke Elena. Dengan tangan gemetar, Elena membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah cincin emas putih sederhana dengan
Elena masih memberontak di pelukan Alvaro, tangisnya tak kunjung reda. Namun sesaat kemudian, pintu kamar terbuka cepat. Seorang dokter bersama dua perawat masuk dengan langkah tergesa.“Pak, kami harus memberinya penenang,” ucap dokter itu tegas.Alvaro mengangguk cepat dan menyingkir perlahan, meski tangannya masih menggenggam tangan Elena erat-erat.Perawat segera memegangi tubuh Elena. “Tolong tenang, Bu Elena.”Dokter lalu menyuntikkan obat penenang ke lengan Elena. Tubuhnya masih sempat menegang, bibirnya mengucap lirih, “Aku mau Ibu… Aku mau Ibu aku…”Namun perlahan, efek obat itu mulai bekerja. Tubuh Elena melemas, tangisnya melemah menjadi isakan, dan akhirnya matanya tertutup. Hening.Alvaro berdiri terpaku, menatap wajah pucat Elena yang kini terbaring tenang di ranjang. Perasaannya hancur, namun ia berjanji akan menemani Elena melewati masa-masa sulitnya ini. Alvaro pernah merasakan sakitnya kehilangan saat dia ditinggal ibunya. Tetapi mungkin, rasa sakit itu tak seberapa
Telepon di tangan Elena hampir terjatuh. Wajahnya seketika pucat pasi, tubuhnya limbung.Melihat perubahan drastis di wajah Elena, Alvaro dengan sigap memegang kedua bahunya. "Apa yang terjadi?"Elena menelan ludah, matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar saat menjawab, "Ibuku... kritis. Aku harus ke rumah sakit sekarang."Tanpa banyak bertanya lagi, Alvaro langsung meraih kunci mobil dari saku jasnya. "Ayo. Aku antar kamu."Elena mengangguk cepat, cemas. Alvaro menggenggam tangan Elena erat-erat, memberikan kekuatan tanpa berkata apa-apa, lalu mereka berdua bergegas keluar dari ruangan.Di lorong, Jose yang baru saja lewat, melihat mereka dengan heran. Tapi saat menangkap ekspresi panik atasannya, dia segera tahu bahwa ada yang tidak beres. Karena itu, dia hanya menunduk tanpa berkata apa-apa, membiarkan mereka melewatinya begitu saja.Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Elena hanya bisa menggenggam erat sabuk pengaman, bibirnya terus-menerus bergumam dalam hati,
Elena diam di tempat. Matanya menatap Alvaro tanpa ekspresi. Alvaro yang tidak sabar, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Elena. Tanpa aba-aba, pria itu langsung mengangkat tubuh Elena di pundaknya bak sebuah karung beras. “Lepaskan, Al. Kita sedang di kantor.” “Tidak peduli,” seru Alvaro. Teriakan Elena tak cukup untuk membuat pria itu menghentikan aksinya. Dari semalam dia sudah menahan diri, sekarang saat masalah sudah selesai. Elena masih bersikap dingin padanya. Itu membuatnya sangat marah. Elena meronta di atas pundak Alvaro, tangannya memukul punggung pria itu dengan sia-sia. "Alvaro! Turunkan aku sekarang juga!" Tapi Alvaro tetap berjalan dengan langkah besar. Para karyawan yang kebetulan lewat di lorong terkejut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang buru-buru menunduk, pura-pura tak melihat. Dengan wajah datar nan tegas, Alvaro membuka pintu lift dan masuk sambil tetap menggendong Elena di pundaknya. Begitu pintu lift menutup, suasana semakin panas. Al