Setengah hari aku mengurus dokumen-dokumen penting Baskoro Group. Seharusnya aku berjemur sebentar untuk menghilangkan demamku. Memang masih terasa kedinginan tapi badanku sudah membaik. Meskipun bukan penyakit berat, masuk angin tidak bisa dianggap sepele.Terpaksa aku mandi air hangat. Setelahnya aku kembali berpakaian dan Shalat Dzuhur. Usai shalat aku keluar rumah. Matahari begitu terik, duduk di gazebo yang rimbun tidak ada salahnya. Ada ayunan, kolam Ikan Koi yang cukup besar, ada taman bunga di sepanjang gazebo, juga air mancur. Aku ingat rumah juga nenek . Aku bahkan sengaja tidak menghubungi beliau. Khawatir beliau justru terpukul mengetahui kabarku yang sebenarnya. Nenekku hanya tau aku menikah dengan pria mapan biasa bukan elite konglo pemilik koporasi besar di jagat bisnis Indonesia.Melihat ayunan, pikiranku melanglang buana. Seandainya aku punya anak-anak yang lucu, mereka tentunya bermain di waktu liburan bersama suamiku. Harapanku itu entah terkabul atau tidak, sebagai
Wanita itu adalah Meira, sahabat dekatku. Apa yang harus kulakukan? Meira meninggalkan rombongannya, berlari dengan stiletto tingginya ke arahku.“Ata.”Dia memelukku sampai menepuk-nepuk pipiku berulang kali. Ia mencubit pipiku bahkan mengacak pelan rambutku saking senangnya.“Meira, kamu apa kabar?” Masa bodoh dengan masalah meeting perusahaanku. Sekarang mumpung aku bertemu dengan sahabatku, aku mau bernostalgia dengannya. Hampir delapan tahun aku tak bertemu Meira. Terakhir kali setelah SMA, dan kami tak berjumpa lagi.“Ata kayaknya kita harus ngopi dulu deh sekarang.”“Tapi meeting-nya?”“Kita tunda dulu, Ta. Ayo.” Dia menarik tanganku.Aku sampai lupa mempersilahkan rombongan mereka.“Mei, tuh ada coffee shop . Kayaknya asyik tempatnya.”Kami berjalan meninggalkan kantor menuju coffeeshop di seberang jalan. Bak menemukan Durian runtuh, bisa ketemu Meira lagi. Padahal sekian lamanya, aku mencari aksesnya. Nihil, aku benar-benar kehilangan kontak dengannya.Waitress mendatangi kami
Kedua mertuaku terbahak.”Vril, kamu punya saingan lho. Tuh Renata jangan kamu bikin sesak kenapa. Lepasin Nak.” Tegur papa mertuaku.“Pah, jangan bikin panas suasana dong. Nggak baik jadi angin di tengah api yang berkobar.” Kata suamiku pelan. Ia melonggarkan dasinya. Lalu duduk di sampingku.”Habibi-nya Renata itu ya aku, masa Papa, apalagi Pak Khamdan. Beuh.” Cibir Gavrielle.“Oh, ternyata punya panggilan sayang nih ceritanya.”Papa mertuaku benar-benar konyol. Belakangan setelah ia tinggal dirumah suamiku, ia selalu saja meledek suamiku. Mungkin beliau bermaksut menghibur atau sengaja ingin memberi pelajaran pada suamiku untuk tidak terlalu bersikap arogan. Padahal, notabenenya sama saja. Yang satu sudah senior, mantan playboy, yang satu yunior belum insaf.“Ha-bi-bie.” Papa mertuaku mengambil ponselnya dari saku lalu mengetikkan kata itu di keyword lalu beliau pun terperangah.”Mah, Papa mau juga dong di panggil kaya dulu itu lho.” Sahutnya tanpa sungkan pada kami.Mama mertuaku
Dua bulan berlalu, tak terasa begitu cepat. Effek dari kerjasama Baskoro TV dan juga Dubai Corp, pekerjaan suamiku metumpuk. Proyek pengerjaan iklan untuk penjualan apartemen yang di bangun Dubai Corp sungguh menyita tenaga juga pikiran kami. Suamiku sudah wanti-wanti agar semua karyawan bekerja degan baik, sebab citra Baskoro TV di bawah kepemimpinan suamiku sangat di pertaruhkan.Meski kami belum mengadakan resepsi dan mempublikasikan secara resmi pernikahan kami. Karena kedatangan Maira, akhirnya terbongkar sudah statusku. Berjalan masuk ke lobi kantor, pagi itu aku berangkat setelah Gavrielle, dengan mobil terpisah. Biasanya aku akan ngantor agak siang. Tentu saja, mendekati jam makan siang. Karena biasanya aku membawa masakanku ke kantor untuk di makan bersama Gavrielle.Semenjak proyek Dubai Corp, papa mertuaku juga sering berkunjung ke Baskoro TV. Padahal, biasanya beliau anteng saja di singgasananya di kantor utama Baskoro Company. Kulangkahkan kakiku masuk ke lobi, ku lihat c
“Eyang………..”Kupeluk wanita yang sudah sepuh dengan rambut memutih itu. Wanita dengan paras ayu, tubuh yang tegap meskipun terlihat sedikit lemah. Tongkat kayu di tangan kanannya tetap terjaga menopang berdiri tubuhnya. Parasnya tetap bersih dan cantik meskipun keriput itu tetap bertambah setiap tahunnya.“A-ta? Apa kabar nak?”Aku hanya mengangguk. Mulutku kelu. Sebab mataku sudah basah. Make-up ku mungkin tak terlalu berantakan, tapi rambutku?Kupeluk erat eyang putriku. Rasanya aku bahagia sekali. Bisa memeluk tubuhnya. Sejak menikah, aku tak lagi bertemu. Khawatir pasti ,padahal suamiku sudah menggaransi kesehatan juga menjamin kehidupan eyangku akan baik-baik saja. Dan aku cukup lega. Bisa memeluk wanita yang sangat kusayangi ini. Suamiku sudah membuktikan omongannya.“Ayo masuk Gav.” Pinta Eyangku.Ia berjalan di belakang kami. Kupapah Eyangku, kami berjalan pelan sampai ke teras Joglo. Aku merindukan rumah ini. Rumah yang sejak aku membuka mata, kutinggal dengan beberapa pelay
Di luar suara begitu berisik. Kulangkahkan kakiku, mengintip dari balik jendela.Eyangku bersama Gavrielle turun dari mobil. Mereka terlihat akur dan akrab sekali. Kututup jendela pelan-pelan. Lima menit kemudian, suamiku masuk ke kamar, menyusulku tidur, ia merangsek memelukku. “Happy birthday.”Bisiknya di telingaku pelan, lalu mencium pipi kananku. Ia menatap wajahku. Kenapa ia selalu tahu kalau aku tidak tidur, tapi pura-pura. Seperti kucing yang kepergok hendak mencuri daging. Untungnya, aku tidak kepergok saat aku mengintip.“Darimana saja?”Ku tarik jaketnya. Ia memang tidak berpenampilan necis. Kaos pendek warna putih, jaket warna biru muda dan celana jeans yang senada. Pasti ia tidak mau ngaku habis pergi darimana.“Tidur lagi kalau ngantuk.” Ucapnya sembari mengusap-usap pundakku.Ia menarik selimut yang menutupi tubuhku. Aku sampai lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku. Sebenernya nunggu juga hadiah darinya. Tapi dia tidak melupakan hari ulang tahunku saja, aku sud
Suamiku bergegas keluar, tapi dokter puskesmas itu mencegahnya.”Saya sudah sediakan Mas. Buat jaga-jaga, tadi.”Dokter mengeluarkan dua testpack dari dalam tasnya. Ia menyerahkan pada suamiku. Kulihat tangan suamiku gemetar menerima testpack itu.“Ditunggu saja besok ya Mas, cek menggunakan air seni di pagi hari.”“Baik Dok.”“Besok saya akan kembali. Sementara saya resepkan vitamin dan obat ini.”“Isteri saya tidak bisa minum obat Dok, bagaimana? Apa bisa di resepkan vitamin dan makanan apa saja yang bisa di konsumsi?” Tanyanya panik.“Tenang Mas jangan panik, kalau panik nanti Mbak Renata juga ikut panik.”Dokter puskesmas itu menepuk pundak suamiku. Akhirnya ia mengambil nafas dalam-dalam. Dan wajahnya pun kian lebih tenang.“Eyang bawakan kalian makanan. Nggak usah masak dulu, istirahat saja Ren. Tapi, Eyang mau langsung pulang. Ada karyawan yang mau ketemu Eyang.”Aku tahu eyangku bukan tak peduli, melainkan memberi kesempatan pada suamiku untuk lebih menjagaku.“Eyang pulang du
Aku curiga kalau Gavrielle memberitahu mertuaku dan meminta Mbok Sumi juga Pak Khamdan untuk datang. Memang nggak ada salahnya. Kenapa justru aku yang sensi tidak ingin di ganggu.. Padahal, selama ini justru aku paling suka berada di keramaian bersama-sama banyak orang. Ini berkebalikan banget dengan diriku sebelumnya. Apakah kehamilan merubah seseorang?”Mama mertuaku sontak memelukku haru. Ia sampai sesenggukan setelah tau kehamilanku.”Pokoknya Mama nggak ingin Renata kecapekan, satu lagi ya Vriel, awas kalau kamu bikin Renata sampai stress. Mama cabut invest mama di perusahaanmu.” Ancam mama mertuaku.Aku menghela nafas, melihat betapa histerisnya keluarga suamiku.“Aku mau cuti panjang, menemani Renata di rumah kalau boleh. Sekarang Papa carikan CEO sementara, atau minta saja suaminya Joya buat balik sementara.”Papa mertuaku menengahi.”Kalian kenapa sih ribet, kenapa tidak kita biarkan Renata beraktivitas asal bisa menjaga kesehatan. Biarkan Renata berkegiatan asal tidak di l