Share

Pria itu Kamu

Waktu masih menunjukkan pukul 10.00 pagi. Suamiku sudah mengganti kemejanya dengan bathrobe.  Tubuhku tambah panas dingin. Lebih baik pura-pura ke toilet. Apes betul. Di kamar mandi, suamiku menuliskan notes yang di tempel di belakang pintu kamar mandi. Jelas-jelas penglihatanku masih sangatlah bagus. Ia memintaku agar aku memakai baju yang sudah ia siapkan.

“Astaga, baju dinas berwarna merah. Aku tidak tau haruskah menurutinya?Sedangkan rambutku baru saja kering. Dengan sangat terpaksa kupakai. Setelah itu aku memakai bathrobe. Salahku juga, tidak mengkomunikasikan dengan baik pada suamiku masalah hal seperti ini sejak awal.

Wajar saja kalau dia menggebu-gebu saat bergumul bersamaku. Ibarat sesorang musafir yang berjalan di padang pasir dan menemukan oase yang jernih dan ia meminumnya. Dahaganya pastilah hilang. Aku memikirkan masalah kewajiban seorang isteri pada suami, meskipun semuanya karena kontrak semata.

Aku sadar akan hutang budiku padanya, meskipun kalau dipikir semua ada imbalannya. Aku mendedikasikan hidupku untuknya setelah menikah, kecuali satu perkara masalah nafkah batin yang tertunda. 

Pelan-pelan aku keluar dari kamar mandi menuju kamar. Gavrielle masih duduk di sofa. Ia benar-benar terlihat begitu maskulin dengan kacamata baca yang bertengger diatas hidungnya yang mancung itu. Aku duduk di depan meja rias. Gavrielle rasanya paham, kalau aku sudah membaca notes yang ia tempelkan. Ia berjalan mendekatiku. Lalu ia menarikku hingga kami duduk bersebelahan.

“Ren,” panggilnya. Ia mengusap pipiku. Suamiku benar-benar minta di tabok. Ia mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Ia juga menutup gordyn dengan remote. Suasana jadi agak gelap. Sudah seperti itu, dia menaikkan suhu AC membuatku kedinginan.

Dua jam berlalu.

“Renata sampai kapanpun aku tidak akan  melepasmu.” Ia mencium keningku dengan lembut.”Terima kasih sayang.” Ia kembali mencium kedua pipiku singkat setelah kegiatan pergumulan halal kami.

“Vriel, kalau aku nggak ngantor gimana?”

Tanyaku. Aku benar-benar tidak berpikir hanya akan bermalas-malasan saja di rumah dan mengabaikan kewajibanku pada kantor. Apalagi aku sudah berjanji akan menyelesaikan proyek liputan di Jogja. Dan aku paling alergi menjilat ludahku sendiri juga tidak konsisten dan professional dalam pekerjaan.

“Kamu di rumah saja, jadi isteri yang baik.” Katanya dengan pelan dan santai.

“Vriel, nggak gitu juga lho.” Protesku. Suamiku memakaikan lagi bathrobe-ku. Bukannya ke kamar mandi dan segera membersihkan diri, ia justru memelukku.

“Siapa tahu nggak lama lagi akan ada hasil dari kerja ekstra kita ini. Dia menyingkap bathrobe-ku di bagian perut, mengusapnya dengan lembut lalu mencium perutku. Rasanya ribuan kupu-kupu beterbangan di hatiku. Bertengkar dengannya di kantor dan di lihat banyak orang, membuatku sangat kesal padanya. Malu sekali rasanya.  Sekalinya baikan dengannya dia justru membuatku mati kutu.

Kakiku, meskipun tidak ngilu lagi tapi sedikit kram karena aktivitas halal bersama suamiku. Aku heran sekali. Obat apa sebenarnya yang dia oleskan, sakit ngilu di kakiku benar-benar hampir tidak kurasakan lagi. Aku masih tidak percaya kalau suamiku bisa berlaku manis sekali padaku.

“Aku memang sengaja tidak pakai karet pengaman.” Tuturnya. Ia masih saja memeluk tubuhku. Aku tidak tahu apakah hal manis seperti hari ini akan terjadi setiap hari. Tak terasa kami bermalas-malasan sampai lewat Dzuhur. Suamiku segera mandi. Lalu ia kembali bergelung kembali ke ranjang, memelukku.

Tubuhku rasanya benar-benar lemas. Malu sekali kalau mau minta suamiku mengantarku hingga kamar mandi. Mataku justru terpejam tak lama setelah ia mengusap kepalaku.

“Ren, bangun.” Dia menguncang pelan tubuhku padahal aku sudah bangun agak lama.

”Kita makan siang di kamar saja, ya. Mbok Sumi sudah mengantar makanan.”

Aku mengerjapkan mataku. Melihat suamiku duduk di ujung ranjang. Tak biasanya aku makan diatas tempat tidur dan bermalas-malasan istilahnya. Aku merangkak di atas ranjang lalu turun beranjak ke kursi.

“Jangan makan di atas ranjang, Vriel. Kecuali kalau kita sakit.” Mungkin aku tipe yang aneh. Biasanya wanita lain akan berbunga-bunga kalau suaminya menyuapinya di atas ranjang, tapi bagiku menikmati makanan tetap ada etikanya.

Gavrielle mengalah. Ia mengambil nampan lalu di letakkan makanan itu diatas meja sudut yang kami duduki. Ada dua kursi dan satu meja di sudut kamar, tepat menghadap jendela. Sebelum dia menyuapiku. Aku lebih dulu mengambil sendok untuk menyuapinya. Setelah beberapa suapan, akhirnya aku mengambil sendok lain untuk menyantap makanan itu.

Mbok Sumi memasak Kakap Merah pedas, Salad Buah, Nasi Merah dan Juice Alpukat. Diantara sekian menu yang ada. Aku ternganga manakala ada sepiring Oseng Kecambah dengan Petai. Pikiranku jadi kemana-mana. Memang lumrah bagi pasangan yang sudah menikah merencanakan kehamilan dan benar-benar memikirkan kesuburan karena kejar target momongan. Tapi beda cerita denganku dan Gavrielle. Pernikahan kami awalnya kupikir tidak akan sama dengan orang yang menikah karena saling mencintai. Namun, aku pun turut pusing memikirkan masalah kehamilan. Manakala tiba-tiba Gavrielle menginginkan aku hamil. Itu di luar prediksiku.

“Vriel, apa kita akan sembunyi di kamar saja? Apa kita tidak akan menyapa Pak Syaron dan Bu Larasati?”

“Istirahatlah Ren, jangan senang dulu. Kita lembur setelah ini. Nanti malam kita akan makan malam bersama Papa. Aku memberi jeda padamu karena aku juga memikirkan perasaanmu.”

Benar kata suamiku, selesai dengan acara leha-leha kejar target momongan. Dia mengajakku tancap gas pekerjaan. Efek samping dia tidak ngantor banyak dokumen yang harus kami teliti dan aku kebagian harus membuat draft dokumen kerjasama sekalian merefisinya. Nggak berat buatku yang terbiasa bekerja dibawah tekanan, tapi melihat cara kerja suamiku. Aku kasihan sekali sebenarnya padanya. Dia benar-benar memporsir tubuhnya. Kami benar-benar lembur setelah lembur dalam tanda kutip.

Senja menjelang. Setelah mandi besar, aku mengerjakan shalat Asar. Aku jadi gugup. Setelah Magrib, kami akan makan bersama dengan mertuaku. Gavrielle berganti baju dengan kaos dan celana jeans. Ia menyisir rambutnya lalu memakai pomade.

Magrib berlalu, Gavrielle keluar dari kamar. Ia memintaku segera ke ruang makan. Aku benar-benar takut, terutama pada papa mertuaku. Kami sudah duduk di ruang makan. Ruang makan di rumah suamiku cukup luas. Kami duduk di samping kiri meja makan. Papa mertuaku sekalian turun dari lantai dua. Mereka terlihat mesra meskipun keduanya sudah berumur. Awalnya aku selalu iri melihat keromantisan mereka juga keharmonisan mereka, tapi setelah aku menikah. Pandanganku jadi lain pada keduanya.

Mungkin mereka tau kalau kami sudah datang sejak pagi. Papa mertuaku duduk di kursi utama dan ibu mertuaku duduk di samping kirinya. Papa mertuaku menatap Gavriele datar. Sedangkan suamiku berusaha bersikap wajar.

Suasana begitu hening, sampai akhirnya suamiku angkat bicara.” Kuharap Papa bisa menerima Renata. Aku tidak bisa membiarkan Renata menikahi pria pilihan Papa. ”Ucap suamiku.

Pak Syaron terlihat kesal. ”Andai kamu tau, wanita mana yang Papa inginkan jadi pendamping hidupmu. Kamu akan menyesal sudah melangkahi Papa.”

“Tidak mungkin kan, Papa akan menjodohkan Renata denganku?”

Pak Syaron mengela nafas pelan. ”Kamu ini sudah berumur Vriel, kurangi sikap gilamu, dan kurang ajarmu itu!”

“Maksud Papa?” Tanya suamiku menyelidik.

“Pria itu ka-mu.”

Tranggggggg.

Garpu yang kupegang jatuh ke lantai. Baik papa mertuaku juga Gavrielle menoleh ke arahku. Pak Syaron betul-betul tahu seperti apa wajahku saat mengetahui kenyataan itu.

Suamiku adalah pria yang akan dijodohkan denganku oleh papa mertuaku. Lelucon apa ini? Duh Gusti benar-benar sedang bercanda padaku.

“Maaf, saya permisi ke kamar.” Pamitku tanpa menatap ke arah mereka. Mama mertuaku pun mundur dari meja makan. Ia naik ke lantai dua.

Aku masuk ke kamar. Kunyalakan semua lampu penerangan utama. Sejak awal aku tak terlalu berharap banyak akan pernikahanku dengan Gavrielle. Tetapi mengetahui bahwa aku adalah wanita yang di kehendaki papa mertuaku untuk menjadi menantunya. Aku bukannya bangga, justru terluka. Terlalu rumit bagiku, berada dalam situasi pelik ini. Menyesakkan sekali. Aku sudah melukai hati kedua orang yang sudah kuanggap sebagai orang tua kandungku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status