Share

Harga Sebuah Permintaan

Aku terpaksa menarik baju suamiku agar mengikutiku. Aku punya tempat duduk favorite di Warung Mbah Mo. Kalau tidak dipakai oleh pengunjung lain, biasanya aku akan memilih tempat itu.

“Sini, Vriel."

Aku lebih dulu duduk di tempat lesehan yang ada di pojok. Warung Mbah Mo sangat luas, meskipun tempatnya tidak mewah tapi sangat rapi dan asri. Ada banyak tumbuhan yang tumbuh di luar warung. Tanaman sulur seperti Pare juga Suruh merambat diatas pergola. Selain itu, banyak tanaman hias yang tumbuh subur meskipun di pot. Aneka Mawar, Anyelir, Pakis, bahkan ada juga Janda Bolong. Yang bolong tidak hanya kaos, Janda juga ada yang Bolong. Tidak hanya itu, di daerah belakang warung ada areal luas untuk menanam tanaman seperti Cabai, Daun Bawang, juga Tomat dan Daun Kemangi. Bisa di bilang areal itu memang di tanami untuk stok persediaan tambahan bahan yang akan di masak di warung.

“Mbak, ini sepiring Baceman Burung Dara dan Telur Puyuh buat Mbak Renata.” Kata Mas Badrun, pelayan utama di warung bubur ini. Ia mengambil nampan setelah menyajikan pesanan kami.

“Ren, sebenernya berapa lama kamu jadi langganan Mbah Mo? Kok sampai di suguhi makanan begini?” Tanya suamiku penasaran.

“Kenapa to memangnya? Ada yang salah?” Duh, jawaban pertanyaan tentang gandengan lamaku belum ku jawab. Sekarang justru aku tambah di cecar pertanyaan lain. Belakangan suamiku kok mirip agen FBI.

Suamiku mulai menyantap buburnya. Ia mengambil bubur itu sedikit demi sedikit lalu di masukkan ke dalam mangkuk kuah. Sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di warung Mbah Mo beberapa bulan lalu. Itulah kebiasaannya. Awalnya, suamiku memesan bubur secara terpisah. Sejak itu, aku mengingat menu pesanannya kalau makan di warung ini. Ia lebih suka makan di pisah. Katanya tidak suka menyisakan makanan sisa yang bercampur. Daripada awut-awutan, meski yah kita sudah membayar. Alangkah baiknya meninggalkan sisa yang masih bisa di manfaatkan, di berikan ternak misalnya.

“Aku dulu jadi tukang cuci piring di sini cukup lama.”Jawabku jujur.

"Uhuk....." Suamiku tersedak. Bersyukur buburnya tidak di tambahi Cabai atau saos jadi tenggorokannya pasti tidak panas. ”Tu-kang cu-ci bu-kan pelayan?” Tanyanya dengan penekanan.

“Kenapa, malu banget ya? Meskipun sudah berlalu, kamu pasti malu.” Ia justru meraih punggung tanganku dan di ciumnya dengan lembut. Aku jadi menengok ke kanan kiri, mana tau ada yang lihat. Aih, malunya. Pintar sekali bos galak ini membuatku melting. Setelahnya, ia meneguk air putih yang ku sodorkan.

“Nggaklah. Pantesan kok kamu kaya spesial banget di mata Mbah Mo.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku. Apa maksud dengan semua tugas yang sudah di bebankan Pak Syaron padaku?”

Gavrielle gelagapan. Ia selesai menyantap buburnya. Dengan enteng dia tidak menjawab. Malah asyik mengambil Dara Bacem Bakar yang ada di hadapanku juga Telur Puyuh yang di masak. Ia sampai menghabiskan tiga Dara Bacem Bakar juga Tiga tusuk Telur Puyuh. Aku jadi kenyang sendiri melihatnya. Ia makan,tanpa malu dan jaga image. Benar-benar kata orang Jawa ”mblenger” ngelihatnya.

“Aku mau ke depan dulu, Vriel. Kamu tunggu di sini saja.” Aku mencuci tangan di wastafel lalu menuju ke bagian depan warung tempat gerobak Mbah Mo berada.

“Mbah, kok ya masih jualan to? Kenapa bukan Tanti yang mbantuin Simbah?”

“Jangan keras-keras, Ren. Nanti orang jadi tau.”

“Memangnya kenapa? Simbah bilang mau istirahat, punggung simbah sakit. Kaki simbah sudah nggak kuat berdiri lama to?”

“Seminggu ini saja, setelahnya mungkin aku akan istirahat. Oh, ya sudah ku siapkan buat kamu bawa pulang Cah ayu.” Mbah Mo memberikan satu kantong kresek besar berisi satu bungkus besek yang sudah di tutup rapat dengan besek yang lebih besar.

Ku keluarkan lipatan uang dari kantong saku kanan celana jeansku. ”Mbah, mungkin aku jarang sarapan kemari. Ini buat pegangan ya.” Ku selipkan beberapa lembar uang ke saku baju Mbah Mo. Ia menolak dan ingin mengembalikan. Tapi waktu Mbah Mo hendak mengembalikan, tangan Gavrielle menepis pelan.

“Terima saja Pak, rezeki.”

Ucapannya membuatku tertegun. Sejak kapan suamiku ada di belakangku. Duh, jangan-jangan dia dengar pembicaraan kami. Aku sempat bisik-bisik sebentar pada Mbah Mo supaya tidak ada yang tahu.

”Kami permisi dulu, Pak. Keburu mau ngantor, sudah kesiangan.” Tukasnya. Ia pun menarik pundakku sambil menenteng kantong kresek putih itu.

”Lain kali kalau saya mau makan kemari saya akan kabari terlebih dulu. Tolong di masakkan Dara Bacem Bakar sama Telur Puyuh lagi Pak.” Pamit suamiku sambal menunduk.

Kami memasuki mobil dan meninggalkan warung bubur itu. Keselek biji Salak atau salah minum obat ya, kok suamiku tumben-tumbenan down to earth sama wong cilik gini. Biasanya dia sangat bossy, tukang tunjuk, tukang perintah dan tukang ngamuk kalau pekerjaan kami para kacung korporat ini nggak bener di matanya.

Astaga, sebenernya kepribadian asli suamiku yang mana. Rasanya aku benar-benar tidak mengenalnya sama sekali.

“Ngomong-ngomong Ren, berapa lama kamu jadi tukang cuci piring, Mbah Mo?”

“Kepo amat sih?” Jawabku sambal terbahak. ”Ceritanya panjang sekali. Oh ya, kenapa kita pulang ke rumah bukan penthouse saja?”

“Banyak tanya!” Jawabnya sembari menyalakan musik.

Demi apa, suamiku justru bersiul tidak jelas begini. Dia membalasku! Impas. Nggak ada cerita lebih. Dia terlihat bahagia. Apa dia lupa dengan masalah yang barusan kami temui?Tiga puluh menit berlalu. Sampailah kami di rumah suamiku.

Satpam membuka pintu gerbang. Lalu Alphard yang kami tumpangi melenggang sampai depan pintu masuk utama rumah. Mbok Sumi lari tergopoh-gopoh menyambut kami. Entah mengapa wajahnya bukannya sumringah menyambut tuan rumah justru pucat bercampur khawatir seperti habis melihat hantu yang bangkit dari dalam kubur.

“Kenapa, ada apa Mbok?” Tanya suamiku. Ia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling rumah.

“Begini Den, itu lho.” Kata Mbok Sumi lalu terdiam sejenak. Mungkin lidahnya kelu untuk bicara.

“Itu apa, Mbok?” Tanya suamiku dengan tak sabar.

“Papa Den Gavrielle sama Ibu datang. Beliau sudah di atas untuk istirahat.”

Aku menelan ludah. Apa yang akan terjadi? Aku sungguh tidak tahu lagi. Suamiku tahu betul keadaan ini membuatku tidak nyaman. Tapi bagaimana lagi, aku terlanjur basah nyemplung skenario suamiku. Kalau aku tidak menurut, aku salah di hadapan suamiku. Sebaliknya, kalau aku menurut pada suamiku aku salah di hadapan mertuaku. Serba salah, makan buah simalakama judulnya.

“Apa perlu kita pindah ke paviliun depan, Ren?”

“Hah?” Aku membelalakkan mataku dan menajamkan pendengaranku. Pertanyaan model apa yang di lontarkan suamiku. Orang tua datang tapi di tinggal pergi. Aku tidak ingin di anggap sebagai menantu durhaka, sebenarnya aku juga tidak ingin menuruti Gavrielle kalau perintahnya absurd atau nggak benar.

“Aku mohon, Vriel, jangan seperti itu pada orang tuamu. Aku akan menurutimu asal kamu bersikap lebih baik pada kedua orang tuamu. Aku janji Vriel.” Bujukku dengan mengiba.

Jurus terakhir pun kukeluarkan. Meskipun istilahnya aku harus mengorbankan diri, jadi tumbal dan tameng bagi mertuaku.

Gavrielle tersenyum smirk. Ia meraih pergelangan tangan kananku, lalu menarik tubuhku menuju kamar di lantai satu. ”Apa saja kan Ren?” Tanyanya.

Aku pun menganggukkan kepalaku.

Sampai di kamar, perasaanku semakin tidak tenang.

“Dara bakarnya, Vriel?” Tanyaku gugup. Aku berusaha mengalihkan perhatian suamiku. Tapi dasar Buaya buntung. Kenapa kok instingnya bagus sekali.

“Ren, permintaanmu tadi nggak gratis lho? Kamu sadar kan sayang?” Bukannya melting dengan panggilan sayangnya. Aku justru merinding, keluar kendang Macan masuk kendang Buaya.

Miris benar nasibku sebagai kacung korporat. Gavrielle mengikat rambutku dengan ekoran kuncir ke atas, sangat tinggi. Jantungku benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Aku nggak bisa kabur meskipun Gabrielle masuk ke toilet. Bagaimana bisa kunci pintu kamar dia yang bawa.

Asemmmm.

Sabar………sabar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status