Tidak bisa berpikir apa-apa lagi, Alina memilih kembali ke rumahnya untuk menemui Melisa, apa pun yang terjadi. Di dalam mobil, Alina hanya diam sambil memandangi jalanan yang macet. Rika hanya diam karena sejujurnya dirinya masih syok atas deretan minuman seperti pengganti nisan. Menimbang-nimbang untuk memberitahu sahabatnya, tapi Rika berpikir lagi untuk tidak membicarakannya sekarang.Setengah jam terjebak macet, mobil Rika bisa kembali meluncur di jalanan hingga sampai di rumah. Tanpa berkata-kata, Alina segera membuka pintu untuk mencari di mana Melisa berada.”Mana Melisa, Bi?” Rumini yang akan menaruh gelas kotor ke wastafel dicegat olehnya.”Di kamar kayaknya, Non.”Alina menaiki tangga. Rika dan Rumini berpandangan, dan memilih mengendap mengikuti Alina.Brak!Pintu terbuka, meski Alina merasa takut, ia akan coba tepis karena ini adalah masalah serius. Berbagai kejanggalan yang ia rasakan sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Kamboja, pohon bambu, Dipta. Semuanya Alina ingin men
Bagian yang masih tersisa dari pembusukan jasad Melisa dibawa ke dalam truk yang ditimbun dengan barang-barang rumah. Dipta beralibi seperti akan pindahan, agar, jika iya bertemu dengan polisi pun tidak ada yang curiga. Semuanya sudah diperhitungkan secara matang.Clara menunggu di dekat pintu truk dengan perasaan tak menentu. Dipta masih belum keluar dari kamar, padahal sudah satu jam berlalu dan semua barang sudah dimuat. Ya, alih-alih untuk menyembunyikan peti berisi jasad Melisa, Clara dan Dipta memang berniat pergi dari kediaman yang sekarang.Semua anak buah Dipta sudah berdiri menunggu Dipta yang baru saja keluar menuruni anak tangga tak begitu tinggi. Sementara, Dipta memandangi rumah hasil kerja keras kedua orang tuanya ini dengan tatapan sendu. ”Rumahnya nggak dijual aja, Bos?” tanya Riko.”Nggak. Kalau dijual, gue harus ninggalin jejak nomor telepon.” Dipta menuju mobil merah kesayangannya, dan menggamit lengan Clara, tapi ditepis begitu saja oleh gadis bermata tajam itu.
Pukul 2 dini hari, Ardan masih duduk di balkon kamar tamu tanpa rasa kantuk sedikit pun. Kasus Melisa sudah ditutup karena ia sudah mencabut laporan, meski di sisi lain hatinya mengatakan agar tidak mencabutnya. Ada sesuatu yang janggal Ardan rasakan.Alina sudah tidur beberapa jam lalu ditemani oleh Rika yang juga masih menginap di rumah, sedangkan semua karyawan cafe sudah kembali ke tempatnya semula. Kepalanya ia sangga dengan tangan kanan dalam posisi miring menghadap halaman belakang. Taman kecil dengan kolam renang tak begitu luas dapat terlihat dari sini. Samar-samar, Ardan mendengar bunyi kecipak air di kolam renang yang ia yakini kosong, akan tetapi ia tidak begitu menghiraukan. Kreek ...Ardan menoleh, karena sempat mendengar bunyi kursi bergeser. Masih menatap ke arah yang sama, kursi kayu di sampingnya kembali bergeser sekitar 5 centimeter mendekat ke arahnya.Ardan tertawa, karena rasa takut terhadap hantu adalah hal yang paling bodoh menurutnya. Ardan bangkit menuruni
Clara terbangun karena mendengar sebuah pekikan Dipta di pagi buta seperti ini, bahkan suara barang pecah juga sangat mengganggu tidurnya. Clara merapatkan cardigan yang ia pakai karena semilir angin dari jendela terbuka membuatnya kedinginan. Gadis berperawakan kurus ini menemukan Dipta meringkuk di antara pintu kulkas yang terbuka, tangan lelaki yang ia cintai tengah menyibak udara kosong.”Jangan bunuh aku! Jangan!” Clara segera menghambur untuk memeluk Dipta yang bergetar ketakutan. Akhir-akhir ini kekasihnya itu kurang tidur dan kerap kali bermimpi buruk. Bahkan beberapa kali Dipta tidur sambil berjalan hampir menjatuhkan diri dari balkon.”Melisa! Melisa ada di sini, dia mau bu-bunuh aku,” racau Dipta.”Nggak ada, Dipta. Gue di sini.” Clara berbisik, mencoba memberi Dipta ketenangan dengan pelukan.Clara pun pernah bersitatap dengan Melisa di halaman belakang setelah pemakaman masal itu selesai. Wajahnya yang mengerikan dan tentu saja, hanya kalimat kematian yang muncul dari mu
Terasa bebannya terangkat, Dipta bersenandung mengelilingi rumah berniat untuk membuat api unggun sambil memanggang daging. Kayu-kayu kecil ia kumpulkan, ditemani Clara dan 7 anak buahnya. Sepulangnya dari rumah mbah Lanang, Dipta dan yang lain tidak mendapat semacam gangguan, bahkan wajah mengerikan Melisa sama sekali tak terlihat di sekeliling rumah. Dipta mengambil alih capitan daging dari tangan Clara yang tersenyum manis, Dipta mengecup pipinya yang merah karena blush on.”Bos, kenapa nggak dari awal aja kita ketemu mbah Lanang? Pasti Ijul dan yang lain nggak mati mengenaskan,” ujar Panji.”Gue juga nggak kepikiran,” sahut Clara.Semua tertawa terbahak-bahak menikmati senja yang menenangkan tanpa ada teror seperti yang sudah-sudah. Daging yang matang mulai dilahap oleh semuanya diganti lagi dengan potongan paprika dan udang yang sudah disusun sedemikian rupa dengan tusuk sate. ”Air dari mbah Lanang udah lu siram ke sekeliling rumah, Wo?” Panji bertanya pada rekannya. Jarwo berp
Mata Clara membesar mendengar usul ngawur Dipta. Menurutnya tidak mungkin, karena keamanan di rumah Rena pun bukan main-main. Bahkan, sudah lama Clara mencari moment untuk menemui Rena seorang diri untuk meminta maaf. Akan tetapi, tidak bisa. Clara mendengkus, menatap remeh lelaki di sampingnya yang masih tersenyum bangga.”Nggak ada perampokan atau pembunuhan. Gue udah cukup merasa bersalah selama ini. Pembicaraan ditutup.” Clara berdiri dan menuju ranjang untuk merebahkan badan yang penat. Tapi saat akan menjatuhkan diri, tangan Dipta sudah menahan bagian pinggangnya dan membuat Clara berdiri. ”Kita sandera anaknya.” Rupanya Dipta masih belum ingin menyerah. Lelaki ini benar-benar tergiur akan kekayaan Rena Theresia yang sudah tersohor di mana-mana.Clara menatap lekat lelaki berwajah oriental yang tengah mendekap bagian pinggang. Tak ada ekspresi spesial yang ditampilkan Clara, bahkan hatinya sama sekali tak tergiur akan ajakan Dipta.”Stop, Dip! Gue nggak mau lagi bunuh atau ng
Tidak ada lagi liburan yang indah pelepas penat. Hati Alina justru semakin penat karena diabaikan oleh ibu kandungnya yang hidup lebih bahagia dengan seorang lelaki berperawakan gagah, berbeda dengan ayahnya yang lumpuh. Ia merutuk di dalam hati, tangisnya belum berhenti sejak diteriaki oleh Masayu untuk pergi dari hadapannya. ”Alin nyari Ibu dari lama, kenapa Ibu usir Alina? Ayah udah nggak ada, Bu.” Air mata yang terlanjur merebak membasahi wajah mulus Alina. Masayu bergeming, tatapannya pun tak ia arahkan pada putrinya. Sedangkan lelaki berkulit sawo matang ini hanya menghela napas sambil mengambil ranting kecil yang sudah diikat.”Ini bukan saat yang tepat, sebaiknya kamu pergi dari sini.” Dengan ketusnya, Masayu mengusir Alina agar pergi dari hadapannya. Alina hanya semakin mengeraskan tangis hingga napasnya tersenggal, Masayu justru berlari hingga tubuh kecil wanita itu lenyap.”Banyak yang terjadi di masa lalu.” Lelaki ini berbicara sambil mengangkat ranting yang sudah diikat
Clara menyeret tubuhnya karena kedua kaki yang tak lagi kuat untuk menopang badan. Wajahnya terasa panas, sedang dadanya kian sesak karena napas yang tak beraturan. Gadis ini merogoh kantong jaket dan mengambil ponsel. Tidak ada satu pun sinyal yang hinggap di ponselnya, dan ia memilih menyalakan senter. Clara mengusahakan diri agar tetap bisa berpikir, karena keadaan seakan mengintimidasi. Deretan pohon bambu ini berdiri angkuh, menimbulkan derit nyaring terkena angin. Clara kembali berlari, meninggalkan hewan melata itu yang terus menjulurkan lidah.Sinar senter mulai Clara arahkan ke jalan setapak yang ada di hadapannya. Gerimis perlahan mulai turun, semakin kepayahan gadis ini memulai perjalanan. Clara ingin menangis, tetapi ia tahu percuma. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah dan keluar dari hutan perawan ini mudah. Deretan pohon bambu sudah ia lewati, kini ia tengah berjalan menyusuri pohon karet yang berjajar rapi. Seharusnya, pukul 16:12 masih memungkinkan ada petani kar