Tepat saat dirinya menginjakkan kaki pada area kantin sekolah, sepasang mata Niel menyala merah bersama dengan jari-jari tangannya yang ia kepal erat disisi tubuhnya.
Napasnya yang tersengal terdengar semakin tak beraturan, sebab ia yang mencoba untuk menahan letupan amarah didadanya. Rega benar. Pemuda itu tidak salah melapor, apalagi menambahkan tamburan bumbu penyedap ke dalam laporannya. Saat ini Zeusyu memang tengah diganggu oleh cicit dari pemilik Yayasan tempat mereka mengenyam pendidikan. Menghentakkan langkah, Niel pun siap memasang kuda-kudanya. Ia berjalan cepat menghampiri Zeusyu dan sang pengganggu. Tanpa babibu, menarik kerah seragam Gamalael. Membuat anak yang paling disegani se-Bumi Pena itu terhuyung hingga menuruni meja tempatnya berdiam. “Apa-apaan lo, Tirto?” Mereka memang terbiasa memanggil menggunakan nama belakang satu sama lain. Kebiasaan mengucapkan nama keluarga itu berawal dari pertengkaran pertama mereka di bangku kelas satu. Siapapun sudah mengetahui kebiasaan lama ini dan menganggapnya lumrah. “Lepasin baju gue! Lo mau cari, hah?!” Sentak Gamalael. Tanpa banyak kata, Niel menghantamkan kepalan tangannya ke wajah sang penguasa Caesar. Ia tidak takut dengan hukuman yang menanti dirinya nanti. Ribuan kali mereka berselisih paham, tapi namanya tidak pernah sampai menjadi target siswa usiran di Bumi Pena. Uang bisa melakukan segalanya dan itu berlaku juga untuk dirinya walau berkali-kali terlibat baku hantam dengan Gamalael. “Gue bilang jauhin Zeu, Sialan!” Suara menggelegar Niel menggema. Ia merunduk, berniat ingin kembali mengais seragam Gamalael jika saja sepupu-sepupu anak itu tak menghalangi jalannya. “Gue peringatin, jangan pernah sentuh tunangan gue kalau lo masih mau idup!” Peringatan itu melambung sangat tajam. Niel tak pernah bermain dengan kata-kata yang dirinya lontarkan. Ia benar-benar akan menghabisi Gamalael jika pangeran dari trah Caesar itu kembali melewati batas. Niel membalikkan tubuhnya. Rencananya ia ingin membawa Zeusyu pergi dari kantin, tapi tindakan itu tampaknya harus diurungkan kala matanya tak melihat sang istri settingan. “Mana Zeusyu?” tanya Niel karena tak mendapatkan Zeusyu yang tadi duduk di salah satu kursi. Satu alisnya menukik sangat tinggi. “Bos..” Rega meringis, “orang yang lo cari, barusan aja dibawa pergi sama Abdi Dalemnya Raksa.” Infonya, tak enak hati. Pahlawan yang ingin menyelamatkan kekasih tak dianggapnya itu sungguh malang. Sudah susah-susah war, eh.. Alasannya ribut malah dicuri diam-diam. Rega kan jadi bingung memilih jobdesk terbaru sebagai penonton kemarahan Niel. Ia dilema antara ingin tertawa atau malah kasihan terhadap kemalangan sahabanya. “Ke mana?” “Pintu kantin cuman satu, Bos.” Zikri memberitahu kalau-kalau saja Niel lupa. “Ck! Mangkuhartianto Babi!” Niel berlari meninggalkan teman-temannya. Sebelumnya ia sempat melihat senyum menyeringai Gamalael. Tak sadar, putra bungsu Amelia Tirto itu kembali mengepalkan jari-jarinya. Jujur saja Niel membenci Gamalael. Anak itu seakan tak memiliki jera untuk mengganggu Zeusyu. Ia sudah memperingatkan berulang kali, tapi Gamalael terus saja mengusik ketenangan Zeusyu di sekolah. Entah apa yang anak itu inginkan, Niel sendiri tidak tahu. Orang seperti Gamalael yang suka bergonta-ganti pasangan jelas tidak mungkin menaruh rasa pada Zeusyu. Dia pasti hanya menjadikan Zeusyu mainan sesaat sebelum istrinya itu dilempar ke tong sampah. “Berani lo lanjutin langkah kaki, gue pastiin Raksa bakalan terusir dari rumah utama! Lo jelas tau, satu kerajaan nggak boleh ada dua pangeran mahkota!” Zeusyu terpaksa berhenti ditempatnya. Gadis itu meminta Abdi Dalem Raksa untuk menyampaikan pesan supaya pangerannya tak perlu cemas dengan keadaannya. Seperti apa yang terlihat, Zeusyu baik-baik saja. “Tolong ucapkan terima kasih, nanti saya menyusul ke kelas.” “Baik Non.” Niel berjalan tergesa. Ia menyambar lengan Zeusyu, menyeret istri settingan yang tidak dicintainya itu menuju tempat parkir. “Masuk!” Titahnya usai membuka pintu mobil. “Ngapain? Bentar lagi bel sekolah bunyi.” “Gue bilang masuk, ya masuk!” Mengabaikan penolakan yang sepertinya akan terjadi, Niel mendorong tubuh Zeusyu untuk memasuki mobilnya. “Jangan coba-coba keluar lagi!” Pemuda itu membanting keras pintu sebelum berlari memutari mobil untuk masuk ke dalam sisi lainnya. “Niel mau kemana?!” Zeusyu panik saat Niel menyalakan mesin. Kemarin mereka sudah alpha tanpa keterangan. Niel tak merespon pertanyaan Zeusyu. Alih-laih menjawabnya, Niel justru menginjak pedal gas. Lonceng masuk belum berbunyi, itu tandanya masih ada kesempatan untuk mereka kabur melewati gerbang sekolah. “Pake sabuk pengaman lo!” “Balik Niel. Aku mau sekolah. Raksa juga pasti nyariin aku.” Persetan dengan sekolah dan sepupunya– Niel tidak peduli. Ia sedang marah sekarang. Emosinya berada diubun-ubun karena menyaksikan Zeusyu baik-baik saja setelah Gamalael mencium pipinya. Seharusnya Zeusyu menangis seperti kemarin-kemarin. Seharusnya dia tidak setenang ini, seolah laki-laki lain tidak pernah menyentuh bagian tubuhnya. “Tutup mulut lo apa gue cium!” Ancam Niel. “Aku nggak mau bolos Niel. Tolong turunin aku.” Zeusyu sempat merasa lega saat Niel menepikan mobilnya. Ia pikir Niel akan melepaskannya. Tidak apa-apa jika ia harus kembali dan dihukum karena terlambat. Itu jauh lebih baik dibandingkan pergi bersama Niel yang sedang coba dirinya hindari. Namun kelegaan itu tak bertahan lama. Matanya yang cantik seketika membulat, menolak percaya saat Niel memegang kepala belakangnya, lalu mendaratkan sebuah ciuman. Tubuhnya langsung membeku layaknya bongkahan es batu. Ia bahkan tak bisa memberikan perlawanan kala bibirnya dikuasai Niel. Sedangkan untuk Niel sendiri, anak itu tak merasa membuat sebuah kesalahan setelah merasakan bibir lain selain milik kekasihnya. Niel justru memejamkan matanya, berusaha lebih menikmati apa yang dirinya kulum saat ini. Tangannya yang menganggur bahkan menggenggam jemari Zeusyu. Sampai sebuah ketukan menyadarkan Niel dari kegilaannya. “Polisi..” Cicit Zeusyu ketakutan, berbanding terbalik dengan Niel yang santai menurunkan kaca mobilnya. “Selamat pagi, Dek. Apa yang sedang adek berdua lakukan di dalam mobil? Saya melihat ada aktivitas tidak pantas dari pos saya.” “Dia tunangan saya.” Niel mengangkat tangan kirinya lalu memaksa Zeusyu melakukan hal yang sama. “Kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa hubungi pengacara keluarga saya.” Ujarnya lalu membuka dashboard mobil, membuat Zeusyu memundurkan tubuhnya agar tak bertabrakan dengan Niel. Kosong.. Zeusyu tak dapat mencerna apa yang terjadi. Otaknya blank setelah mengetahui Niel mengenakan cincin pertunangan mereka. ‘Sejak kapan?’ batin Zeusyu,bertanya-tanya.. yang Zeusyu tahu, selama ini Nie selalu melepaskannya. Katanya, pria itu tak sudi mengenakan apapun yang berkenaan dengan keterikatan mereka berdua. Bahkan lebih mirisnya, Niel berkata dirinya tidak ingin menyakiti hati Meyselin. Mereka mungkin telah bertunangan atau bahkan gilanya menikah diusia dini, tapi perjodohan itu tak lantas menjadi sebuah keharusan dimana Niel terkurung dan mengkhianati Meyselin secara terang-terangan. “Zeu.” Zeusyu tersentak dari lamunan. Ia merasakan ibu jari Niel mengusap bibirnya. Ia bahkan tidak menyadari jika pembicaraan Niel dengan petugas kepolisian telah usai. “Kita lanjutin di apartemen, Tunangan!” ‘No!’ Hati Zeusyu menjerit. Ia tidak mau mengulang kontak fisik yang beberapa saat lalu mereka lakukan. Tidak untuk nanti ataupun hari berikutnya. Ia sudah memutuskan mundur dan melepaskan Niel. “Aku nggak mau. Buka lock-nya. Aku mau pulang, Niel.” Ciuman seperti tadi hanya akan membuatnya semakin kesulitan untuk melupakan Niel. “Apartemen kan rumah kita juga. Itu hadiah pertunangan kita kan? Ayo kita pulang ke sana.” Niel berucap tanpa perasaan. Tidak ada ekspresi apapun dibalik wajah tampannya. “Nggak!” Zeusyu menggeleng-gelengkan kepala. “Please turunin aku. Apa salah aku Niel? Kenapa kamu kayak gini?! yang tadi, aku nggak akan cerita ke siapa-siapa. Itu akan jadi rahasia kita. Kam-Kamu bisa ajak Kak Meyse ke apart. Aku nggak apa-apa, Niel.” “Sayangnya yang bikin kesalahan hari ini bukan Meyse, tapi kamu Tunangan..” Niel ingin melakukannya lagi. Anggap saja itu sebagai hukuman meski ia sendiri tahu dirinyalah yang menginginkan ciuman itu terulang kembali. Bibir Zeusyu terasa manis dilidahnya tidak seperti milik.. Meyselin.. Niel merasa menjadi laki-laki terburuk karena membandingkan-bandingkan kekasihnya. “Kita pulang ke rumah!” Putus Niel akhirnya. Jari-jarinya mencengkram roda kemudi erat. ‘Sial.. Gue kenapa coba!’ Rutuk Niel karena sadar jika ia telah kehilangan kendali atas dirinya.“Excuse me, Little Girl. Kamu siapa ya? Kenapa dateng-dateng marahin pacar orang.”Xaviera mendelik. “Dia pacar Om?” tanya gadis dua puluh tahunan itu sembari melayangkan jari telunjuknya, menunjuk perempuan yang berdiri dengan memeluk lengan Rega.Tenang, Rega menjawab. “I think yeah.”“Babe.. Kamu kok kayak ragu-ragu gitu jawabnya?” Kacau! Padahal Rega pikir healing bersama mantan partner one night stand-nya kali ini bisa berjalan lancar, selancar laju kendaraan di jalan tol ketika masa hari raya tiba karena orang-orang pergi mudik ke kampung halaman.Tapi apa ini, Suketi?Kenapa bocil biang onar yang seharusnya berada di Jakarta, bisa ada di negara tetangga yang dirinya harapkan dapat menjadi spot kencan tanpa gangguan?!Rega sungguh tak habis pikir. Xaviera seakan memiliki indera ke-enam yang menjadikannya tahu kapan tepatnya ia akan bersenang-senang dengan wanita lain.‘Apa gue kurang jauh perginya?’ batin Rega, mempertanyakan apakah dirinya seharusnya memilih benua lain ketimb
“Apa sih?! Nggak boleh orang baikkan? Kita disuruh war terus?!” Sentak Xavier, ngegas. “Kok gitu?”Disampingnya, Aurelia tampak terkejut. Ia yang polos pun termakan oleh kata-kata Xavier. Aurelia mengira jika para orang tua tak menyukai perdamaian antara kakak-beradik itu, dan mereka justru ingin agar keduanya terus saja berseteru.“Padahal Aurel happy loh liat Abang sama Kak Vier baikkan. Kita tadi juga udah ngerayain pake gelato.” Mata indah istri Xavier itu mengerjap, membuat bulu matanya yang lentik ikut bergerak.“Marahin, Queen. Masa orang mau baikan nggak boleh.” Kompor Xavier. Bibirnya mencebik lalu membentuk seringaian sehalus bulu merak.“Eung… ini lagi Aurel marahin. Abang sama Kak Vier tenang aja, serahin semuanya ke Aurel.”Uhuk!Xavier terbatuk usai mendapati betapa menggemaskannya sang istri. Ia sungguh gemas dengan cara bicara dan ekspresinya yang seperti anak TK.Sesaat setelah dirinya dapat menguasai diri, Xavier pun memuji sembari membelai puncak kepala Aurelia. “
Serangan satu pihak yang Xavier lakukan memicu kemarahan Xaviera. Gadis yang tak mengetahui alasan dibalik penyerangan kakaknya itu, membela pria pujaannya tanpa mau repot mendengarkan penjelasan sang kakak.“Fine!”Xavier mengayunkan kedua lengannya ke atas. “Benci aja Abang sepuas kamu. Terserah. Abang nggak akan peduliin kamu lagi.” Tuturnya, teramat kecewa dengan api amarah yang ditujukan Xaviera kepadanya.Sebelum meninggalkan area taman, Xavier sempat melemparkan tatapan pada Rega. Ia belum pernah membenci satu dari tiga sahabat papanya. Namun sekarang, rasa negatif itu bersarang di dadanya. Nahasnya, perasaan itu tumbuh untuk Rega— sosok terdekat yang sudah ia anggap layaknya ayah kedua. “Pi..” Xavier dan rasa kecewanya berlalu, mengabaikan panggilan Niel. Ia berjalan tegak meski seluruh hatinya hancur berkeping-keping. Hah! Memuakkan!Siapa sangka jika patah hati yang tak pernah ia rasakan, justru datang dari saudara yang paling dirinya kasihi. Menyaksikan menantunya pe
Rega kini benar-benar terdesak. Sialnya, Jeno yang tantrum karena putrinya dinikahkan secara paksa saat usianya beberapa tahun dibawah Xaviera, menghubungi mamanya. Alhasil, wanita yang mengidamkan-ngidamkan dirinya untuk segera menikah itu berbondong-bondong datang dengan membawa satu set berlian turun temurun milik keluarga besar sang papa.“Penghulunya mana? Tante udah nggak sabar ini liat Rega kawin.”“Nikah, Tante. Emangnya anak Niel sapi apa, nyebutnya kawin!” Berengut Niel, yang terpaksa merelakan putri kesayangannya dibanding gadis itu nekat menggelandang di luaran sana. Xavier yang telah mengamankan istri kecilnya ke kamar mereka, mulai tak peduli lagi dengan keinginan ekstrim adiknya. Biarlah anak itu melenceng sepuas hati. Kalau nanti diselingkuhi, ia akan bertepuk tangan sembari triple koprol tanpa jeda.Habis batu sih. Ambisinya itu sangat tidak masuk diakal. Orang lain mah mencari pasangan yang lebih muda, eh, dia justru mencari yang sudah bau tanah. “Aduh, kok dadaka
Tamparan mendarat mulus pada kepala Xavier. Semua terjadi begitu cepat. Tahu-tahu, terdengar bunyi, ‘plak!’ dan rasa panas seketika menyerang kepalanya.“Bosen idup kamu, Pi?! Berani-beraninya kamu nyuruh Incess Papa terjun payung. Mending kamu aja sana yang loncat. Kalau mati, Papa bikinin syukuran tujuh hari tujuh malem, lengkap sama konser akbar memperingati berpulangnya kamu ke pangkuan Tuhan!”Amukan sang papa kontan membuat Xavier terperanjat. Apa salah dan dosanya Pemirsa? Padahal ia berniat baik dengan membantu semua orang untuk menghentikan tingkah tak berotak adiknya. Namun niatnya justru disalah-artikan. Lagipula, mana berani Xaviera menerjunkan diri. Anak itu kan hanya menggertak agar bisa memenuhi tujuan dari drama tak bermutunya.“Kalau nggak bisa bantuin, diem aja udah. Nggak usah manas-manasin. Nggak kamu panasin juga udah panas ini suasana!” hardik Niel, membuat Xavier memanyunkan bibir dengan pipi yang menggembung, persis seperti ikan buntal.“Vier.. Turun, Sayang.
“Reg, RUN!” Teriak Jeno, panik, kala mendapati Xaviera menaikkan satu kakinya ke atas tembok pembatas balkon kamarnya.Rega harus segera bertindak agar Xaviera tak nekat terjun seolah dirinya stuntman profesional di film laga. Adegan berbahaya yang akan dilakukannya itu, pasti berujung dengan kefatalan akut.Minimal, seringan-ringannya, Xaviera akan berakhir cacat tidak permanen, persis seperti papanya dulu dan ujung-ujungnya, nasibnya bersama Rega pun akan sama. Bisa juga lebih parah. Mungkin sampai pada tahap mengembuskan napas terakhir ditangan sahabatnya... is dead-lah bahasa kasarnya! Kalau gaulnya meninggoy. Matek dan sebagainya!“Inget Reg, nyawa kita dipertaruhin!” Jeno kembali berseru. Kali ini ia memperingatkan Rega tentang kemungkinan terbesar akibat dari celakanya anak bungsu Niel.Awalnya, Rega melemparkan umpatan kasar. Pria itu memaki entah kepada siapa, sebelum kemudian mencoba merayu Xaviera agar tak bertindak nekat.“Jangan ya, Vier. Turun lewat tangga rumah aja, oke
Terpantau dua pria dewasa dengan seorang pria setengah matang sedang berusaha mendirikan tenda pada pelataran kediaman Tirto yang kini diketuai oleh sahabat sekaligus orang tua si pria muda. Ketiganya terus saja melontarkan makian setelah mengetahui sulitnya mendirikan tenda. Kegiatan yang katanya mudah itu, nyatanya begitu sulit untuk dilakukan. Sudah satu jam mereka berusaha, tapi satu tenda yang mereka beli tak kunjung terpasang. Entah dimana letak kesalahannya sampai-sampai tenda yang mereka coba kerjakan selalu saja ambruk tertiup angin. Padahal mereka sudah mengikuti step by step dari demonstrasi para Youtuber pendaki gunung.“Aaaak!! Susah amat. Kenapa nggak beli yang langsung jadi aja sih tadi!” Kesal Xavier, menendang tenda yang telah rata dengan paving rumahnya. “Dodol ya kamu, Pi. Gimana bawanya kalau beli yang langsung jadi? Terbanglah dia waktu diangkut.” Cerca Jeno, tak habis pikir. Menantunya memang bo to the doh. Ia tahu kalau Xavier tak pernah kesulitan mengurusi h
Xavier tampaknya harus bersyukur karena memiliki istri sepolos Aurelia. Karena jika bukan disebabkan oleh tangis histeris istri bocilnya, pingsannya pemuda itu tidak akan diketahui oleh siapa pun. Alhasil, ia akan bangun dengan sendirinya bersama perasaan shock yang dirinya alami setelah mengetahui kebingungan si bocah cilik.Malang sekali kan kalau seperti itu kejadiannya. Jadi, sudah sepantasnya Xavier mensyukuri apa yang ada didalam diri istri kesayangannya— termasuk juga kebingungan sang istri tentang mengapa dia sampai bisa menikah dengan dirinya.“Abang...” panggil Aurelia, lirih.Sialnya, kebingungan Aurelia itu membuat hatinya bertanya-tanya. Ia jadi tak yakin jika perjuangannya selama ini telah membuahkan balasan cinta dari sang istri.Sungguh tragis. Mungkinkah ini karma karena papanya dulu menyia-nyiakan ketulusan mamanya?!Jika benar demikian, kenapa harus dibalaskan kepadanya?!Ia kan tidak berdosa! Seharusnya dosa itu dilimpahkan kepada pembuatnya. Buat saja papanya yang
Berjarak 1 meter dari daun pintu kamar sang papa, Xavier berlutut dengan kedua kaki terlipat dan telapak tangannya yang ia tangkupkan di depan dada.Aksinya ini bisa disebut mirip dengan seorang pertapa. Bedanya, Pertapa Sapi tidak sedang mengharapkan datangnya sekumpulan ilmu yang dapat memberikannya kesaktian, melainkan sebuah kata maaf dari mulut papanya yang nantinya bisa menggagalkan pengeksekusiannya.“Papa,” panggil Xavier, memelas. Meski papanya tak dapat melihat penderitaan yang tercetak jelas di wajahnya. Namun Xavier percaya, pria yang mencetaknya itu, akan mendengar ratapan darah dagingnya.Pada sebuah kursi santai yang sebelumnya tidak pernah ada didekat kamar si kepala keluarga, Jeno, penyebab dari tragedi munculnya pengusiran seorang anak kandung, duduk bersila sembari memperhatikan aksi menantu yang bukan menjadi kesayangannya.“Pah, Abang kan bukan jin, kenapa Abang harus diusir segala?”Mendengar rengekan menantunya, Jeno pun melontarkan kalimat yang mampu membuat su