“Percayalah, nggak mungkin aku bohong. Lah kamu istriku yangudah kasih aku seorang putri cantik. Lagian nggak mungkin aku menjelekkan Ibukusendiri.”
Kuperhatikan ekspresi mas Arga. Ia tak terlihat sedangberbohong. Tapi bukan berarti aku percaya begitu saja. Mungkin lebih baikmencari cara lain membuktikannya. Ya, akan kupertemukan mereka dan bertanyalangsung.
Mungkin sebagian orang masalah ini tak perlu diurus, tapi bagiku inisebuah tuduhan yang tidak kulakukan. Rasanya sesak dan menyakitkan. Jika akutetap ingin mencari kebenaran, itu karena ingin membersihkan namaku meskipunresikonya mas Arga marah besar.
“Oke, nanti kita bahas lagi depan Ibu dan Andi. Biar semuajelas dan aku tak jadi tersangka. Kamu kira enak dituduh melakukan sesuatu yangtidak dilakukan, Mas? Rasanya sakit.” Kutekan ucapanku agar mas Arga tahu jikaaku tak terima dengan semua itu.
“Sudahlah, abaikan aja. Toh yang Ibu mau kamu hamil lagi‘kan?” Mas Arga mulai duduk di sampingku.
“Nggak semudah itu, Mas,” jawabku tanpa ragu.
“Trus mau kamu apa? Mau marah-marah pada Ibu dan Andi? IngatSarah, kita tinggal di rumah Ibu. Jadi nggak usah bahas itu lagi. Beres toh.”Suara mas Arga terdengar lantang.
“Aku mau kebenaran! Lagian kenapa kamu sewot, Mas? Santaiaja, nggak usah ngomong keras,” jawabku bertambah kesal. Sudah aku tertuduh, inimalah memaksaku mengabaikannya. Enak saja. Aku melawan karena keadaan dantertidas secara bathin. Tidak enak mendengar ucapan pedas ibu mertua dan adik ipar.Maaf, hatiku bukan terbuat dari batu.
Ada rasa tak terima dengan pendapat mas Arga. Justruucapannya membuatku curiga jika ia pelaku kebohongan hingga ibu mertua dan Andimenyalahkan aku. Jika benar ibu mertua memberikan bantuan tiga juta perbulan,uang itu buat apa bagi mas Arga? Bukankah selama ini aku hanya diberi uang duajuta saja. Jika begitu, berarti bukan mas Arga yang menafkahiku selama ini, tapiibunya. Dan itupun dipotong satu juta. Ya Tuhan, jika pikiran aku benar,sungguh mas Arga sangat keterlaluan. Bukankah aku istrinya? Kenapa ia berbuatseperti ini?
“Sabar, Sarah. Jangan gegabah. Kamu bisa selidiki perbuatanSuamimu,” bathinku mensugesti diri.
“Bisakah kita istirahat? Aku capek. Besok kita bahas lagi.”Lalu ia mulai berbaring dan memejamkan mata.
Aku juga merebahkan tubuh. Entah kenapa hati ini belum jugapuas dengan perkataan mas Arga agar aku mengabaikan masalah ini. Aku yangmenerima ucapan pedas dari Andi dan ibunya, seenaknya saja bilang mengabaikan.Mengabaikan bukan solusinya bagiku.
“Mas, aku udah dapat kerja. Besok aku mulai masuk,”ucapkudengan nada sudah mulai melunak. Bagaimanapun juga, ia suamiku yang harus tahu.
“Apa?” Mas Arga langsung membuka mata.
“Iya, aku besok kerja di PT Bajatama,” jawabku memperjelas.
“Benaran? Kok bisa diterima di perusahaan itu? Itu kanperusahaan besar yang menangani banyak proyek. Tempatku kerja juga menerimaproyek dari perusahaan itu, Sarah.”
“Iya, Mas. Alhamdulillah aku besok mulai kerja di sana.”
“Tapi kok bisa kamu dapat kerja di sana? Ada kenalan?”
“Ya. Dulu perusahaan tempat aku bekerja, juga seringkerjasama dengan perusahaan itu. Jadi hampir semuanya pegawai di sana akukenal, Mas.”
“Waah, bagus itu. Nanti kalau kamu udah gajian, kita bisalihat berapa penghasilanmu. Kapan perlu kita beli mobil, Sarah. Tapi, emangnyagajimu berapa?”
Astaga, belum juga kerja tapi mas Arga sudah berangan inginbeli mobil. Bukankah aku kerja karena ia selalu mengeluh tentang sarjanaku yangtak berguna, hingga ia menuntutku bekerja membantu cari nafkah.
“Aku mau tidur dulu, besok harus kerja.” Tidak kujawabpertanyaannya karena mendadak merasa muak. Astagfirullah’alaziim ....
“Jangan marah dong, Sar. Aku hanya ingin kita hidup lebihlayak hingga ada yang aku banggakan pada teman-temanku.”
“Aku nggak tertarik!”
***
Tia sudah berangkat sekolah karena harus berada di sekolahjam tujuh. Tinggal kami berempat sarapan bersama. Ibu mertua terlihat kurangsuka melihatku sudah rapi ingin berangkat kerja, karena melirik dengan mukamasam. Sementara Andi cuek tetap menyuap nasi goreng. Mungkin ini saatnya akubicara selagi lengkap. Biar aku tak jadi tersangka lagi seolah menghabiskanuang banyak yang tak pernah aku temui.
“Bu, aku tak pernah terima uang dari Ibu tiga juta setiapbulan, jangankan setiap bulan sekali pun tak pernah. Jadi ....”
“Sarah, biar aku antar kerja. Ayok.” Mas Arga langsungmemotong pembicaraanku. Terlihat ia tak ingin aku membahas semua ini.
“Apa?” Suapan ibu mertua terhenti. Matanya membulatmenatapku seperti terkejut.
“Bu, aku berangkat kerja dulu. Ayo, Sar.” Tanganku ditarik.
“Mas, aku sedang sarapan. Lihat nasi gorengku belum habis,”ucapku tegas. Kini, aku tahu siapa yang berdusta.
“Tapi aku udah telat. Nanti aja sarapannya, biar kubelikandi jalan.”
“Tapi, bukannya selama ini ....” Ibu mertua langsung melihatke mas Arga. Bisa jadi ia baru menyadari jika putranya sudah berbohong.
“Sudahlah, Mas! Kenapa kamu menghidar saat aku inginmeluruskan semuanya. Aku capek dituduh berfoya-foya sementara uang yang akuterima hanya dua juta perbulan. Bahkan saat aku meminta uang buat sekolah Tia,kamu memberiku ucapan pedas seolah aku hanya istri yang tak berguna.”
“A-ada apa ini, Sarah? Kenapa kamu berucap seperti ini? Tapi....” lagi, ibu mertua seperti syok dengan ucapanku.
“Loh, mau sandiwara apa ini, Mbak?” Andi masih berucapsinis.
“Ibuku tak pernah dikirim uang oleh Mas Arga. Aku pastikanitu agar kamu jangan salah paham, Andi. Satu hal lagi, aku tidak mengemishingga menyuruh Mas Arga meminjam uang padamu. Dan aku tak tau dan untuk apaMas Arga melakukan ini.” Lalu aku memalingkan pandangan ke ibu mertua. “Akusudah berusaha berhemat seperti yang Ibu katakan, tapi dengan dua juta apakahaku bisa berhemat sementara itu untuk kebutuhan dapur rumah ini selama sebulan.Belum lagi jajan Tia. Apa yang aku foya-foyakan, Bu?”
“Cukup Sarah!” seru mas Arga. “Kamu mau membuat aku maludepan keluargaku?”
“Malu? Apa kamu tak pernah berpikir tentang perasaanku yangselalu dituduh melakukan sesuatu, padahal aku sama sekali tidak melakukannya!Berapa uangmu yang aku foya-foyakan tiap bulan? Bahkan tabunganku habis demimemenuhi biaya dapur. Terus uang dari Ibu dan Andi buat apa?”
“Sudahlah, Sarah. Mungkin ini hanya salah paham,”ucap ibumertua seperti berusaha menenangkan pertengkaran ini.
“Maaf, Bu. Bukan aku tak menghargai Ibu. Tapi aku diinjakdengan kesalahan yang bukan aku lakukan. Ibu sering bilang agar aku berhemat.Apa yang mau aku hematkan sementara uang diberi pas-pasan dan bahkan tak cukup.Selama ini aku tak mengeluh. Tapi setelah mendengar ucapan Ibu dan Mas Argakemaren, aku ingin meluruskan yang terjadi.”
“Benar-benar deh kamu, Mas! Jangan jadikan istri kambinghitam dong. Mbak Sarah istrimu, bukan orang lain,” ketus Andi.
“Cukup, Sarah! Bigini caramu menyelesaikan masalah? Mau membuataku tak berharga depan Ibu dan Adikku?” Matanya melotot seolah ini kesalahanku.
“Aku sudah bertanya, tapi kamu banyak alasan. Hampir duatahun aku selalu disindir dengan sesuatu yang tidak aku lakukan. Mas kira akutak punya perasaan? Selama ini aku diam karena Tia. Aku mengalah karenamenghormati Ibu.”
Mas Arga hanya diam tanpa menjawab. Mukanya merah. Ia jugamengela napas besar berulang kali.
“Dan selama ini aku tak pernah berbohong. Semuanya akujabarkan karena kamu suamiku, Mas. Tapi kenapa kamu tega berbohong padaku?,”sambungku.
“Sudahlah, sebaiknya kalian berangkat kerja. Arga, antarkanistrimu kerja,” ucap ibu mertua. Aku tahu ibu berusaha menutupi kesalahanputranya agar pertengkaran ini tak berlarut. Lagian masih pagi. Tapi ini kesempatankumemberi tahu. Bertanya sudah dilakukan, tapi mas Arga malah beralasan yangsedikit kurang masuk akal.
“Nggak usah, aku naik angkot aja,” tolakku, lalu berlalusambil menenteng tas.
“Sarah! Sarah!”
Aku tak peduli panggilan mas Arga. Hati ini terluka danbahkan sangat terluka. Ia berbohong demi uang. Sekali berbohong pasti banyak kebohonganlain yang belum aku ketahui. Tuhan, tolong kuatkan aku. Aku tahu terungkapnyakebohongan suamiku adalah pertanda jika ada sesuatu di balik semua ini.
Bersambung ....
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 119 [Aku sudah menceraikan Ririn, Mamiku sudah meninggal.Sekarang aku sendirian, Sarah. Hanya berharap di sisa hidupku yang sepi, bisamelihat anakku tumbuh besar dan memanggilku ’papa’. Semoga kamu berbaik hatimembiarkan aku memenuhi kewajiban pada anak kita][Aku tidak akan memaksamu menerimaku lagi, meskipun sangatberharap. Aku sadar salah dengan lari dari tanggung jawab sebagai suami hinggasurat cerai kita keluar. Aku salah mempermainkanmu dan justru akulah yang kinidipermainkan nasib dengan kehilangan Mami, ulah dari wanita pilihan Mami.Mungkin ini karma bagi kami yang menyakitimu. Untuk minta maaf lagi rasanyamalu dan aku tak pantas mendapatkan itu]Dua pesan dari Mas Ismail masuk ke ponsel kala aku sedangmenyusui anak. Nama putraku adalah ‘Muhamad Abqari’. Melihat ia sedangmenikmati air susu, ada rasa bersalah kalau menjauhkannya dari Mas Ismail. Aku sangategois jika melakukan itu.[Aku tak akan memisahkanmu dari anakmu, Mas. Lakukanlah
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 118 (Ditalak di Penjara)Pov Ismail“Loh, kenapa ditolak, Tia? Oma memberikan karena Tia sudahmenjadi seorang kakak.”“Papa Ismail, aku nggak mau mencoreng maaf yang tulus dengansebuah bayaran. Jika aku menerima warisan itu berarti aku menjual ucapan maaf.Bukankah saling memaafkan harus ikhlas?”Di sini aku merasa malu. Anak yang masih berusia belia saja,bisa mengucapkan hal yang tak terpikirkan olehku. Malu ini karena kalah daripemikirannya. Entah bagaimana Sarah mendidiknya hingga ia seperti manusia yangtidak silau dengan harta.“Tia bisa gunakan uang itu buat kuliah keluar negeri atau....”“Maaf, Pa. Jika aku mengandalkan uang itu buat pendidikandan memenuhi semua kebutuhanku, aku akan jadi malas di usia muda karena sudahmerasa punya. Aku takut terlena dan lupa belajar.”Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini benar-benar langka.Jarang anak seusia Tia berpikir seperti ini.Aku menoleh ke Sarah. “Sarah, tolong bujuk Tia,” pintaku.“Maaf, Mas. Ak
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 117 (Lebih Baik Begini)Ini yang membuatku sulit, Tia berpendapat yang belum tentu bisa aku lakukan. Ada sifat dari Mas Ismail yang membuatku tak bisa menjalani rumah tangga dengannya. Aku akui ia berbakti pada orang tuanya. Ia lelaki yang setia dengan istri hingga dalam rumah tangga tak pernah terdengar selingkuh. Tetapi, satu sikap yang membuat semua itu tak berarti. Yaitu, tidak punya pendirian, dan tidak bisa mengambil sikap tegas memutuskan dalam sebuah masalah. Padahal ia seorang pemimpin rumah tangga. Yang lebih parahnya, ia bersikap tanpa memperdulikan efek dari apa yang dilakukan hingga penyesalan itu datang kala semua sudah terjadi.“Nak, Mama yang tau semuanya. Jika kamu berpendapat seperti itu, Mama hargai dan ini juga membuka hati Mama agar tidak memisahkan antar anak dan Bapak.”“Mama nggak mau menerima Papa Ismail lagi?”“Tidak semudah itu. Ada hal yang belum bisa Mama ceritakan.”“Tia ngerti, Ma. Tia hanya melihat di luar aja hi
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 116 (Ucapan Tia Yang Tak Terduga)“Sarah, menurutmu gimana dengan Bobi?”Aku sedang menyusui tiba-tiba mengalihkan pandangan ke Emak.“Maksud Emak apa?”“Masa nggak ngerti maksud Emak? Kamu pasti tau lah arah pembicaraanini.”Emak bicara langsung-langsung saja. Bahkan ini agakterdengar sensitif untuk dibahas.“Kok malah diam? Kamu tu bukan anak kecil lagi pakai malusegala.” Emak menatapku. Waduh, Emak tahu saja apa yang aku rasakan.Menghela napas panjang, sejenak berpikir lagi dengan jawabanyang akan dilontarkan. Aku tak mau gegabah memutuskan karena sudah dua kaligagal dalam rumah tangga. Ditambah sekarang sudah punya dua orang anak. Kalaumenikah lagi, belum tentu suamiku nanti menerima wanita janda yang sudah punyaanak dua. Lagian anakku masih bayi dan butuh biaya besar.“Kalau kamu nggak yakin nggak masalah. Emak ngerti yang kamupikirkan. Hanya aja, jangan jadikan gagal berumah tangga dua kali itu ketakutanbuat maju menjalani jika ada yang
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 115 (Sial!)Pov Siska / Kakaknya RirinSebenarnya aku sangat jijik masuk dan duduk di rumah ini. Lantainyasaja lebih bagusan kandang anjingku di rumah. Tikar ini juga sangat jelek danpasti banyak yang duduk dengan kaki kotor. Iiih! Geli sekali duduk di sini. Kalaubukan demi Ririn, ogah menginjakan kaki di sini. Huh! Sial!“Tolong bujuk Ismail agar mencabut tuntutan. Ririn hanyakorban sama sepertimu, Sarah.” Dengan muka sedih, aku memohon ke Sarah. Namun,sialan, itu nenek lampir kenapa dari tadi membuat aku kesal saja. Ia selalumenjawab dan lebih cepat berucap daripada anaknya.“Maaf, sepertinya salah alamat. Aku dan Mas Ismail sudahtidak ada hubungan lagi hingga ingin membujuknya.”“Iya, aku tau itu. Tapi hanya kamu yang bisa didengar Ismailsekarang ini. Ia masih mengharapkanmu dan pasti mau kalau kamu yang minta.Tolonglah, Sarah ..., hanya kamu yang bisa menolong adikku saat ini.”“Hey! Apa kamu udah gila? Adikmu hampir saja menembak Sarahdan
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 114 (Kedatangan Kakaknya Ririn)“Mbak yakin kita segera meninggalkan rumah sakit ini?” tanyapak Bobi setelah kami turun ke lantai satu rumah sakit.“Ya, Pak. Aku harus ngapain lagi di sini?”“Bukan begitu, Pak Ismail sepertinya ....” Ucapan Pak Bobitidak dilanjut. Terlihat ada keraguan.“Ia hanya mantan suami dalam pernikahan kilat, Pak,” ujarkumenjelaskan. Aku tahu ia merasa tidak enak karena mengira aku akan kembali padaMas Ismail.“Pernikahan kilat?” Pak Bobi menatapku dengan alis bertaut.“Hanya suami yang beberapa malam saja.”Tidak ada yang perlu disembunyikan. Jika aku mencoba membukahati dengan Pak Bobi, ia harus tahu semua kisah hidupku agar tak ada dusta diantara kami. Jika sekarang aku memutuskan membuka hati, agar berita tidakmenyudutkan aku seolah seperti penghancur rumah tangga Mas Ismail dan Ririn.Berita yang tersebar bermacam-macam, ada yang mengatakan kalau aku bukanpelakor dan sebaliknya.“Bu Sarah, apakah kami bisa wawancara