Dengan rasa kesal aku perangkat kerja tanpa menghiraukanpanggilan mas Arga. Entah apa yang mereka bertiga ucapkan setelah kepergianku, akutak peduli! Toh selama ini mereka juga sering membicarakan aku dibelakang.Mungkin berusaha ‘masa bodoh’ akan membuat lebih kebal dalam menyikapi rasasedih.
***
Seperti dulu, aku punya ruangan sendiri. Bahkan kantor ini lebihbagus dari kantorku yang lama. Selesai acara perkenalan meskipun aku sudahbanyak yang kenal mereka, baru aku bisa duduk. Baru saja duduk, aku sudahdisuguhi tumpukan file bermacam proyek. Baik proyek yang sedang berjalan maupunyang akan dikerjakan. Aku harus profesional. Untuk masalah di rumah harusdikesampingkan dulu. Kepercayaan pak Ismail memberiku jabatan ini akan selaludijaga.
“Bu Sarah, ini daftar nama para pekerja lapangan di proyek.Tapi proyek ini sudah satu minggu tidak diawasi karena pengawas lapangan kitasedang sakit.” Susi meletakkan map merah di mejaku.
“Oke, aku lihat dulu. Makasi ya, Sus,” jawabku. Lalu segeramembuka map itu.
Namun, sebelum aku membaca isi map itu, tiba-tiba telepon berdering.Pak Ismail menyuruhku ke ruangannya. Segera aku bangkit dari duduk, lalu menujuruangannya.
***
“Sekarang kita punya tawaran proyek baru, ini gambarnya. Dancoba kamu hitung anggaran yang pas untuk proyek ini. Jika cocok nanti akan kitaajukan surat penawaran.” Pak Ismail menyerahkan gambar desain bangunanpembuatan sebuah rumah sakit. Sudah terlihat sebelumnya karena terbentang di meja. Aku langsung menerimanya dan fokus ke gambar itusesaat.
“Baiklah, Pak. Aku akan hitung sekarang,” jawabku lalubangkit berdiri, ingin ke luar ruangan pak Ismail.
“Tunggu, Sarah. Tolong pergi lihat sampai mana proyekpembangunan pesantren. Sudah seminggu pengawas lapangan proyek kita sakit.Tadinya aku mau ke sana tapi Istriku sakit hingga harus pulang cepat. Nantitemui Pak Rudi di sana, ia yang bertanggung jawab atas keluhan kita nanti.”
"Kak Amel sakit apa, Pak?"
"Seperti dulu, asam lambung."
"Waah, Kak Amel suka makan pedas dan minuman rasa asam sih, dulu aku sering ditraktir makan mie pedas."
Tentu aku masih ingat. Kak Amel panggilanku ke istri pak Ismail. Dulu kami sangat akrab. Sering makan siang bersama. Tapi semenjak aku berhenti kerja, komunikasi kami jarang karena kesibukan masing-masing.
"Udah dilarang tapi ...."
"Aku ngerti, Pak. Salam buat Kak Amel."
"Ya, Sar. Kalau nanti ketemu dia, nasehati agar jaga pola makan. Aku udah ingatin tapi ...."
"Baik, Pak. Aku ngerti sekali maksud Bapak,” jawabku.
Menjelang makan siang, aku pergi ke lokasi proyek yangdiminta pak Ismail. Tentu dengan mobil kantor. Dulu, setiap kali memantaupekerja lapangan, diam-diam sampai di lokasi. Kadang pengawas lapangan bekerjahanya duduk di kedai kopi tanpa melaksanakan tuganya. Jika kedapatan, aku taksegan menegur karena ini tugasku. Jika dibantah, tentu siap-siap saja laporansampai ke pimpinan atau diberi surat peringatan.
Sampai dekat lokasi proyek, aku memakir mobil di seberangjalan karena ada mobil truk masuk membawa bahan bangunan. Panas terik mataharimembuat dahaga haus. Di samping tak jauh dari proyek, ada sebuah kedai kopi.Kuputuskan beli minuman dulu sebelum memasuki lokasi proyek.
Aku duduk di pojok. Kebetulan dipojok kedai bangkunyakosong. Sementara sebelah kanan, terlihat beberapa orang lelaki duduk sambilminum kopi.
“Mbak, teh botol dingin satu,” pintaku ke mbak warung.
“Ditunggu ya, Bu,” jawabnya dengan ramah.
Aku duduk membelakangi beberapa pria yang duduk di pojokkanan. Terdengar canda tawa mereka membicarakan sedikit vulgar tentang masalahranjang mereka dengan bangga. Astagfirullah’alaziim, apa mereka tak punya maluhingga membicarakan tentang istri sebagai bahan tertawa. Semoga saja mas Argatak seperti mereka.
“Silahkan, Bu.” Mbak warung meletakkan teh botol dingin di meja,depanku duduk.
“Makasi, Mbak,” jawabku. Lalu menikmati segarnya teh botolsambil melihat ponsel.
“Hai, Teman.” Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yangtak asing di telinga. Segera kupalingkan ke belakang.
“Mas Arga?” Bathinku terkejut melihatnya di sini. Aku inginbangkit berdiri memberitahu keberadaanku, namun ....
“Ini yang kita tunggu dari tadi,”ucap seorang pria yangsudah dari tadi berada di warung ini.
“Tenang, Teman. Semua makan dan minum kalian aku yangbayar.” Mas Arga menepuk dadanya menunjuk diri. Bahkan sangat bangganya iaberkata seperti orang berduit banyak saja.
Niatku menghampiri mas Arga tidak jadi. Aku tetap dudukmenikmati teh botol. Teringat tentang pertengkaran tadi pagi di meja makanhingga membuat dadaku kembali panas. Dan sekarang ia duduk di sini mentraktirteman-temannya sementara aku dituntut bekerja demi membantunya mencari nafkah.Ya Tuhan, aku tak bisa terima perbuatannya.
“Sabar, Sarah. Habisin dulu teh botolmu lalu pergi darisini,” gumamku di hati.
“Untung kamu datang, Ga. Kami tau kamu teman yang bisadiandalkan. Bahkan sehari tak datang saja kami merasa ada yang kurang.”
“Aku pasti datang kok. Lagian buat apalagi uang kucari kalaubukan untuk duduk di sini bersama kalian.”
Aku menggeser duduk hingga bersandar ke dinding, agar bisamelihat mas Arga. Setelah posisi yang pas, mata ini memperhatikan dia denganmimik wajah senang merangkul pundak temannya. terlihat keakraban mereka hinggasesekali tertawa menanggapinya bicara. Bahkan raut wajah mas Arga seperti itujarang kulihat. Yang ada, aku selalu menerima kata-kata pedas, dianggap istritak becus karena hanya bisa di rumah saja.
“Oh ya, Teman. Carikan aku daftar harga mobil dong. Tapiyang standar aja, yang penting bisa melindungi dari panas dan hujan.”
Hah? Mas Arga mau beli mobil? Kenapa ia minta dicarikanmobil.
“Benaran, Ga?” tanya temannya.
“Iya, Boy. Tapi kredit sih. Karena untuk cash masih banyakkeperluan lain. Maklumlah, aku menanggung biaya Ibu dan adikku juga.”
Astaga, sejak kapan mas Arga menanggung biaya ibu danAndi? Bukankah ia yang menghabiskan uangibu dan adiknya. Atau jangan-jangan ia menggunakan uang itu untuk mentraktirteman-temannya seperti yang aku lihat sekarang.
“Keterlaluan kau, Mas. Jadi begini sikapmu diluar?”bathinku.
Ternyata kebusukan itu pasti terbongkar. Tak butuh waktulama. Barusan kami bertengkar masalah uang. Dan kini jawaban tentang ke mana iamenghabiskan uang yang seharusnya biaya dapur, terjawab sudah. Ada rasa sakitkarena ia lebih mementingkan pergaulannya daripada aku istrinya. Tidak bisa,aku harus memberinya pelajaran agar tahu mana hak dan kewajiban.
“Waah, hebat kau, Ga.”
“Lagian nih ya, aku juga menaggung biaya orang tua istriku.Maklumlah, mereka orang kampung dan kurang mampu.”
Aku menggepal tangan mendengar ucapan mas Arga. Bukan sajaibu dan adiknya yang difitnah di luar, tapi juga orang tuaku. Astaga, susahsekali menahan emosi. Aku tak boleh marah depan orang banyak karena menyangkutharga diri. Lagian ini lokasi dekat proyek. Aku tak mau masalah pribadi diumbarhingga orang-orang kantor tahu.
“Wah, hebat kali kau, Ga. Jarang loh ada yang mau membantumertua. Boro-boro membantu, untuk istri aja nggak cukup.”
“Sebenarnya aku hanya nggak tegaan, bis istriku terlaluboros sih. Gajiku yang lima juta aja habis dua minggu. Untung sekarang aku bisacari uang tambahan hingga bisa duduk di sini mentraktir kalian. Kalau di rumahsesak lihat wajah istri yang selalu minta duit.”
Sebaiknya aku keluar dari sini. Semakin lama mendengarperkataan mas Arga semakin jantungku panas. Tensi darahku bisa naik. Aku jugatak bisa berlama-lama karena tugas kantor menunggu. Hari pertama kerja akankuperlihatkan jika aku masih layak dengan posisi sekarang.
Mendengar obrolan mas Arga dengan teman-temannya, membuataku ingin giat kerja agar bisa mandiri. Akan kubeli mobil atas nama Ibu ataubapakku. Insya Allah ....
“Berapa, Mbak!” sahutku sambil berdiri. Sengaja suaradikeraskan agar mas Arga mendengar.
Bersambung ....
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 119 [Aku sudah menceraikan Ririn, Mamiku sudah meninggal.Sekarang aku sendirian, Sarah. Hanya berharap di sisa hidupku yang sepi, bisamelihat anakku tumbuh besar dan memanggilku ’papa’. Semoga kamu berbaik hatimembiarkan aku memenuhi kewajiban pada anak kita][Aku tidak akan memaksamu menerimaku lagi, meskipun sangatberharap. Aku sadar salah dengan lari dari tanggung jawab sebagai suami hinggasurat cerai kita keluar. Aku salah mempermainkanmu dan justru akulah yang kinidipermainkan nasib dengan kehilangan Mami, ulah dari wanita pilihan Mami.Mungkin ini karma bagi kami yang menyakitimu. Untuk minta maaf lagi rasanyamalu dan aku tak pantas mendapatkan itu]Dua pesan dari Mas Ismail masuk ke ponsel kala aku sedangmenyusui anak. Nama putraku adalah ‘Muhamad Abqari’. Melihat ia sedangmenikmati air susu, ada rasa bersalah kalau menjauhkannya dari Mas Ismail. Aku sangategois jika melakukan itu.[Aku tak akan memisahkanmu dari anakmu, Mas. Lakukanlah
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 118 (Ditalak di Penjara)Pov Ismail“Loh, kenapa ditolak, Tia? Oma memberikan karena Tia sudahmenjadi seorang kakak.”“Papa Ismail, aku nggak mau mencoreng maaf yang tulus dengansebuah bayaran. Jika aku menerima warisan itu berarti aku menjual ucapan maaf.Bukankah saling memaafkan harus ikhlas?”Di sini aku merasa malu. Anak yang masih berusia belia saja,bisa mengucapkan hal yang tak terpikirkan olehku. Malu ini karena kalah daripemikirannya. Entah bagaimana Sarah mendidiknya hingga ia seperti manusia yangtidak silau dengan harta.“Tia bisa gunakan uang itu buat kuliah keluar negeri atau....”“Maaf, Pa. Jika aku mengandalkan uang itu buat pendidikandan memenuhi semua kebutuhanku, aku akan jadi malas di usia muda karena sudahmerasa punya. Aku takut terlena dan lupa belajar.”Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini benar-benar langka.Jarang anak seusia Tia berpikir seperti ini.Aku menoleh ke Sarah. “Sarah, tolong bujuk Tia,” pintaku.“Maaf, Mas. Ak
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 117 (Lebih Baik Begini)Ini yang membuatku sulit, Tia berpendapat yang belum tentu bisa aku lakukan. Ada sifat dari Mas Ismail yang membuatku tak bisa menjalani rumah tangga dengannya. Aku akui ia berbakti pada orang tuanya. Ia lelaki yang setia dengan istri hingga dalam rumah tangga tak pernah terdengar selingkuh. Tetapi, satu sikap yang membuat semua itu tak berarti. Yaitu, tidak punya pendirian, dan tidak bisa mengambil sikap tegas memutuskan dalam sebuah masalah. Padahal ia seorang pemimpin rumah tangga. Yang lebih parahnya, ia bersikap tanpa memperdulikan efek dari apa yang dilakukan hingga penyesalan itu datang kala semua sudah terjadi.“Nak, Mama yang tau semuanya. Jika kamu berpendapat seperti itu, Mama hargai dan ini juga membuka hati Mama agar tidak memisahkan antar anak dan Bapak.”“Mama nggak mau menerima Papa Ismail lagi?”“Tidak semudah itu. Ada hal yang belum bisa Mama ceritakan.”“Tia ngerti, Ma. Tia hanya melihat di luar aja hi
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 116 (Ucapan Tia Yang Tak Terduga)“Sarah, menurutmu gimana dengan Bobi?”Aku sedang menyusui tiba-tiba mengalihkan pandangan ke Emak.“Maksud Emak apa?”“Masa nggak ngerti maksud Emak? Kamu pasti tau lah arah pembicaraanini.”Emak bicara langsung-langsung saja. Bahkan ini agakterdengar sensitif untuk dibahas.“Kok malah diam? Kamu tu bukan anak kecil lagi pakai malusegala.” Emak menatapku. Waduh, Emak tahu saja apa yang aku rasakan.Menghela napas panjang, sejenak berpikir lagi dengan jawabanyang akan dilontarkan. Aku tak mau gegabah memutuskan karena sudah dua kaligagal dalam rumah tangga. Ditambah sekarang sudah punya dua orang anak. Kalaumenikah lagi, belum tentu suamiku nanti menerima wanita janda yang sudah punyaanak dua. Lagian anakku masih bayi dan butuh biaya besar.“Kalau kamu nggak yakin nggak masalah. Emak ngerti yang kamupikirkan. Hanya aja, jangan jadikan gagal berumah tangga dua kali itu ketakutanbuat maju menjalani jika ada yang
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 115 (Sial!)Pov Siska / Kakaknya RirinSebenarnya aku sangat jijik masuk dan duduk di rumah ini. Lantainyasaja lebih bagusan kandang anjingku di rumah. Tikar ini juga sangat jelek danpasti banyak yang duduk dengan kaki kotor. Iiih! Geli sekali duduk di sini. Kalaubukan demi Ririn, ogah menginjakan kaki di sini. Huh! Sial!“Tolong bujuk Ismail agar mencabut tuntutan. Ririn hanyakorban sama sepertimu, Sarah.” Dengan muka sedih, aku memohon ke Sarah. Namun,sialan, itu nenek lampir kenapa dari tadi membuat aku kesal saja. Ia selalumenjawab dan lebih cepat berucap daripada anaknya.“Maaf, sepertinya salah alamat. Aku dan Mas Ismail sudahtidak ada hubungan lagi hingga ingin membujuknya.”“Iya, aku tau itu. Tapi hanya kamu yang bisa didengar Ismailsekarang ini. Ia masih mengharapkanmu dan pasti mau kalau kamu yang minta.Tolonglah, Sarah ..., hanya kamu yang bisa menolong adikku saat ini.”“Hey! Apa kamu udah gila? Adikmu hampir saja menembak Sarahdan
TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 114 (Kedatangan Kakaknya Ririn)“Mbak yakin kita segera meninggalkan rumah sakit ini?” tanyapak Bobi setelah kami turun ke lantai satu rumah sakit.“Ya, Pak. Aku harus ngapain lagi di sini?”“Bukan begitu, Pak Ismail sepertinya ....” Ucapan Pak Bobitidak dilanjut. Terlihat ada keraguan.“Ia hanya mantan suami dalam pernikahan kilat, Pak,” ujarkumenjelaskan. Aku tahu ia merasa tidak enak karena mengira aku akan kembali padaMas Ismail.“Pernikahan kilat?” Pak Bobi menatapku dengan alis bertaut.“Hanya suami yang beberapa malam saja.”Tidak ada yang perlu disembunyikan. Jika aku mencoba membukahati dengan Pak Bobi, ia harus tahu semua kisah hidupku agar tak ada dusta diantara kami. Jika sekarang aku memutuskan membuka hati, agar berita tidakmenyudutkan aku seolah seperti penghancur rumah tangga Mas Ismail dan Ririn.Berita yang tersebar bermacam-macam, ada yang mengatakan kalau aku bukanpelakor dan sebaliknya.“Bu Sarah, apakah kami bisa wawancara