POV LilikPlaak!Satu tamparan sukses mendarat di pipiku. Mataku memanas seketika, lebih panas dari bekas tangan laki-laki itu. Dengan pandangan kabur, aku menatap tajam Mas Tama. Sampai hati menamparku di depan umum! “Mir, aku minta maaf telah membuatmu tidak nyaman. Sekali lagi maafkan aku.” Hatiku perih mendengar suara Mas Tama yang justru meminta maaf kepada Amira. Padahal, di sini aku yang dilukai. “Didik istrimu dengan benar! Ajari etika! Ingatkan kepadanya, aku tidak serendah dirinya yang mau sama suami orang. Yakin kepadanya kalau aku tidak akan pernah mengambil barang bekas yang telah aku buang. Suruh menikmati hidup agar bahagia. Eh, tapi aku lupa kalau perebut milik orang lain itu tidak akan pernah bahagia! Ya, kan, Lik?” Amira menyeringai, seakan puas melihat aku telah dipermalukan di depan umum oleh suami sendiri. “Kurang ajar! Puas kamu melihat aku dipermalukan oleh suami sendiri?” Aku menatap tajam ke arah Amira setelah menyusut air mata. “Minta maaf sama Amira sek
POV LilikMenikahi Tama aku kira akan bahagia, tapi ternyata sebaliknya. Sudah tiga Minggu menjadi menantu satu-satunya di keluarga Bu Mumun, nyatanya tidak membuatku merasa di sayang. Tapi, sebaliknya. Aku hanya mereka jadikan babu yang membersihkan segala sesuatunya di rumah tersebut. Meskipun begitu, tidak ada seorangpun yang mau mengajak aku berbicara layaknya keluarga. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing. Ah, sebenarnya bukan sibuk yang menjadi alasan terkuatnya. Tapi, memang tidak ada yang menginginkan kehadiranku di rumah itu. Sejak ijab qobul diucap Mas Tama di depan saksi dan penghulu, tidak ada satu pun dari keluarganya yang bermuka ramah terhadapku. “Turun! Sudah sampai rumah! Kamu masuk. Aku mau main ke rumah teman.” Aku tersentak kaget, lamunanku buyar seketika saat menyadari ternyata kami sudah di depan rumah Bu Mumun.“Mas, tidak bisakah kamu di rumah malam ini. Aku capek banget, tolong bantuin jagain Zidane.” Aku memohon. Ini pertama kalinya aku memi
“Mbak, aku kemarin malam ketemu sama mantan suami Mbak di alun-alun.” Nana yang mengupas bawang memecahkan keheningan di antara kami. Aku yang baru selesai memblender bumbu untuk rica-rica bebek menoleh ke arahnya sekilas. “Ngapain dia ke sana?” Sebenarnya, aku tidak ingin peduli dengan Tama, tapi aku pun tidak tega jika mengabaikan Nana. Iseng mengajukan pertanyaan itu hanya untuk menyenangkan hati Nana, agar ia merasa diperhatikan. Tanganku mulai sibuk menuangkan bumbu yang tadi diblender ke atas wajan panas. Alun-alun memang selalu ramai kalau weekend. Tempat itu selalu penuh dengan orang-orang yang ingin mencari hiburan di malam Minggu atau sekedar mencari udara segar dengan teman-temannya. Berbagai wahana permainan anak-anak muncul di sana. Tidak hanya itu berbagai macam jajanan kuliner pun tersedia. Dulu, sewaktu masih gadis aku sering ke sana. “Kayaknya sedang curhat. Sebab, aku melihatnya sedang duduk dengan temannya, laki-laki. Tatapannya kayak yang kosong gitu, Mbak
“Mau cari siapa, ya, Mas?” tanyaku pada laki-laki yang berdiri tegak di hadapan. Pintu depan kubuka separuh. Aku masih berdiri di ambang pintu. Laki-laki yang sedang menghadap ke arah jalan itu spontan membalikkan badan, menghadap ke arahku. Dia tersenyum ramah. Aku membalas dengan sedikit anggukan kepala, bingung dan penasaran memenuhi isi kepala. “Saya mau bertemu dengan Mbak Amira.” Laki-laki berperawakan tinggi itu membuatku mengerutkan kening.Siapa dia? Untuk apa mencariku? Pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepala. Karena merasa tidak mengenalnya sama sekali. “Saya sendiri, Ada perlu apa ya, Mas?” Aku menatapnya penuh selidik. Sedikit was-was. “Saya utusan dari Bu Sukma.” “Bu Sukma?” Aku mengulang nama tersebut dengan sangat pelan. Berusaha keras mengingatnya. Tapi, sayangnya aku tidak berhasil mengenali nama tersebut. Siapa beliau? Di mana mengenal aku? “Bu Sukma, wanita yang satu bulan lalu ditolong oleh Mbak Amira.” Laki-laki asing itu segera menjawab. Seolah paha
Seperti yang telah kami sepakati bersama kemarin. Jam tiga sore kami meluncur ke rumah Bu Sukma dengan mengendarai kendaraan masing-masing. Aku dijemput oleh urusan Buk Sukma. Cowok kemarin yang baru aku ketahui bernama Doni itu berhenti di sebuah rumah bergaya eropa klasik. Ia memarkirkan motornya di halaman yang penuh dengan rumput jepang. “Sudah rapi, kok. Masuk, yuk!” Doni menghampiri aku yang sedang sibuk merapikan jilbab di depan spion. Aku membetulkan letak bros sebelum meninggalkan kendaraan tersebut. Aku tersenyum, “Sebentar lagi. Masak mau bertemu dengan orang penting penampilan saya acak-acakan.” Aku tersenyum kecil, membalas tatapannya Doni. “Ayok, katanya mau ngajak saya masuk. Kok, malah melamun seperti itu?” tanyaku setelah selesai membetulkan jilbab, mendapati Doni yang sedang menatapku intens. “Perempuan muslim itu ribet, ya? Rambut yang indah malah ditutup dengan kain.” Aku tertegun mendengar ucapannya. Berarti dia non muslim? Baru tahu aku kalau dia b
“Jeng Sukma mau mengambil dia sebagai calon menantu? Nggak salah? Sama anak saya saja dibuang, lho, Jeng. Masak mau diambil oleh Jeng Sukma. Apa nggak bahaya?” Bu Mumun menatapku dari atas hingga ke bawah. Seolah sedang meremehkan. Aku diam, pasrah dengan semua cemoohan Bu Mumun. Bukan tidak berani membantah, hanya sudah malas berdebat dengan nenek-nenek satu itu. Tidak ada gunanya aku memberikan klarifikasi. Biarlah dia merasa benar dengan semua pikiran konyolnya. “Kenapa bahaya? Mbak Amira ini wanita baik-baik. Dia dibuang oleh anakmu bukan karena tidak baik, tapi karena anakmu yang tidak bisa bersyukur. Meninggalkan permata demi batu kerikil. Wanita sebaik, secantik dan semandiri Mbak Amira malah ditinggal selingkuh dengan iparnya sendiri. Heran, kok, bisa anakmu berbuat serendah itu? Iparnya sendiri lho yang dijadikan selingkuhan.” Buk Sukma terkekeh di ujung kalimatnya. Kulihat wajah Bu Mumun memerah seketika. Aku tersentak kaget mengetahui kenyataan kalau Bu Sukma mengetahui
“Maaf, ya, Mbak Amira atas ketidaknyamanannya. Saya juga tidak menyangka akan kedatangan Mumun yang secara tiba-tiba.” Buk Sukma menatapku dengan rasa bersalah setelah kepergian Bu Mumun. Aku tersenyum lebar, “Tidak apa, Bu. Saya sudah biasa menghadapi sikap Bu Mumun yang seperti itu.” “Sudah menjadi makanan sehari-hari, ya, Mbak?” Beliau menatapku seraya tersenyum. Aku mengangguk, mengamini ucapan Buk Sukma. “Sempat kaget saat mengetahui kalau Mbak Amira ini adalah mantan menantunya Mumun. Saya kira masih single Mbak Amira ini. Tapi, saya pastikan mantan suaminya nanti akan menyesal karena telah membuang permata demi batu kerikil yang murahan.” Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Buk Sukma. Aku membetulkan posisi duduk. “Maaf, kalau boleh tahu, kenapa Ibu mencari informasi pribadi saya sampai sedetail itu, Bu?” Entah memiliki keberanian dari mana, hingga pertanyaan itu meluncur dari bibir ini. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Bu Sukma justru menatapku lama. Entah apa
“Ada apa, Bi?” tanyaku pada Bibi setelah menjawab salam beliau. Aku sedikit menjauh dari posisi Bu Sukma. “Nduk. Kamu bisa pulang sekarang? Mertuamu datang ke sini. Bibi takut dia membuat onar.” Jawaban Bibi membuatku membelalakkan mata. Tumben? Ada apa ini? Apa yang sedang ia rencanakan?“Sekarang dia lagi ngapain, Bi?” Sungguh, aku takut ia akan mencelakai ibu karena merasa kalah berdebat dengan aku. “Lagi ngobrol sama tetangga yang kebetulan menjenguk ibu kamu.” Aku sedikit tenang. Setidaknya ibu tidak dibiarkan sendiri dengan mantan besannya yang rada-rada itu. “Baik, Bik. Aku akan segera pulang. Bibi tolong jagain ibu. Aku mohon jangan tinggalkan ibu sendirian selama aku belum sampai rumah, ya, Bi. Tolong.”“Kamu jangan khawatir, Nduk. Bibi tidak akan meninggalkan ibumu sendiri. Cepat pulangnya.” Lekas kututup sambungan telepon setelah memberikan salam kepada bibi. Entah mengapa pikiranku mendadak tidak tenang sama sekali. Takut-takut wanita yang setengah jam lalu bersitega