“Ada apa, Bi?” tanyaku pada Bibi setelah menjawab salam beliau. Aku sedikit menjauh dari posisi Bu Sukma. “Nduk. Kamu bisa pulang sekarang? Mertuamu datang ke sini. Bibi takut dia membuat onar.” Jawaban Bibi membuatku membelalakkan mata. Tumben? Ada apa ini? Apa yang sedang ia rencanakan?“Sekarang dia lagi ngapain, Bi?” Sungguh, aku takut ia akan mencelakai ibu karena merasa kalah berdebat dengan aku. “Lagi ngobrol sama tetangga yang kebetulan menjenguk ibu kamu.” Aku sedikit tenang. Setidaknya ibu tidak dibiarkan sendiri dengan mantan besannya yang rada-rada itu. “Baik, Bik. Aku akan segera pulang. Bibi tolong jagain ibu. Aku mohon jangan tinggalkan ibu sendirian selama aku belum sampai rumah, ya, Bi. Tolong.”“Kamu jangan khawatir, Nduk. Bibi tidak akan meninggalkan ibumu sendiri. Cepat pulangnya.” Lekas kututup sambungan telepon setelah memberikan salam kepada bibi. Entah mengapa pikiranku mendadak tidak tenang sama sekali. Takut-takut wanita yang setengah jam lalu bersitega
POV Mumun“Jeng Sukma, saya mau pamit.” Dengan wajah menunduk aku berpamitan.“Monggo, Mun. Saya tidak bisa menahanmu.” Jeng Sukma tersenyum lebar. Seolah tak ada beban apapun atas ucapanku tadi. Aku tertegun melihat perubahan sikapnya yang mendadak dingin. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi selama satu bulan terakhir, setelah kami tidak bertemu? Wanita yang pernah ku selamatkan nyawanya empat puluh tahun silam itu seolah lupa dengan tradisi yang sudah biasa ia lakukan kepadaku setiap pamit pulang. Selalu mengantarkan aku sampai teras depan rumah. Tidak lupa selalu menyelipkan uang di tanganku. Tapi, itu dulu. Kini? Boro-boro! Apa begini cara orang kaya memperlakukan orang tidak punya? Ah, rasanya tidak begitu. Meskipun kaya raya, Jeng Sukma tetap sosok yang ramah dan tidak pelit. Apa mungkin perubahan sikapnya ini ada kaitannya dengan kedatangan Amira? Bagaimana Jeng Sukma bisa mengenal Amira? Kenal di mana mereka? Amira berhasil menggagalkan rencanaku. Dia benar-benar telah
“San, sekarang kita harus ke rumah orang tuanya Amira.” Kulihat Santi mengerutkan keningnya. Matanya pun mendelik, sepertinya ia kaget dan tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. “Heh! Kenapa mukamu seperti itu?” Kutepuk pundaknya dengan sedikit kasar dia mengaduh. “Aky kaget, Bu. Memastikan bahwa pendengaran ini tidak salah. Kenapa kita harus ke rumahnya Amira? Mau ngapain kita ke sana? Nggak ada kerjaan aja. Aku nggak mau! Mendingan pulang aja. Tidur di rumah!” Anak tuh menggelengkan kepala, menolak permintaanku dengan cepat. “Nggak! Kamu nggak boleh pulang! Harus mengantarkan Ibu ke rumah orang tuanya Amira sekarang! Cepat berangkat sekarang!” Aku naik ke atas motor. Siap untuk dibonceng. “Jelaskan dulu apa alasannya, Bu. Aku nggak mau nganterin Ibu ke sana kalau tidak dijelaskan sekarang juga?” Dia tidak mau kalah. Ck! Aku berdecak kesal! Kenapa ini ngeyel sekali?“Ibu akan jelaskan akar masalahnya. Tapi, kamu jangan sakit hati kalau tahu alasan yang sebenarnya.” Aku kemba
POV 3 “Ibu tidak perlu repot-repot ke sini kalau hanya untuk membujuk saya agar rujuk kembali ke Mas Tama. Mau menangis darah pun Ibu meminta, saya tetap akan menolak.” Dengan tegas Amira menolak permintaan konyol mertuanya tersebut. Mumun menarik napas kasar mendengar jawaban Amira. Perempuan itu sudah mulai berkecil hati. Harapannya untuk memiliki usaha catering yang maju semakin menipis. Karena menurutnya, kalau Tama sampai berhasil rujuk dengan Amira maka mereka akan memiliki usaha catering yang ternama. Sebab, Mumun tahu cateringnya Amira bakal maju dan sukses. Amira catering sudah mulai punya nama di kalangan para pelanggan. Itu diketahui oleh Mumun. Sementara, catering yang dirintis Santi sama sekali tidak mengalami perkembangan. Belum pernah mendapatkan orderan yang besar. Sekali order tidak kembali. Usaha itu kembang kempis nasibnya kini. Usaha yang dirintis berdasarkan ikut-ikutan Amira. Rencana awal untuk menjatuhkan usahanya Amira. Namun, Santi lupa kalau dia tertin
“Sudah pulang mertuamu, Nduk?” Aku menoleh ke belakang, tersenyum ke arah Bibi yang sedang berjalan ke arahku sambil membawa sepiring kacang tanah rebus. Satu Minggu lalu beliau habis panen kacang tanah. “Sudah, Bi. Bu Mumun ngomong apa saja tadi, Bi?” Aku menatap Bibi seraya menjatuhkan bobot tubuh ke atas sofa. “Sama bibi tidak ngomong apa-apa, hanya sekedar basa-basi saja. Dia bilang mau ada perlu sama kamu.” Adik iparnya Ibu menyodorkan piring yang penuh dengan kacang itu ke arahku.“Apa, sih, tujuannya datang ke sini, Nduk? Kok, tumben.” Bibi mulai mengupas kacang. Matanya terus menatapku. “Dia meminta aku rujuk sama anaknya, Bi. Kan lucu dan nggak masuk akal.” Aku mencibir, tangan ini mulai sibuk membelah kulit kacang. “Seng tenan, Nduk?” [Yang bener, Nduk? Bibi menatapku tak percaya.“Buat apa aku bohong, Bi.” Aku mulai memasukkan biji kacang ke dalam mulut, lalu mengunyah. Percaya terserah nggak juga terserah. Siapapun orangnya pasti kaget bila mendengar cerita ini.
POV Lilik“Bangun, Lik! Bangun pemalas! Enak saja tidur-tiduran!” Suara Bu Mumun menggelegar memenuhi indra pendengaran. Gedoran pintu kamarku kian nyaring. Aku bergeming, tidak berminat untuk bangun. Biar saja sesekali aku bangun kesiangan. Ini baru pertama kalinya aku sengaja bangun kesiangan. Biasanya, jam segini aku sudah masak, membersihkan rumah. Kadang udah beres nyuci baju segala. Tapi, pagi ini badanku terasa capek, aku ngantuk. Dari semalam begadang, mengurus anak seorang diri. Apalagi Ardan, bayi kami agak rewel karena habis imunisasi. “Lilik! Bangun! Jangan malas-malasan kamu!” Gedoran itu semakin nyaring dan sering. Berisik!Dasar perempuan tua yang tidak punya perasaan. Ke mana lagi Mas Tama? Kenapa dia tidak muncul untuk sekedar membela aku di depan ibunya? Aku tersenyum kecut, tersenyum atas kebodohanku sendiri. Bagaimana bisa aku mengharapkan pembelaan dari Mas Tama, kalau nyatanya laki-laki itu tidak pernah peduli dengan aku? Bahkan dia tidak pernah mau tidur sa
POV Lilik“Mas, mana cukup uang segini? Semua harga itu naik. Lebih baik ibu sendiri beli di tukang sayur. Biar tahu berapa harga-harga sayuran dan daging. Aku tak mau mempermalukan diri sendiri di pasar dengan membawa uang segitu.” Aku menatap jengkel pada suami. Kutatap uang selembar berwarna biru di tangan sembari menggelengkan kepala. Apa mereka pikir duit segitu masih bisa buat beli ini itu? “Memang nggak cukup! Tapi hanya uang segitu. Selebihnya adalah urusanmu. Aku tak mau tahu, kamu harus dapat semua daftar belanjaan dengan uang segitu.” Jawaban Bu Mumun sukses membuat darahku mendidih. Bagaimana bisa ada orang selicik mertuaku? Ya Tuhan … kenapa Engkau ciptakan manusia yang tidak punya otak dan pikiran itu? “Terus aku harus tombok dari mana, Bu? Mas Tama saja tidak pernah memberikan aku uang lebih. Aku tak punya uang simpanan.” Terpaksa aku berbohong. Meskipun aku sebatang kara tanpa keluarga, tapi bukan berarti nggak ada uang pegangan sama sekali. Namun, bukan berarti
“De, kamu besok ada waktu nggak?” Mbak Mayang bertanya melalui sambungan telepon. “Besok aku kosong, Mbak. Sedang tidak ada pesanan. Ada apa?” tanyaku sembari mematikan kompor. Rica-rica ayam sisa catering tadi siang, kini aku panaskan kembali sebelum dimakan nanti malam. “Besok temani Mbak ke rumah kawan, di kabupaten sebelah. Mau nagih hutang. Masmu sedang tidak ada di rumah. Mbak butuh teman ke sananya. Sudah janjian, dia bilang besok mau ngasih uang. Lusanya doi mau ke pulau Jawa.” Begitulah Mbak Mayang yang seorang pebisnis. Terkadang uangnya tidak langsung dibayarkan oleh mitra kerjanya. “Kenapa nggak ditransfer aja sih, Mbak. Hari gini, lho, masak masih pake uang cash.” Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Mbak Mayang. Mengapa masih menggunakan cari dulu.“Dia bilang adanya duit cash. Mau ke bank nggak ada waktu. Soalnya sorenya harus sudah berangkat ke Jawa.” Jawaban Mbak Mayang membuatku menarik napas dalam-dalam. Semoga saja benar apa yang dikatakan Mbak Mayang. Alu