Share

Bab 0014

Author: Farid-ha
last update Last Updated: 2024-03-19 10:32:31
“Pertanyaan kedua, kenapa kamu mengambil seluruh barang-barang di rumah? Bahkan TV di di rumah ibuku pun kamu ambil tanpa perasaan. Aku benar-benar tidak mengenali kamu lagi, Amira.” Tama kembali meninggikan suaranya.

“Karena aku butuh uang.” Jawabanku singkat, padat.

“Kalau memang butuh uang itu kerja. Sok-sokan resign, tapi menjual barang yang ada di rumah.”

Ucapan Tama bagai anak panah yang menancap pada relung hati. Sakit. Sangat sakit. Seandainya dia suami yang baik, tidak akan sanggup ngomong seperti itu.

Seharusnya dia bilang, “Seharusnya kamu ngomong kalau kekurangan uang, bukan malah menjual barang-barang. Kan kamu masih punya suami. Kebutuhanmu adalah tanggung jawabku sepenuhnya. Kamu istriku.”

Sayangnya, aku lupa kalau Tama tidak akan pernah ngomong seperti itu. Dia justru amat sangat bahagia kalau istri bekerja. Berarti, ada orang yang akan mengambil tanggung jawabnya memenuhinya semua kebutuhan rumah tangga. Laki-laki itu tinggal membantu ala kadarnya. Kan memang begitu selama ini.

Ya Allah … ke mana aja aku selama ini? Kenapa aku baru menyadarinya saat ini?

“Sekalipun aku resign, ini tidak ada urusannya denganmu, Mas. Toh, aku makan tidak akan minta sama kamu, kok, tenang aja. Lagian, menjual barang dari hasil kerja keras aku sendiri memang salah? Ingat, semua barang yang aku ambil itu dibeli menggunakan uangku sendiri. Tentu kamu nggak lupa akan hal itu, kan, Mas?”

Tidak ada jawaban dari seberang sana. Mungkin sudah kehabisan kata-kata.

“Sekali lagi, aku hanya mengambil barang yang aku beli sendiri. Tidak ada barang yang menggunakan uangmu. Aku tidak berbuat curang, kok, jadi tenang saja.”

Dia terdiam. Mungkin, sedang berpikir.

“Tapi, tidak seharusnya kamu membawa semua barang itu. Setidaknya sisain satu, TV di rumah ibu. Beliau itu suka kesepian kalau nggak ada orang di rumah. Hiburan Ibu satu-satunya, hanya TV.” Suara Tama melemah. Mungkin, merasa kalah

sehingga ia harus mengalah.

“Kok, aku merasa bersalah ya, Mas. Padahal itu tv aku lho. Dibeli menggunakan uangku sendiri, kenapa dilarang mengambilnya? Kan aneh. Kamu tahu kan biaya rumah sakit ibuku, tuh, nggak murah. Setelahnya, kami pun masih butuh makan. Jadi, wajar dong kalau ambil barang-barangku dijual . Kami butuh biaya hidup. Kalau memang ibumu menginginkan TV, ya, dibelikanlah. Gajimu itu kan lima juta setiap bulannya, pasti tabungan kamu sekarang sudah banyak. Setiap bulannya sisa dua juta, kan? Masa iya tidak kami mampu membelikan TV ibumu! Okelah, kalau kamu keberatan beli secara cash, bisa, kok, kredit. Diangsur setiap bulan. Beres ‘kan? Jangan dibiasakan suka ngerecokin barang milik orang lain.” Lega, itu yang aku rasakan setelah meluahkan segala unek-unek yang selama ini mengganjal di dalam sini.

Seandainya, kamu tidak mengkhianatiku, TV itu akan tetap berada di rumah ibumu.

“Kamu benar-benar keterlaluan Amira!” Suaranya menggebu-gebu. Aku hanya meresponnya dengan cebikan meskipun dia tak melihatnya.

“Maaf, saat ini aku tidak bisa membantu Ibumu lagi. Aku sedang butuh banyak uang untuk hidupku sendiri.” Klik, sambungan telepon aku matikan sepihak.

Di dalam mobil, tidak ada lagi pembicaraan antara aku dan Mbak Mayang. Hening. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

“De, itu kayak motornya Lilik?” tanya Mbak Mayang setelah kami parkir di halaman rumah Ibu tepat pada jam setengah tujuh malam.

“Bener, Mbak. Mau ngapain ia ke sini?” Sungguh, aku takut dia ngomong macam-macam di hadapan Ibu yang saat ini belum sehat 100%.

Dengan segera aku turun dari mobil, berjalan menuju rumah.

“Sudah lama datangnya, Mbak?” Aku bertanya pada Lilik setelah mengucapkan salam.

“Sudah. Sudah dari tadi. Ada tiga jam yang lalu.” Lilik menjawab dengan sumringah.

Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Takut-takut Lilik keceplosan di hadapan ibu. Keresahanku bertambah berkali lipat manakala tidak aku temukan bibi di rumah ini. Jangan-jangan dia sudah pulang.

“Ibu lagi ngapain, Mbak?”

“Ada di kamarnya?”

Gegas, aku menuju kamar Ibu. Bertanya-tanya apa saja yang dilakukan Lilik di sini.

“Mbakmu bilang hanya kangen dengan ibu dan juga masmu. Itu sebabnya, ia ingin tinggal di sini beberapa hari.”

Deg!

Spontan aku menggigit bibir bawah.

Seandainya ibu tahu tujuan Lilik tinggal di sini, dia itu bukan rindu dengan ibu dan juga Kak Fikri. Tapi, mau menumpang hidup. Karena tidak mungkin lagi tinggal sendiri dalam kondisi tidak punya apa-apa. Mau tinggal di sini untuk menumpang hidup. Cari makanan gratisan.

Sejujurnya, aku jijik menampung pengkhianat di rumah ini. Tapi, kalau aku mengusirnya takut ibu bertanya macam-macam. Dan kalau aku jujur, rasanya tidak siap. Karena pasti, kejujuranku akan mempengaruhi kesehatan ibu. Dan aku tidak mau itu terjadi. Lebih baik aku mencari cara untuk membuatnya tidak betah tinggal di sini.

Aha, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Lihatlah, Lilik. Apa yang akan aku lakukan padamu besok. Aku menyeringai membayangkan bagaimana reaksi perempuan murahan tersebut.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Hasanah
next nya gak sabaran apa yg dilakukan Amira PD pengkhianat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TERIMA KASIH SUDAH MEREBUT SUAMIKU   Bab 0173

    “Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk

  • TERIMA KASIH SUDAH MEREBUT SUAMIKU   Bab 0172

    Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada

  • TERIMA KASIH SUDAH MEREBUT SUAMIKU   Bab 0171

    “Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk

  • TERIMA KASIH SUDAH MEREBUT SUAMIKU   Bab 0170

    “Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya

  • TERIMA KASIH SUDAH MEREBUT SUAMIKU   Bab 0169

    “Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang

  • TERIMA KASIH SUDAH MEREBUT SUAMIKU   Bab 0168

    “Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status